Cerpen ini pernah diikutsertakan pada sebuah lomba cerpen di suatu komunitas internal, beruntung jadi cerpen favorit :) Bahasanya memang agak tinggi, yah begitulah, kadang2 saat otak lagi over suka keluar deh bahasa2 planetku ;p Oh ya latar belakang cerita ini adalah Bali. Yuk dibaca.
*****
“Kisah ini ditulis ketika dunia berputar terlalu cepat sehingga kasih sayang menjadi sarat oleh dusta, ketika kemunafikan menjadi sendi-sendi kepolosan dan kehancuran menjadi kekasih sang pujangga cinta. Semua menjadi ketidak berdayaan ketika orang yang kita percayai ternyata tidak berani mempercayai kita.”
Jakarta, Pkl 21:35
Seorang gadis menekuri kata-kata yang tertulis dalam sebuah layar imaji jiwa, komunikasi maya penghubung dunia global yang didiaminya. Setengah jam yang lalu sebuah surat masuk ke dalam inbox-nya, surat yang sebenarnya terlalu singkat untuk dimengerti tapi juga terlalu penting untuk diremehkannya.
Bila saat ini pikirannya sedang sehat, dia pasti akan menghapus surat itu dan melemparnya ke dalam recycle bin. Tapi saat ini dia sedang tidak sehat hingga amat mudah dipengaruhi bahkan oleh gosip murahan sekalipun. Setiap helaan kalimat dibaca dan terus dibacanya lagi seolah hidupnya akan menghilang bila dia tak segera mengerti. Keningnya sebentar-sebentar berkerut. Rasa heran, takut dan gembira bercampur aduk menjadi satu adonan perasaan aneh yang kini sedang bergumul di dalam jiwanya.
“Aku rasa ini cuma ulah orang-orang iseng. Mungkin ada orang yang nggak suka sama keluargamu, makanya ia mengirimkan pesan itu!” sebuah suara tiba-tiba memecahkan kesunyian.
Gadis itu menghela napas berat, “Nggak mungkin, Dit! Ini sudah kesepuluh kalinya aku menerima surat yang senada. Ini terlalu melelahkan untuk dilakukan orang yang nggak punya kerjaan sekalipun!”
Dita ikut-ikutan menghela napas, “Terus, apa yang akan kamu lakukan? Jingga, kamu nggak bakal percaya sama surat itu ‘kan? Nggak ‘kan?” yakin Dita.
“Nggak tahulah!” gadis bernama Jingga itu mengangkat bahunya, “Mungkin, setelah aku membuktikan apakah dia memang benar ayah kandungku!”
*****
Malam ini seperti biasanya semua sudah berkumpul di meja makan; di sana ada Ibu, Nila, Jingga dan seorang Ayah yang tidak berwibawa sama sekali. Hidangan pencuci mulut telah licin tandas dan sekarang adalah waktunya curhat keluarga. Kegiatan yang menurut Jingga sangat tidak penting, tapi tidak hari ini. Dari tadi siang sepulang sekolah sampai detik ini, jantung Jingga tak henti-hentinya bergemuruh, layaknya ada sekelompok marching band memainkan lagu di dalamnya. Hari ini acara curhat keluarga menjadi moment yang paling Jingga tunggu. Ia pun mengerahkan seluruh keberaniannya dan mulai mengingat susunan kata yang sejak tadi telah disiapkannya.
Saat Ibu selesai tertawa setelah mendengar cerita lucu Nila, kakaknya. Jingga mendobrak masuk ke dalam celah kosong itu, “Ibu, siapa sebenarnya ayah kandungku?” Jingga lupa berbasa-basi. Segala susunan kata yang telah disiapkannya tadi hancur total.
Semuanya terdiam, wajah Ibu terlihat terkejut sehingga setiap sudut kulitnya kelihatan memucat.
“Apa maksudmu Jingga?”
Jingga menyerahkan setumpuk surat yang telah di-print-nya dari komputer, “Baca surat ini dan tolong cerita keadaan yang sebenarnya!”
Sedikit ragu ibu mengambil tumpukan kertas yang diserahkan Jingga, “Surat apa ini?”
“Ada orang bernama Gusti Gede Agung mengaku sebagai ayah kandungku dan Kak Nila. Benarkah?” tanya Jingga. Tak lama ibu kelihatan tertunduk, dan sontak membisu.
“Jingga, kamu kenapa sih? Lagi kesambet setan? Sudah jelas ‘kan kalau papa kita itu…”
Ayah memotong perkataan Nila, “Tidak, aku bukan papa kandung kalian.”
“Papa! Apa-apaan sih?” pekik Ibu panik.
“Bu, jangan biarkan kebohongan ini bertahan terlalu lama!” Ia menoleh ke arah istrinya kemudian pergi meninggalkan meja makan.
Ibu menangis sambil merobek-robek surat yang tadi diberikan Jingga, “Tidak! Dia bukan ayahmu karena tidak ada seorang ayah yang tega menghancurkan hidup keluarganya. Dia bukan siapa-siapa!”
“Ibu!” pekik Jingga, “Tolong jangan bikin kami bingung!” Jingga berteriak histeris.
Nila ikut-ikutan berteriak. Tangannya bahkan mulai memukul-mukul meja makan, “Sebenarnya ada apa? Apa maksud ibu?”
Suasana mendadak hening, yang terdengar kemudian hanya isak tangis dari tiga orang, ibu dan kedua anak itu, “Ya, Gusti Gede Agung memang ayah kandung kalian,” ucap ibu terbata, air matanya turun tak tertahan.
Nila kembali memekik sedangkan Jingga, sebaliknya terlihat bahagia. Bibirnya menyungingkan senyum. Ia merasa lega.
*****
Agung dan Ayu saling mencintai. Mereka telah berikrar janji untuk selalu setia dan akan tetap begitu meskipun ajal memisahkan mereka. Namun, semuanya tidak berjalan seperti seharusnya karena kedua orang tua mereka ternyata saling membenci layaknya kisah Romeo dan Juliet, yang ternyata begitu populer bahkan sampai ke tanah Bali sekalipun. Walaupun kisah cinta mereka tidak harus berakhir tragis seperti cerita Shakespeare tersebut, kebahagiaan tetap tidak menjadi akhir dari cerita. Cinta mereka tetap sulit bersatu oleh karena hempasan jutaan badai dan gempuran milyaran kekejaman. Satu-satunya penyelesaian yang ada dalam benak mereka adalah lari dari masalah. Maka pada saat matahari masih terlalu dini bersinar, mrangkat-lah kedua anak manusia itu ke Jakarta.
