Lea Agustina Citra
  • About Me

Cerpen: Ojek Payung, Pengemis & Anak Politisi

11/6/2012

0 Comments

 
Cerpen kali ini genrenya dewasa. Dibuat karena pesanan untuk mengisi majalah gereja menyambut Paskah, sehingga ceritanya juga berkaitan dengan masa Pra Paskah (sebelum Paskah). Di agamaku, Paskah itu berkaitan dengan masa pertobatan, puasa dan pantang (makan,minum tertentu, merokok atau melakukan hura2). Hal-hal itu tercermin dari cerpen ini.

*****
Saat ini menjelang jam makan siang, tapi langit diluar lantai 6 Gedung Asia tampak gelap layaknya tengah malam. Hujan petir menghiasi langit muram itu, semuram hati Maria yang dari tadi tak henti-hentinya mengeluh.

                “Debenhams lagi diskon gede-gedean Sas!” seru Maria tiba-tiba, “Aku masih penasaran sama ankle boot yang kulihat kemarin di Senayan City, pastinya ada dong di Debenhams Supermal?”

                Saskia, partner satu ruangan Maria di kantor auditor Rama & Son berkomentar, “Aku lapar,” komentar Saskia agak nggak nyambung.

                “Coba kalau nggak hujan, aku ‘kan bisa nyebrang sebentar ke Supermal. Mumpung Jumat nih, jam istirahat bisa dimolor-molorin.”

                “Mau belanja lagi? Memang sepatumu belum cukup banyak Mar?”

                Maria menggeleng sambil tersenyum simpul, “Aku mengidolakan Imelda Marcos.”

                Saskia masam, “Capek deh, by the way hujannya udah berhenti tuh, tinggal sisa gerimis mengundang. Mau nekat?”

                “Siapa takut? Demi sepatu idaman gitu loh.” Sekejap Maria membongkar tasnya, mengambil dompet, hp dan segera menarik tangan Saskia menuju lift yang akan membawa mereka ke lobi.

                Hujan sebenarnya sudah tidak terlalu deras, tapi lumayan basah juga kalau nekat menerabas hujan menuju mall yang letaknya diseberang Gedung Asia, apalagi kalau penerabasnya adalah Maria yang kebetulan hari ini menggunakan flat shoes kesayangannya yang berbahan suede, yang kalau kena air sudah pasti jamuran.

                “Yah Sas, kamu gak bawa payung ya?”

                Saskia menggeleng, “Kalau bawa mah udah aku buka dari tadi. Ya udah deh kita lari aja.”

                “Gak mau ah, sepatuku nanti rusak. Mahal nih, belinya aja di Paris.” Maria manyun sambil memandangi sepatunya yang imut-imut.

                “Ya udah, kita pakai ojek payung aja yuk!” seru Saskia sambil menunjuk anak-anak yang menjajakan payung tidak jauh dari mereka.

                “Payung mbak!” seorang anak perempuan masih dengan seragam putih merah menghampiri mereka dengan wajah berseri-seri.

                Maria menggeleng tegas, “Gak dek, makasih!”

“Gimana sih Mar, kita ‘kan mau ke mall. Katanya takut kehujanan?!” timpal Saskia bingung.

“Hei Sas, mall ‘kan cuma tinggal nyebrang. Gak perlu lah pakai ojek-ojek payung segala. Buang-buang duit aja.”

                Wajah Saskia bisa dibilang sewarna dengan seluruh campuran juice buah-buahan ketika mendengar komentar Maria. Keningnya berkerut dan mulutnya menganga, “Bayar ojek payung yang gak sampai 5000 aja disebut buang-buang duit? Apa kabar sepatumu yang harganya setengah juta?”

*****

                “Minta sedekahnya mas…anak saya belum makan.” Seorang ibu berpakaian kumal tampak menggendong putranya yang masih bayi.

                “Duh sama yang lain aja. Gak ada uang kecil!”

                “Mas, kamu kok kasar gitu sih ngomongnya?”

                “Habis nggilani, anak’e ingusan ngono. Wong aku lagi makan.”

“Ya, tapi ndak usah gitu dong. Lagipula, kenapa makanmu banyak banget sih Mas? Kayak ndak pernah makan dari lahir aja.”