Lima tahun telah berlalu, kedamaian amat melingkupi mereka dan semua terasa lengkap ketika Tuhan telah menganugerahkan dua orang putri, Sang Nila dan Sang Jingga. Keduanya menjadi sumber kesempurnaan hidup mereka.
Lima bulan kemudian, tak disangka cobaan paling berat menghempaskan mereka. Keluarga sang istri yang masih mendendam, mengutus seorang gadis untuk menjebak sang suami hingga dosa melingkupi mereka. Semua itu belum cukup ketika suatu hari si gadis ditemukan mati dalam pelukan sang suami. Puluhan tahun yang didakwakan jaksa untuk menghukum dosa-dosa sang suami telah mematahkan dan menghancurkan cinta mereka sampai berkeping-keping. Peristiwa itu membuat si istri apatis dan tiada lagi berbelas kasih. Dibiarkannya sang suami menderita sendirian di balik terali sementara dirinya berusaha kabur dari kenyataan. Dengan hati yang hancur dibawanya Nila dan Jingga kembali ke rumah orang tuanya, dan sama sekali tidak curiga atas kebahagiaan berkedok belas kasihan dan keprihatinan semu yang ditampilkan oleh keluarganya.
Lima minggu berlalu, dan secara cepat mereka telah resmi berpisah. Agung dan Ayu ternyata tak ditakdirkan bersatu. Ayu yang rapuh tak dibiarkan menjanda terlalu lama, sang keluarga telah menyiapkan seorang pengusaha nan kaya untuk menjadi pengganti suaminya. Ayu setuju, semata-mata demi anak-anaknya dan demi memuaskan rasa sakit hatinya.
Dan tepat lima hari kemudian ia telah menikah lagi.
Namun, apakah benar sebuah hati memiliki kapasitas mega byte sehingga setiap dinding-dindingnya dengan mudah dapat diisi oleh yang lain, yang lain dan yang lainnya lagi? Ayu pun begitu mendendam sehingga dengan sepenuh jiwa raga dibuatnya sebuah ‘tameng besi’ dan ‘benteng baja’ untuk melindungi kedua putrinya dari seseorang yang bergelar ‘ayah kandung’!
Beruntunglah saat peristiwa itu terjadi kedua putrinya belum mampu mengatur memori sehingga pikiran mereka masih mudah dimanipulasi. Namun, tak disangka hari ini tiba juga. Hari pengadilan bagi dusta dan penipuan! Karena apa pun yang terjadi, seorang ayah akan tetap menjadi seorang ayah, seburuk apa pun kenyataannya. Dan siapa pun tak berhak memisahkan keterikatan darah tersebut, termasuk Ayu.
*****
“Kalau begitu aku harus pergi menemui ayah!” putus Jingga.
Ibu terkesiap, “Tidak, apa pun yang terjadi, bahkan sampai mati sekalipun, tidak akan kuijinkan kamu pergi menemuinya!” perintah keras Ibu membahana.
“Apa-apaan sih Ga? Bisa-bisanya kamu masih pengin ketemu sama dia, padahal jelas-jelas dia sudah menghianati Ibu!” Nila turut andil memprovokasi.
Jingga menggeleng, “Seburuk apapun perbuatan ayah, dia tetap ayah kita ‘kan?” Jingga berusaha meminta dukungan, “Pokoknya aku mau pergi ketemu ayah!”
Sebuah tamparan mendarat keras pada pipi Jingga, “Jangan coba-coba pergi ke Bali dan mencari Ayahmu. Kalau itu sampai terjadi, Ibu tidak akan mau memaafkanmu sampai kapan pun!” bentak Ibu.
Ciut juga nyali Jingga. Seumur hidup belum pernah sekalipun ia diperlakukan seperti ini. Spontan ia mengangguk, “Maafkan aku Ibu. Aku tidak akan mengungkit-ungkit masalah ini lagi.” Janji Jingga kemudian segera berjalan masuk ke dalam kamar.
Namun janji ternyata tinggalah janji, karena tepat tiga jam kemudian, Jingga telah berada di dalam bis antar propinsi yang mengantarnya memasuki pulau Dewata. Ia harus menemui ayah kandungnya.
*****
Ni Nyoman Sutini menatap lekat wajah cucu perempuannya yang sedang tidur di sampingnya. Sebentar-sebentar si cucu bergerak gelisah, dari mulutnya terdengar lenguhan pelan yang membuat batinnya seolah teriris-iris.
Tadi sore gadis muda ini mengetuk pintu rumahnya dan dengan sekali memandang Ia tahu gadis itu adalah cucu yang selalu dirindukannya. Usaha putranya melacak dimana anak dan istrinya berada ternyata telah berhasil.
“Selamat datang Jingga, Niang amat merindukanmu.”
Jingga menatap wajah nenek yang tidak pernah dikenalnya dengan cinta dan kemudian mencari-cari sosok lain yang juga ingin dikenalnya.
Ni Nyoman Sutini melihat ketidaksabaran cucunya, “Ayahmu sebentar lagi datang.”
Jingga merasakan dadanya berdegup kencang. Oke, sebentar lagi ia akan bertemu dengan ayah kandungnya. Sangat menyenangkan, walaupun rasa takut itu tetap menjalari hatinya. Bagaimana kalau ayahnya ternyata bajingan seperti kata Ibu? Bagaimana kalau ayah ternyata tidak mencintainya? Bagaimana? Dan sejuta bagaimana lainnya.
Bel pintu bergoyang ketika seorang lelaki hampir setengah baya memasuki rumah dengan membawa dua butir kelapa di tangannya. Ia terkejut melihat ibunya memeluk seorang gadis muda yang diyakininya istimewa.
Nenek dan cucu itu menoleh ke arah datangnya cahaya, dan Jingga pun mengetahui darimana datangnya keindahan wajah yang dimilikinya.