                “Masak sih Dek? Cuma segini aja kok.”

                Lastri memandang meja dihadapan mereka dengan tatapan polosnya. Semangkuk sop kaki kambing (yang sudah mangkuk kedua), 20 tusuk sate kambing, separuh piring nasi (yang sudah sisa dari 2 piring) serta segelas jus alpukat. Benar-benar “cuma segini”.

                “Kamu sendiri kok nggak makan? Masak dari tadi cuma nyeruputin teh doang. Kamu yakin nggak lapar?” tanya Parjo sambil mengunyah satenya, “Eh mas, nasinya tambah lagi ya. Setengah aja!”

                “Ndak mas, aku lagi pantang daging.”

                “Oh iya yah. Aku sih milih nggak pantang daging,” ujar Parjo enteng.

                “Berarti ndak pantang jajan juga ya mas?” Jelas. Saat ini mereka berdua sedang di kedai “Sop Kaki Kambing Tiga Saudara”

                “He eh!”

                “Terus Mas pantang apa?” Lastri jadi penasaran.

                Parjo mengelap mulutnya dengan tissue, bersendawa pelan kemudian tersenyum simpul, “Pantang ngerokok!”

                Wajah Lastri masam, “Pantang ngerokok?? Kamu ‘kan memang ndak merokok!”

                Parjo cengengesan.

*****

                “Gimana Man? Semua sumbangannya sudah siap?”

                “Sudah Pak. Sembako sudah siap dibagikan.”

                Hari ini F.X Soegito Azis, caleg Partai Indonesia Jaya yang akan bertarung dalam kancah pemilihan Gubernur Jawa Barat rencananya akan melakukan kunjungan sosial kepada para korban longsor Ciwidey. Semua sumbangan sudah dipersiapkan sebaik-baiknya oleh Arman, tangan kanannya.

                “Wartawan sudah siap juga?” tambah Pak Gito, biasa dia dipanggil.

                Arman mengangguk yakin, “Siap Pak, semua wartawan surat kabar dan TV baik lokal maupun nasional sudah saya undang. Di amplop yang saya berikan ke mereka sudah tertulis sedikit pesan-pesan yang bapak inginkan ditulis pada headline mereka.” Cerita Arman kemudian beranjak keluar dari ruang kerja Pak Gito.

                Pak Gito tersenyum puas. Terbayang di matanya keberhasilan menarik perhatian masyarakat untuk mendukungnya. Seorang F.X Soegito Azis, calon Gubernur Jawa Barat yang sangat tanggap terhadap bencana. Buktinya disaat belum ada pihak-pihak yang turun membantu korban longsor, dia sudah bergerak lebih dulu.

                Seorang wanita setengah baya dengan penampilan anggun menepuk lengan Pak Gito, menghablurkan lamunannya, “Pap, saya di rumah saja ya. Kepala saya pusing.”

                Pak Gito menggeleng, “Eh, bagaimana ini? Tidak bisa! Kamu sebagai istri calon Gubernur sudah sepatutnya tampil di setiap kesempatan. Ini promosi hebat Mam, kita akan diliput oleh banyak wartawan. Saat yang tepat karena seluruh mata sedang memperhatikan bencana tersebut.”

                “Tapi apakah Papa tidak salah? Masa’ Papa menggunakan moment bencana alam untuk mempromosikan diri?” tiba-tiba Kalina, putri tertua Pak Gito yang baru pulang kuliah ikut berkomentar.

                “Loh itu ‘kan justru menjadi moment yang tepat Nak!” yakin Pak Gito, “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui! Kapan lagi?”

                Bu Gito merengut, “Berarti Papa justru bersyukur ya kalau ada bencana alam?”

                “Yah, bisa dibilang selalu ada hikmah dalam setiap bencana ‘kan?” Pak Gito tergelak, “Lagipula niatan ini kan sesuai dengan ajaran cinta kasih yang Yesus ajarkan bukan? Apalagi tema masa Prapaskah tahun ini ‘kan berkaitan dengan pemberantasan kemiskinan.”

                Kalina dan Bu Gito saling berpandangan, “Ingat Pap, ada lagi ajaran Yesus yang harus Papa ingat!” sahut Kalina.

                “Apaan?”