“Ayah?” tanya Jingga ragu-ragu.
Sang Ayah segera melepaskan semua yang sedang dipegangnya kemudian berlari memeluk Jingga, “Sang Jingga-ku!”
Ni Nyoman Sutini tersadar dari lamunannya ketika tidak sengaja Jingga menendangnya. Diperbaiki selimut yang terlepas dari tubuh cucu perempuannya itu, kemudian ia merebahkan kepala dan mulai memejamkan mata.
Sementara itu di Jakarta…
“Apa yang harus kita lakukan Bu? Jingga pasti menemui dia!” tanya Nila kalut.
Ibu menggeleng panik. Dia pernah berjanji dengan dirinya untuk tidak menemui mantan suaminya, apa pun yang terjadi. Tapi sekarang mau tak mau ia harus pergi menyusul putri bungsunya. Ia khawatir akan kehilangan buah hatinya tersebut.
Dering telepon memecah kekalutan, Nila beranjak mengangkatnya. Kemudian ia terdiam, “Ibu kita harus ke rumah sakit, Papa dan Nenek mendapat kecelakaan.”
*****
Dita, Ayah ternyata tidak bersalah. Dia hanya terperangkap ke dalam permainan yang kakek dan nenek buat. Kasihan, Ia harus dihukum delapan tahun penjara atas perbuatan yang tak dilakukannya. Kalau saja Pekakmasih hidup, mungkin Ayah tidak akan dibiarkan menderita. Sayangnya kematian Pekak telah membuat keluarga Ayah bangkrut sehingga tidak mampu membayar pengacara hebat untuk membela Ayah. Dan kamu tahu Dit, aku tadinya berpikir kalau Ayah tidak mencintai kami lagi, karena selama ini ia tidak berusaha menemui kami. Tapi ternyata tidak begitu. Dia ternyata mengalami kesulitan untuk menemukan kami, sampai suatu hari, kamu ingat nggak, profilku yang dimuat di majalah waktu itu ternyata menjadi titik temu pencarian Ayah. Tapi apakah aku harus percaya semua omongannya?
Versi cerita Ayah dan Ibu begitu bertolak belakang, dan bodohnya aku tidak tahu siapa yang benar. Sebenarnya aku bahagia atas pertemuan ini, tapi juga sedikit marah atas ketidakpercayaan Ibu selama ini kepada kami. Ibu terlalu sombong untuk menjaga rahasia ini sendiri. Tapi aku sadar kalau penipuan yang Ibu buat mungkin cuma untuk melindungi kami, aku dan kakakku.
Dita, saat ini aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku tidak tahu harus berpihak kepada siapa. Aku tidak membenci siapa pun karena toh kebencianku tidak akan mengembalikan pasir waktu. Aku hanya ingin bertanya, mengapakah Tuhan berbuat ini padaku? Mengapa jalan Tuhan menjadi serumit ini untukku?
Saat ini aku merasa tidak berguna, merasa amat kecil dan tak bermakna. Hal ini membuatku menjadi bosan akan hidup, mungkinkah kematian dapat mendamaikan segalanya?
Jingga
Dita terkesiap, menutup sambungan internetnya dan segera mengangkat gagang telpon. Terdengar dering tunggu untuk beberapa lama, “Halo Rai, ini Dita. Kayaknya kamu harus benar-benar mengawasi Jingga deh!”
“Aku selalu berada dekat dengannya sesuai perintahmu kok!”
“Tapi kini kau harus lebih mengawasinya, aku takut dia ingin bunuh diri!” seru Dita.
*****
“Hei Ida, jangan berdiri terlalu dekat ombak nanti cai bisa terseret pusarannya!” teriak seseorang, namun gadis itu tetap berjalan ke arah laut, dekat dan makin mendekat. Secara tiba-tiba tangannya ditarik, namun Jingga tidak mau dipaksa, ia meronta dan tetap berusaha berjalan menembus deruan ombak di depannya. Tarikan itu tidak mau mengalah, ia memeluk pinggang Jingga dan mengangkat tubuh kecil gadis itu ke tepi.
Jingga tetap meronta-ronta sehingga sebuah tamparan mendarat di wajahnya. “Cai mau bunuh diri? Sudah bosan hidup rupanya.” seru suara itu.
Jingga tersadar dan dipukulnya pepasir, “Mati! Mengapa tidak kau biarkan aku mati saja?”
“Tenanglah, lebih baik cai tiangantar pulang.”
Seperti terbius Jingga menurut saja ketika pemuda itu menuntunnya pulang. Pikirannya terlalu keruh untuk dapat berpikir sehat. Ia salah bila merasa kematiannya dapat menyelesaikan masalah.
*****
Sehari berlalu sejak peristiwa percobaan bunuh diri itu, kini di bawah kerlip bintang ditatapnya kehidupan yang hendak disia-siakannya. Jingga tersenyum kepada Rai Cakra, pemuda yang menolongnya kemarin. “Terima kasih atas pertolongannya waktu itu. Kalau nggak ada kamu mungkin aku sudah benar-benar bunuh diri.”
“Sudahlah Jingga, memang sudah tugas tiang untuk menjagamu.”
“Menjaga? Apa maksudmu Rai?” tanya Jingga curiga.
“Eh..ah.” Rai gelagapan, “Eng… jangan curiga dulu. Aku bukan orang jahat, aku hanya diminta Dita, sepupuku, untuk mengawasimu karena saat ini kau sedang labil.”
“Dita?!” dan mengertilah Jingga betapa dalam kasih sahabatnya itu.
“Jingga, mari kita lupakan sejenak masalah tadi. Yang terpenting sekarang adalah masalah orang tuamu, karena apa pun yang terjadi, jangan buat dirimu memihak salah satu dari mereka, sebab semua ini adalah masalah pribadi orang tuamu. Biarkanlah ini tetap menjadi masalah mereka. Seburuk-buruknya mereka, ayahmu akan tetap menjadi ayahmu dan begitu juga dengan ibumu. Jangan jadikan semua masalah mereka menjadi alasan untuk menyia-nyiakan hidupmu. Kamu masih muda dan masih banyak yang harus diraih. Berjanjilah kamu tidak akan mengulangi perbuatan bodoh itu lagi.” pinta Rai.
Senyum Jingga mengembang, “Aku janji padamu tidak akan berniat bunuh diri lagi.”
Rai menggelengkan, “Tidak, kamu harus berjanji dengan dirimu sendiri, karena baik Tuhan pun tidak akan mampu mengatur sikapmu.”
“Baiklah, tapi apakah semua ini merupakan pesan-pesan khusus dari Dita?”
“Tentu tidak! Dita tidak memiliki pikiran sejenius itu.” dan mereka pun tertawa.
*****
Dua hari kemudian…
Jingga berdiri di depan gerbang menggenggam erat tangan Ayahnya, matanya mengawasi kedatangan ibu dan Nila, jantungnya berdegup kencang. Ia takut terjadi perang dunia ketiga disini.
“Aku tahu kamu pasti kembali, Ayu.” sahut ayah getir.
Ayu tidak menampakkan tatapan permusuhan. Ia hanya menatap wajah mantan suaminya dan kemudian segera bersujud di kakinya, “Maafkan aku Bli, dulu aku tidak mempercayai perkataanmu sehingga selama ini Bli harus menanggung banyak penderitaan.”
Agung mengangkat tangan Ayu dan menyuruhnya berdiri, “Aku tahu kalau sebenarnya selama ini kamu juga menderita, lupakanlah semuanya dan jangan salahkan siapa-siapa atas apa yang telah kita hadapi. Tuhan Maha Baik walaupun terkadang jalanNya amat sulit kita mengerti.” Agung berjalan mendekati Nila dan kemudian memeluknya, “Sang Nila-ku, Ayah menyayangimu.” Dan Nila pun menangis, menghancurkan kekerasan hatinya.
“Ibu, mengapa hati ibu mencair? Apa yang membuat peperangan ini usai?” tanya Jingga perlahan dan hati-hati.
Ibu menangis lagi, “Jingga… kemarin nenek meninggal dunia.”
“Nenek?” seluruh kebencian Jingga padanya tiba-tiba menghilang.
“Nenek dan papa tiga hari yang lalu mendapat kecelakaan.” Nila alih bicara, “Papa hanya luka ringan tapi keadaan nenek kritis dan kemarin pagi nenek meninggal dunia. Hal itu juga merupakan salah satu alasan kami ke sini, kami mau menjemputmu untuk menghadiri pemakaman nenek besok siang di Singaraja.”
“Aku turut berduka cita.” prihatin Ayah.
“Dan sebelum nenek meninggal, beliau menceritakan semua hal-hal yang selama ini mereka rahasiakan, sehingga akhirnya Ibu mengetahui perihal permainan mereka selama ini.”
“Ayah, Ibu.” panggil Nila. “Karena semua masalah sudah jelas, tidak dapatkah kita menjadi suatu keluarga yang utuh?”
“Walaupun untuk itu harus ada seseorang yang berkorban?” Jingga teringat papanya.
Agung menatap mata Ayu dan memahami kegelisahannya, “Anak-anakku, masa lalu hanyalah cermin dan pedoman kita untuk melangkah menuju masa depan. Kita tidak boleh mengatur takdir dan mendobrak apa yang sudah kekal. Saat ini kalian telah memiliki seorang Papa, yang ku yakin amat mencintai kalian. Belajarlah bersikap bijaksana dan jangan biarkan kesalahan yang sama terulang kembali. Suatu lembaga perkawinan bukanlah suatu panggung permainan yang bisa disimak ataupun ditinggalkan. Semuanya telah tercipta abadi dan hanya Tuhan yang sanggup memisahkan. Biarkanlah apa yang sudah ada menjadi tetap ada dan berjanjilah untuk tetap mencintai Papa kalian.” Agung berusaha menahan air matanya.
“Walaupun begitu kalian boleh mengunjungi Ayah kapan pun kalian suka.” tambah Ibu.
Jingga mengerti bahwa bukan dirinya yang berkuasa mengatur roda nasib, “Kami mengerti dan amat menghargai semua keputusan Ayah dan Ibu.”
“Kami mencintai Ayah dan tentu tetap juga mencintai Papa, sebab biar bagaimanapun kalianlah yang membuat kami masih bertahan sampai saat ini.” Nila meminta persetujuan Jingga.
“Iya. Dan kau tahu Ayah aku akan selalu menyempatkan untuk mengunjungi Ayah, karena kurasa aku telah jatuh cinta dengan tempat ini.” tambah Jingga riang.
Ayu tersenyum lega menyadari kedewasaan kedua putrinya yang kini sedang beranjak dewasa. Dipeluknya sepasang kembang mayangnya itu, “Mari sekarang kita ke Singaraja, mereka pasti sedang menunggu kita.” ajaknya.
Mereka pun berjalan bersama menuju mobil yang akan mengantar mereka memaafkan masa lalu. Dan di dalam mobil Nila berbisik nakal kepada Jingga, “Ga, aku rasa kamu tidak hanya jatuh cinta pada Bali, ada seseorang di sini yang sedang kamu jatuhi cinta khan?” selidik Nila.
“Ah kakak, jangan begitu donk! Ini pasti gara-gara Dita.” ujar Jingga seraya mencubit pinggang kakaknya, dan pikirannya pun melayang jauh kepada pemuda berkulit coklat yang menolongnya tempo hari.
Agung dan Ayu menatap buah hati mereka sambil tersenyum riang dan keduanya saling bertatapan hangat, “Terima kasih Gung.” ujar Ayu.
“Tetaplah bertahan demi mereka dan demi Heru, suami tercintamu. Aku akan tetap mendoakanmu dari sini.”
Sesuatu yang berjalan sempurna memang terkadang tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Yang terpenting adalah memadamkan api dendam dan permusuhan serta menggantikannya dengan cinta kasih yang sudah banyak diuji oleh beragam kepahitan. Karena kedamaian membuat semesta riuh bernyanyi untuk mengagungkan keindahan cipta dan kesepurnaan kasih Tuhan, Amin.