                “Janganlah tangan kirimu mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kananmu.” Sahut Bu Gito singkat.

*****

“Bagaimana laporan hari ini?”

Pengojek Payung             : Gagal! Maria lebih senang mendewakan sepatu seharga ratusan ribu ketimbang menyewa payung saya, padahal saya tahu dia butuh sekali jasa saya. Dia terlalu pelit.

Pengemis                            : Saya juga gagal. Parjo yang rakus itu lebih mendewakan makanan enak, jajan. Kami yang hanya mimpi bisa makan seperti dia, tak ia pedulikan. Ia tidak memahami arti Pra Paskah.

Anak Politisi                        : Ehm, papaku terlalu sombong. Dia mendewakan kekuasaan dan jabatan di atas segalanya. Seolah tak bersalah, papa bahkan menggunakan alasan cinta kasih dibalik kebaikan palsu yang dia tampilkan. Saya malu.  

“Saya sedih. Manusiaku ternyata masih belum dapat memaknai pengorbanan yang Kulakukan untuk mereka. Kembalilah kalian ke bumi dan teruslah berjuang membuat manusia menjadi lebih baik. Biar Aku yang memperbaiki ketiga manusia tersebut, karena saatKu sudah dekat.”

Pengojek Payung, Pengemis, dan Anak Politisi kompak berseru, “Baik Tuhan.”

SELESAI

0 Comments

Catatan: Cinta Na Ringgo

11/6/2012

0 Comments

 
Mau sedikit sharing prestasi, siapa tahu bisa jadi semangat buat teman-teman yang mau ikutan lomba serupa. Jadi, suatu kali Tabloid Gaul & Indosiar mengadakan sayembara pembuatan ide cerita untuk Skenario FTV Musikal di Indosiar. Pada waktu itu sedang booming sekali FTV.

Bermodal cerita ini akhirnya saya menjadi 1 dari 25 Ide Cerita Terbaik yang ceritanya akan dijadikan FTV di Indosiar. Film dengan judul yang sama itu diperankan oleh Aldi Taher (Ringgo) dan Ardina Rasty (Karina). Seperti pada umumnya pembuatan film, terjadi pengembangan cerita (yang saya sesalkan sebenarnya) sehingga di FTVnya ada beberapa adegan yang tidak sesuai dengan ide aslinya, tapi itu gak jadi masalah krn ini pengalaman pertama yang magnificant buat saya ^_^ Cerita FTVnya bisa diklik di sini.

Dan ini adalah naskah aslinya :

Cinta-Na-Ringgo

RINGGO (20 tahun) jatuh cinta dan sangat tergila-gila pada KARINA (17 tahun), bintang sinetron remaja yang sedang naik daun. Bahkan saking pengin dekatnya dengan KARINA, RINGGO yang baru saja dikeluarkan dari kampusnya di Fakultas Teknik Kimia Universitas Indonesia Makmur, karena sukses meledakkan laboratorium di kampusnya, sampai nekat menyamar menjadi perempuan demi bisa satu sekolah dengan KARINA. Maklum saja KARINA bersekolah di SMA KHUSUS PEREMPUAN!

Laboratorium meledak à Lagu: I Will Survive

Satu bulan pertama bersekolah di sana, RINGGO yang menyamar menjadi cewek (sok) imut bernama REINA, tidak mengalami kesulitan berarti. Bahkan RINGGO telah berhasil bersahabat dengan KARINA. Kesuksesan RINGGO berperan sebagai perempuan selain dikarenakan OM DODON, adik ibunya, yang ahli menciptakan surat-surat identitas palsu. Juga berkat wajah manis dan kemulusan kulitnya. Kebetulan IBU RINGGO (45 tahun), wanita modern nan centil itu memiliki bisnis salon kecantikan dan dengan asalnya sering menguji coba cream kecantikan ciptaannya kepada RINGGO, putra satu-satunya itu. Alhasil, walaupun statusnya adalah cowok tulen, berkat keisengan ibunya plus keahlian make overyang dilakukan SARAH, sepupunya, RINGGO yang kini telah berubah menjadi REINA sukses menjadi salah satu murid tercantik di sekolahnya KARINA.

Proses Make-Over à Lagu: Believe Me (Fort Minor)

Tapi…“Reina, kenapa di leher kamu kayak ada jakunnya ‘gitu sih?” tanya KARINA, suatu hari.