-SELESAI-
[i] Mrangkat : kawin lari
[ii] Niang : nenek
[iii] Pekak : kakek
[iv] Ida : kamu (perempuan)
[v] Cai : kamu
[vi] Tiang : saya
[vii] Bli : panggilan untuk abang/ kakak laki-laki
*****
“Kisah ini ditulis ketika dunia berputar terlalu cepat sehingga kasih sayang menjadi sarat oleh dusta, ketika kemunafikan menjadi sendi-sendi kepolosan dan kehancuran menjadi kekasih sang pujangga cinta. Semua menjadi ketidak berdayaan ketika orang yang kita percayai ternyata tidak berani mempercayai kita.”
Jakarta, Pkl 21:35
Seorang gadis menekuri kata-kata yang tertulis dalam sebuah layar imaji jiwa, komunikasi maya penghubung dunia global yang didiaminya. Setengah jam yang lalu sebuah surat masuk ke dalam inbox-nya, surat yang sebenarnya terlalu singkat untuk dimengerti tapi juga terlalu penting untuk diremehkannya.
Bila saat ini pikirannya sedang sehat, dia pasti akan menghapus surat itu dan melemparnya ke dalam recycle bin. Tapi saat ini dia sedang tidak sehat hingga amat mudah dipengaruhi bahkan oleh gosip murahan sekalipun. Setiap helaan kalimat dibaca dan terus dibacanya lagi seolah hidupnya akan menghilang bila dia tak segera mengerti. Keningnya sebentar-sebentar berkerut. Rasa heran, takut dan gembira bercampur aduk menjadi satu adonan perasaan aneh yang kini sedang bergumul di dalam jiwanya.
“Aku rasa ini cuma ulah orang-orang iseng. Mungkin ada orang yang nggak suka sama keluargamu, makanya ia mengirimkan pesan itu!” sebuah suara tiba-tiba memecahkan kesunyian.
Gadis itu menghela napas berat, “Nggak mungkin, Dit! Ini sudah kesepuluh kalinya aku menerima surat yang senada. Ini terlalu melelahkan untuk dilakukan orang yang nggak punya kerjaan sekalipun!”
Dita ikut-ikutan menghela napas, “Terus, apa yang akan kamu lakukan? Jingga, kamu nggak bakal percaya sama surat itu ‘kan? Nggak ‘kan?” yakin Dita.
“Nggak tahulah!” gadis bernama Jingga itu mengangkat bahunya, “Mungkin, setelah aku membuktikan apakah dia memang benar ayah kandungku!”
*****
Malam ini seperti biasanya semua sudah berkumpul di meja makan; di sana ada Ibu, Nila, Jingga dan seorang Ayah yang tidak berwibawa sama sekali. Hidangan pencuci mulut telah licin tandas dan sekarang adalah waktunya curhat keluarga. Kegiatan yang menurut Jingga sangat tidak penting, tapi tidak hari ini. Dari tadi siang sepulang sekolah sampai detik ini, jantung Jingga tak henti-hentinya bergemuruh, layaknya ada sekelompok marching band memainkan lagu di dalamnya. Hari ini acara curhat keluarga menjadi moment yang paling Jingga tunggu. Ia pun mengerahkan seluruh keberaniannya dan mulai mengingat susunan kata yang sejak tadi telah disiapkannya.
Saat Ibu selesai tertawa setelah mendengar cerita lucu Nila, kakaknya. Jingga mendobrak masuk ke dalam celah kosong itu, “Ibu, siapa sebenarnya ayah kandungku?” Jingga lupa berbasa-basi. Segala susunan kata yang telah disiapkannya tadi hancur total.
Semuanya terdiam, wajah Ibu terlihat terkejut sehingga setiap sudut kulitnya kelihatan memucat.
“Apa maksudmu Jingga?”
Jingga menyerahkan setumpuk surat yang telah di-print-nya dari komputer, “Baca surat ini dan tolong cerita keadaan yang sebenarnya!”
Sedikit ragu ibu mengambil tumpukan kertas yang diserahkan Jingga, “Surat apa ini?”
“Ada orang bernama Gusti Gede Agung mengaku sebagai ayah kandungku dan Kak Nila. Benarkah?” tanya Jingga. Tak lama ibu kelihatan tertunduk, dan sontak membisu.
“Jingga, kamu kenapa sih? Lagi kesambet setan? Sudah jelas ‘kan kalau papa kita itu…”
Ayah memotong perkataan Nila, “Tidak, aku bukan papa kandung kalian.”
“Papa! Apa-apaan sih?” pekik Ibu panik.
“Bu, jangan biarkan kebohongan ini bertahan terlalu lama!” Ia menoleh ke arah istrinya kemudian pergi meninggalkan meja makan.
Ibu menangis sambil merobek-robek surat yang tadi diberikan Jingga, “Tidak! Dia bukan ayahmu karena tidak ada seorang ayah yang tega menghancurkan hidup keluarganya. Dia bukan siapa-siapa!”
“Ibu!” pekik Jingga, “Tolong jangan bikin kami bingung!” Jingga berteriak histeris.
Nila ikut-ikutan berteriak. Tangannya bahkan mulai memukul-mukul meja makan, “Sebenarnya ada apa? Apa maksud ibu?”
Suasana mendadak hening, yang terdengar kemudian hanya isak tangis dari tiga orang, ibu dan kedua anak itu, “Ya, Gusti Gede Agung memang ayah kandung kalian,” ucap ibu terbata, air matanya turun tak tertahan.
Nila kembali memekik sedangkan Jingga, sebaliknya terlihat bahagia. Bibirnya menyungingkan senyum. Ia merasa lega.
*****
Agung dan Ayu saling mencintai. Mereka telah berikrar janji untuk selalu setia dan akan tetap begitu meskipun ajal memisahkan mereka. Namun, semuanya tidak berjalan seperti seharusnya karena kedua orang tua mereka ternyata saling membenci layaknya kisah Romeo dan Juliet, yang ternyata begitu populer bahkan sampai ke tanah Bali sekalipun. Walaupun kisah cinta mereka tidak harus berakhir tragis seperti cerita Shakespeare tersebut, kebahagiaan tetap tidak menjadi akhir dari cerita. Cinta mereka tetap sulit bersatu oleh karena hempasan jutaan badai dan gempuran milyaran kekejaman. Satu-satunya penyelesaian yang ada dalam benak mereka adalah lari dari masalah. Maka pada saat matahari masih terlalu dini bersinar, mrangkat-lah kedua anak manusia itu ke Jakarta.