“He eh,” sambung FENY, sahabat KARINA, “Kayak cowok aja! Lagipula kenapa badan kamu bisa tinggi besar ‘gini sih?” Feny menepuk lengan RINGGO, yang walaupun tidak sekekar binaraga, tetap kelihatan abnormal untuk lengan seorang cewek.

Dan RINGGO selalu berdalih kalau dia memang memiliki kelainan hormon.

“But it’s okay it’s all right gals!” Begitu kata-kata yang sering diucapkan RINGGO.

Namun, kebohongan pastinya tidak akan bertahan lama. Yah, yang namanya bangkai biarpun disiram parfum seember sekalipun, baunya tetap saja busuk. Berkat kecerobohan RINGGO yang suka pipis sembarangan, beberapa siswi yang baru saja selesai berolahraga memergoki kalau RINGGO ternyata lelaki tulen! Kegemparan sontak terjadi di sekolah! Dan tanpa ampun RINGGO langsung digiring ke tengah lapangan. Dihujat dan dihina oleh seluruh penghuni sekolah.

Detik itu juga RINGGO dikeluarkan dari sekolah. Seluruh satpam yang ada di sekolah tersebut sibuk menyeret RINGGO yang terlihat manis dengan rok abu-abu seksi itu. Namun, sebelum langkah kakinya positif berada di luar gerbang sekolah, RINGGO memplokamirkan ke seantero sekolah kalau ulahnya itu dikarenakan hasratnya ingin berdekatan dengan KARINA. Pada saat itu pula RINGGO mengatakan kalau ia sangat mencintai KARINA. Adegan ‘Katakan Cinta’ itu kelihatan begitu dramatis, karena gerakan meronta RINGGO yang dibuat slow motion berkolaborasi apik dengan tarikan garang para satpam.

Sayangnya saat itu KARINA dengan halus menolak permintaan RINGGO. Dengan wajah sedih RINGGO pasrah saja waktu para satpam menggiringnya keluar dari sekolah. Seluruh mantan teman-teman sekolahnya kompak melemparkan jambu air busuk yang berserakan di lapangan sekolah. RINGGO patah hati. Batinnya terluka. Selama berhari-hari ia mengurung diri di kamarnya yang bagaikan reruntuhan kapal Titanic. Kedua orang tuanya yang tidak tahu apa yang telah terjadi pada putra satu-satunya itu ikut uring-uringan.

Lagu: Kasih Tak Sampai (PADI)

Tapi kesedihan tersebut tidak bertahan lama karena di suatu sore yang cerah dimana kilat tidak menyabar pohon kenari, KARINA tiba-tiba muncul di depan pintu rumah RINGGO. KARINA mengatakan kalau selama beberapa hari ini ia memikirkan apa yang telah dilakukan RINGGO dan merasa sangat tersentuh dengan pengorbanan RINGGO. KARINA juga mengatakan kalau selama ini belum pernah ada orang yang saking mencintainya sampai mau berkorban sedemikian rupa.

“Kamu kelihatan berbeda,” ujar KARINA.

“Kenapa?” RINGGO mengamati tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki yang saat ini terlihat ‘cowok banget’.

“Aku lebih suka kamu jadi RINGGO. Biar aku bisa jadi pacar kamu!”

Wah, RINGGO bagaikan mendapatkan reruntuhan duren satu trailer.

“KARINA, aku sayang kamu!”  pekik RINGGO diiringi hujan yang tiba-tiba turun.

Tanpa berniat masuk ke dalam rumah apalagi mencari payung, RINGGO memeluk tubuh KARINA di tengah hujan yang semakin deras. Sungguh romantis!

Lagu: Wanita yang Kau Pilih (Rossa)

Setelah peristiwa itu, emosi RINGGO berubah 180 derajat. Pastinya! Sekarang RINGGO bagaikan petasan banting, ceria selalu! Walaupun hal tersebut makin membuat orang tuanya uring-uringan. Mereka tetap saja tidak tahu apa yang menyebabkan putranya yang kemarin bagaikan kerbau yang disundut rokok, kali ini selalu kelihatan bahagia bukan kepalang. Bahkan karena itu orang tuanya sampai berpikir untuk membawa RINGGO ke psikolog, mereka menganggap akibat dikeluarkan dari kampusnya tempo hari, RINGGO jadi stress! Tapi RINGGO tidak peduli, yang penting sekarang ia telah jadi kekasih seorang bintang sinetron yang cantik, sempurna, nan terkenal bernama KARINA.