Lima tahun telah berlalu, kedamaian amat melingkupi mereka dan semua terasa lengkap ketika Tuhan telah menganugerahkan dua orang putri, Sang Nila dan Sang Jingga. Keduanya menjadi sumber kesempurnaan hidup mereka.
Lima bulan kemudian, tak disangka cobaan paling berat menghempaskan mereka. Keluarga sang istri yang masih mendendam, mengutus seorang gadis untuk menjebak sang suami hingga dosa melingkupi mereka. Semua itu belum cukup ketika suatu hari si gadis ditemukan mati dalam pelukan sang suami. Puluhan tahun yang didakwakan jaksa untuk menghukum dosa-dosa sang suami telah mematahkan dan menghancurkan cinta mereka sampai berkeping-keping. Peristiwa itu membuat si istri apatis dan tiada lagi berbelas kasih. Dibiarkannya sang suami menderita sendirian di balik terali sementara dirinya berusaha kabur dari kenyataan. Dengan hati yang hancur dibawanya Nila dan Jingga kembali ke rumah orang tuanya, dan sama sekali tidak curiga atas kebahagiaan berkedok belas kasihan dan keprihatinan semu yang ditampilkan oleh keluarganya.
Lima minggu berlalu, dan secara cepat mereka telah resmi berpisah. Agung dan Ayu ternyata tak ditakdirkan bersatu. Ayu yang rapuh tak dibiarkan menjanda terlalu lama, sang keluarga telah menyiapkan seorang pengusaha nan kaya untuk menjadi pengganti suaminya. Ayu setuju, semata-mata demi anak-anaknya dan demi memuaskan rasa sakit hatinya.
Dan tepat lima hari kemudian ia telah menikah lagi.
Namun, apakah benar sebuah hati memiliki kapasitas mega byte sehingga setiap dinding-dindingnya dengan mudah dapat diisi oleh yang lain, yang lain dan yang lainnya lagi? Ayu pun begitu mendendam sehingga dengan sepenuh jiwa raga dibuatnya sebuah ‘tameng besi’ dan ‘benteng baja’ untuk melindungi kedua putrinya dari seseorang yang bergelar ‘ayah kandung’!
Beruntunglah saat peristiwa itu terjadi kedua putrinya belum mampu mengatur memori sehingga pikiran mereka masih mudah dimanipulasi. Namun, tak disangka hari ini tiba juga. Hari pengadilan bagi dusta dan penipuan! Karena apa pun yang terjadi, seorang ayah akan tetap menjadi seorang ayah, seburuk apa pun kenyataannya. Dan siapa pun tak berhak memisahkan keterikatan darah tersebut, termasuk Ayu.
*****
“Kalau begitu aku harus pergi menemui ayah!” putus Jingga.
Ibu terkesiap, “Tidak, apa pun yang terjadi, bahkan sampai mati sekalipun, tidak akan kuijinkan kamu pergi menemuinya!” perintah keras Ibu membahana.
“Apa-apaan sih Ga? Bisa-bisanya kamu masih pengin ketemu sama dia, padahal jelas-jelas dia sudah menghianati Ibu!” Nila turut andil memprovokasi.
Jingga menggeleng, “Seburuk apapun perbuatan ayah, dia tetap ayah kita ‘kan?” Jingga berusaha meminta dukungan, “Pokoknya aku mau pergi ketemu ayah!”
Sebuah tamparan mendarat keras pada pipi Jingga, “Jangan coba-coba pergi ke Bali dan mencari Ayahmu. Kalau itu sampai terjadi, Ibu tidak akan mau memaafkanmu sampai kapan pun!” bentak Ibu.
Ciut juga nyali Jingga. Seumur hidup belum pernah sekalipun ia diperlakukan seperti ini. Spontan ia mengangguk, “Maafkan aku Ibu. Aku tidak akan mengungkit-ungkit masalah ini lagi.” Janji Jingga kemudian segera berjalan masuk ke dalam kamar.
Namun janji ternyata tinggalah janji, karena tepat tiga jam kemudian, Jingga telah berada di dalam bis antar propinsi yang mengantarnya memasuki pulau Dewata. Ia harus menemui ayah kandungnya.
*****
Ni Nyoman Sutini menatap lekat wajah cucu perempuannya yang sedang tidur di sampingnya. Sebentar-sebentar si cucu bergerak gelisah, dari mulutnya terdengar lenguhan pelan yang membuat batinnya seolah teriris-iris.
Tadi sore gadis muda ini mengetuk pintu rumahnya dan dengan sekali memandang Ia tahu gadis itu adalah cucu yang selalu dirindukannya. Usaha putranya melacak dimana anak dan istrinya berada ternyata telah berhasil.
“Selamat datang Jingga, Niang amat merindukanmu.”
Jingga menatap wajah nenek yang tidak pernah dikenalnya dengan cinta dan kemudian mencari-cari sosok lain yang juga ingin dikenalnya.
Ni Nyoman Sutini melihat ketidaksabaran cucunya, “Ayahmu sebentar lagi datang.”
Jingga merasakan dadanya berdegup kencang. Oke, sebentar lagi ia akan bertemu dengan ayah kandungnya. Sangat menyenangkan, walaupun rasa takut itu tetap menjalari hatinya. Bagaimana kalau ayahnya ternyata bajingan seperti kata Ibu? Bagaimana kalau ayah ternyata tidak mencintainya? Bagaimana? Dan sejuta bagaimana lainnya.
Bel pintu bergoyang ketika seorang lelaki hampir setengah baya memasuki rumah dengan membawa dua butir kelapa di tangannya. Ia terkejut melihat ibunya memeluk seorang gadis muda yang diyakininya istimewa.
Nenek dan cucu itu menoleh ke arah datangnya cahaya, dan Jingga pun mengetahui darimana datangnya keindahan wajah yang dimilikinya.
“Ayah?” tanya Jingga ragu-ragu.
Sang Ayah segera melepaskan semua yang sedang dipegangnya kemudian berlari memeluk Jingga, “Sang Jingga-ku!”
Ni Nyoman Sutini tersadar dari lamunannya ketika tidak sengaja Jingga menendangnya. Diperbaiki selimut yang terlepas dari tubuh cucu perempuannya itu, kemudian ia merebahkan kepala dan mulai memejamkan mata.
Sementara itu di Jakarta…
“Apa yang harus kita lakukan Bu? Jingga pasti menemui dia!” tanya Nila kalut.
Ibu menggeleng panik. Dia pernah berjanji dengan dirinya untuk tidak menemui mantan suaminya, apa pun yang terjadi. Tapi sekarang mau tak mau ia harus pergi menyusul putri bungsunya. Ia khawatir akan kehilangan buah hatinya tersebut.
Dering telepon memecah kekalutan, Nila beranjak mengangkatnya. Kemudian ia terdiam, “Ibu kita harus ke rumah sakit, Papa dan Nenek mendapat kecelakaan.”
*****
Dita, Ayah ternyata tidak bersalah. Dia hanya terperangkap ke dalam permainan yang kakek dan nenek buat. Kasihan, Ia harus dihukum delapan tahun penjara atas perbuatan yang tak dilakukannya. Kalau saja Pekakmasih hidup, mungkin Ayah tidak akan dibiarkan menderita. Sayangnya kematian Pekak telah membuat keluarga Ayah bangkrut sehingga tidak mampu membayar pengacara hebat untuk membela Ayah. Dan kamu tahu Dit, aku tadinya berpikir kalau Ayah tidak mencintai kami lagi, karena selama ini ia tidak berusaha menemui kami. Tapi ternyata tidak begitu. Dia ternyata mengalami kesulitan untuk menemukan kami, sampai suatu hari, kamu ingat nggak, profilku yang dimuat di majalah waktu itu ternyata menjadi titik temu pencarian Ayah. Tapi apakah aku harus percaya semua omongannya?
Versi cerita Ayah dan Ibu begitu bertolak belakang, dan bodohnya aku tidak tahu siapa yang benar. Sebenarnya aku bahagia atas pertemuan ini, tapi juga sedikit marah atas ketidakpercayaan Ibu selama ini kepada kami. Ibu terlalu sombong untuk menjaga rahasia ini sendiri. Tapi aku sadar kalau penipuan yang Ibu buat mungkin cuma untuk melindungi kami, aku dan kakakku.
Dita, saat ini aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku tidak tahu harus berpihak kepada siapa. Aku tidak membenci siapa pun karena toh kebencianku tidak akan mengembalikan pasir waktu. Aku hanya ingin bertanya, mengapakah Tuhan berbuat ini padaku? Mengapa jalan Tuhan menjadi serumit ini untukku?
Saat ini aku merasa tidak berguna, merasa amat kecil dan tak bermakna. Hal ini membuatku menjadi bosan akan hidup, mungkinkah kematian dapat mendamaikan segalanya?
Jingga
Dita terkesiap, menutup sambungan internetnya dan segera mengangkat gagang telpon. Terdengar dering tunggu untuk beberapa lama, “Halo Rai, ini Dita. Kayaknya kamu harus benar-benar mengawasi Jingga deh!”
“Aku selalu berada dekat dengannya sesuai perintahmu kok!”
“Tapi kini kau harus lebih mengawasinya, aku takut dia ingin bunuh diri!” seru Dita.
*****
“Hei Ida, jangan berdiri terlalu dekat ombak nanti cai bisa terseret pusarannya!” teriak seseorang, namun gadis itu tetap berjalan ke arah laut, dekat dan makin mendekat. Secara tiba-tiba tangannya ditarik, namun Jingga tidak mau dipaksa, ia meronta dan tetap berusaha berjalan menembus deruan ombak di depannya. Tarikan itu tidak mau mengalah, ia memeluk pinggang Jingga dan mengangkat tubuh kecil gadis itu ke tepi.
Jingga tetap meronta-ronta sehingga sebuah tamparan mendarat di wajahnya. “Cai mau bunuh diri? Sudah bosan hidup rupanya.” seru suara itu.
Jingga tersadar dan dipukulnya pepasir, “Mati! Mengapa tidak kau biarkan aku mati saja?”
“Tenanglah, lebih baik cai tiangantar pulang.”
Seperti terbius Jingga menurut saja ketika pemuda itu menuntunnya pulang. Pikirannya terlalu keruh untuk dapat berpikir sehat. Ia salah bila merasa kematiannya dapat menyelesaikan masalah.
*****
Sehari berlalu sejak peristiwa percobaan bunuh diri itu, kini di bawah kerlip bintang ditatapnya kehidupan yang hendak disia-siakannya. Jingga tersenyum kepada Rai Cakra, pemuda yang menolongnya kemarin. “Terima kasih atas pertolongannya waktu itu. Kalau nggak ada kamu mungkin aku sudah benar-benar bunuh diri.”
“Sudahlah Jingga, memang sudah tugas tiang untuk menjagamu.”
“Menjaga? Apa maksudmu Rai?” tanya Jingga curiga.
“Eh..ah.” Rai gelagapan, “Eng… jangan curiga dulu. Aku bukan orang jahat, aku hanya diminta Dita, sepupuku, untuk mengawasimu karena saat ini kau sedang labil.”
“Dita?!” dan mengertilah Jingga betapa dalam kasih sahabatnya itu.
“Jingga, mari kita lupakan sejenak masalah tadi. Yang terpenting sekarang adalah masalah orang tuamu, karena apa pun yang terjadi, jangan buat dirimu memihak salah satu dari mereka, sebab semua ini adalah masalah pribadi orang tuamu. Biarkanlah ini tetap menjadi masalah mereka. Seburuk-buruknya mereka, ayahmu akan tetap menjadi ayahmu dan begitu juga dengan ibumu. Jangan jadikan semua masalah mereka menjadi alasan untuk menyia-nyiakan hidupmu. Kamu masih muda dan masih banyak yang harus diraih. Berjanjilah kamu tidak akan mengulangi perbuatan bodoh itu lagi.” pinta Rai.
Senyum Jingga mengembang, “Aku janji padamu tidak akan berniat bunuh diri lagi.”
Rai menggelengkan, “Tidak, kamu harus berjanji dengan dirimu sendiri, karena baik Tuhan pun tidak akan mampu mengatur sikapmu.”
“Baiklah, tapi apakah semua ini merupakan pesan-pesan khusus dari Dita?”
“Tentu tidak! Dita tidak memiliki pikiran sejenius itu.” dan mereka pun tertawa.
*****
Dua hari kemudian…
Jingga berdiri di depan gerbang menggenggam erat tangan Ayahnya, matanya mengawasi kedatangan ibu dan Nila, jantungnya berdegup kencang. Ia takut terjadi perang dunia ketiga disini.
“Aku tahu kamu pasti kembali, Ayu.” sahut ayah getir.
Ayu tidak menampakkan tatapan permusuhan. Ia hanya menatap wajah mantan suaminya dan kemudian segera bersujud di kakinya, “Maafkan aku Bli, dulu aku tidak mempercayai perkataanmu sehingga selama ini Bli harus menanggung banyak penderitaan.”
Agung mengangkat tangan Ayu dan menyuruhnya berdiri, “Aku tahu kalau sebenarnya selama ini kamu juga menderita, lupakanlah semuanya dan jangan salahkan siapa-siapa atas apa yang telah kita hadapi. Tuhan Maha Baik walaupun terkadang jalanNya amat sulit kita mengerti.” Agung berjalan mendekati Nila dan kemudian memeluknya, “Sang Nila-ku, Ayah menyayangimu.” Dan Nila pun menangis, menghancurkan kekerasan hatinya.
“Ibu, mengapa hati ibu mencair? Apa yang membuat peperangan ini usai?” tanya Jingga perlahan dan hati-hati.
Ibu menangis lagi, “Jingga… kemarin nenek meninggal dunia.”
“Nenek?” seluruh kebencian Jingga padanya tiba-tiba menghilang.
“Nenek dan papa tiga hari yang lalu mendapat kecelakaan.” Nila alih bicara, “Papa hanya luka ringan tapi keadaan nenek kritis dan kemarin pagi nenek meninggal dunia. Hal itu juga merupakan salah satu alasan kami ke sini, kami mau menjemputmu untuk menghadiri pemakaman nenek besok siang di Singaraja.”
“Aku turut berduka cita.” prihatin Ayah.
“Dan sebelum nenek meninggal, beliau menceritakan semua hal-hal yang selama ini mereka rahasiakan, sehingga akhirnya Ibu mengetahui perihal permainan mereka selama ini.”
“Ayah, Ibu.” panggil Nila. “Karena semua masalah sudah jelas, tidak dapatkah kita menjadi suatu keluarga yang utuh?”
“Walaupun untuk itu harus ada seseorang yang berkorban?” Jingga teringat papanya.
Agung menatap mata Ayu dan memahami kegelisahannya, “Anak-anakku, masa lalu hanyalah cermin dan pedoman kita untuk melangkah menuju masa depan. Kita tidak boleh mengatur takdir dan mendobrak apa yang sudah kekal. Saat ini kalian telah memiliki seorang Papa, yang ku yakin amat mencintai kalian. Belajarlah bersikap bijaksana dan jangan biarkan kesalahan yang sama terulang kembali. Suatu lembaga perkawinan bukanlah suatu panggung permainan yang bisa disimak ataupun ditinggalkan. Semuanya telah tercipta abadi dan hanya Tuhan yang sanggup memisahkan. Biarkanlah apa yang sudah ada menjadi tetap ada dan berjanjilah untuk tetap mencintai Papa kalian.” Agung berusaha menahan air matanya.
“Walaupun begitu kalian boleh mengunjungi Ayah kapan pun kalian suka.” tambah Ibu.
Jingga mengerti bahwa bukan dirinya yang berkuasa mengatur roda nasib, “Kami mengerti dan amat menghargai semua keputusan Ayah dan Ibu.”
“Kami mencintai Ayah dan tentu tetap juga mencintai Papa, sebab biar bagaimanapun kalianlah yang membuat kami masih bertahan sampai saat ini.” Nila meminta persetujuan Jingga.
“Iya. Dan kau tahu Ayah aku akan selalu menyempatkan untuk mengunjungi Ayah, karena kurasa aku telah jatuh cinta dengan tempat ini.” tambah Jingga riang.
Ayu tersenyum lega menyadari kedewasaan kedua putrinya yang kini sedang beranjak dewasa. Dipeluknya sepasang kembang mayangnya itu, “Mari sekarang kita ke Singaraja, mereka pasti sedang menunggu kita.” ajaknya.
Mereka pun berjalan bersama menuju mobil yang akan mengantar mereka memaafkan masa lalu. Dan di dalam mobil Nila berbisik nakal kepada Jingga, “Ga, aku rasa kamu tidak hanya jatuh cinta pada Bali, ada seseorang di sini yang sedang kamu jatuhi cinta khan?” selidik Nila.
“Ah kakak, jangan begitu donk! Ini pasti gara-gara Dita.” ujar Jingga seraya mencubit pinggang kakaknya, dan pikirannya pun melayang jauh kepada pemuda berkulit coklat yang menolongnya tempo hari.
Agung dan Ayu menatap buah hati mereka sambil tersenyum riang dan keduanya saling bertatapan hangat, “Terima kasih Gung.” ujar Ayu.
“Tetaplah bertahan demi mereka dan demi Heru, suami tercintamu. Aku akan tetap mendoakanmu dari sini.”
Sesuatu yang berjalan sempurna memang terkadang tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Yang terpenting adalah memadamkan api dendam dan permusuhan serta menggantikannya dengan cinta kasih yang sudah banyak diuji oleh beragam kepahitan. Karena kedamaian membuat semesta riuh bernyanyi untuk mengagungkan keindahan cipta dan kesepurnaan kasih Tuhan, Amin.
-SELESAI-
[i] Mrangkat : kawin lari
[ii] Niang : nenek
[iii] Pekak : kakek
[iv] Ida : kamu (perempuan)
[v] Cai : kamu
[vi] Tiang : saya
[vii] Bli : panggilan untuk abang/ kakak laki-laki