Lagu: Because of You (Keith Martin)

Nyatanya jadi pacar seorang artis terkenal tidak selamanya menyenangkan. RINGGO baru menyadari kalau KARINA sebagai seorang artis ternyata bukan hanya miliknya, tapi juga seluruh masyarakat, tua-muda, miskin-kaya, pokoknya seluruh masyarakat Indonesia yang banyaknya naujubile itu deh.

RINGGO shock luar biasa ketika setiap kali pergi berdua dengan KARINA, mereka harus sibuk lari ke sana kemari, demi menghindari kejaran fans serta nyamuk pers. Belum lagi liputan-liputan berita gosip yang mengatakan kalau berdasarkan survey yang dilakukan oleh BADAN SENSUS SELEBRITIS, KARINA dianggap tidak layak memiliki pacar cowok ‘sesederhana’ RINGGO! Menurut fans setianya, KARINA lebih pantas berpacaran dengan GIO BASTIAN (21 tahun), lawan mainnya di sinetron BURUAN PACARI AKU. Jujur saja, dibandingkan dengan RINGGO, dilihat (ataupun tidak dilihat) secara fisik, GIO memang lebih segalanya. Badannya kekar. Perutnya ‘berkotak enam’. Wajahnya indo. Pokoknya nggak sebanding deh dengan RINGGO yang ‘manis’ itu.

RINGGO tertekan. Apalagi ketika menghadapi kenyataan kalau KARINA sangat akrab dengan GIO. Bahkan beberapa kali KARINA melupakan janjinya untuk pergi dengan RINGGO demi pergi ke acara-acara selebritis bersama GIO. Belum lagi perilaku GIO yang seolah-olah menampilkan ke seluruh dunia, kalau ia memang berpacaran dengan KARINA. RINGGO sedih. Segala ‘film indah’ yang diciptakannya di dalam mimpi, dengan KARINA sebagai bintang utamanya sepertinya akan berakhir buruk.

Lagu: Cemburu (Sandy)

Dengan sedih hati, ditambah dengan semakin gencarnya gosip yang mengatakan kalau GIO memang berpacaran dengan KARINA, RINGGO memutuskan untuk pergi diam-diam dari kehidupan KARINA. Permintaan orang tuanya yang telah putus harapan karena kembali melihat RINGGO merana sedih, agar RINGGO melanjutkan sekolahnya di Amerika Serikat, diterima RINGGO dengan tangan terbuka.

RINGGO memutuskan untuk pergi ke luar negeri. Dia hanya meninggalkan sepucuk surat berisi kekecewaan sebagai tanda perpisahan. Saat tiba di bandara, KARINA ternyata menyusulnya. Layaknya adegan di film India, plus bertambah seru karena para wartawan infotainment ikut-ikut bermain kejar-kejaran, KARINA mengejar RINGGO yang terburu-buru menghindarinya.

Sayangnya RINGGO sudah keburu masuk ke dalam ruang tunggu bandara, dan KARINA hanya bisa menatapnya dari balik dinding kaca. KARINA menangis histeris sambil memukul-mukul dinding kaca, sementara di belakangnya puluhan wartawan sibuk merekam perilakunya.

“RINGGO, jangan tinggalin aku. Aku sayang banget sama kamu!” jerit KARINA.

RINGGO berusaha menguatkan hatinya bahwa dia tidak pantas mendapatkan KARINA. Menurutnya gadis itu akan lebih baik bila berpacaran dengan GIO, yang dianggapnya ‘sederajat’  dengannya. Akhirnya dengan berat hati, RINGGO berjalan tegap memasuki lorong pesawat.

Lagu: Leaving on a Jet Plane (John Denver)

“Kesempatan nggak akan datang dua kali, anak muda!” seorang bapak setengah baya yang duduk di sebelah RINGGO, yang rupanya ikut menyimak adegan tadi berusaha menasihati RINGGO.

RINGGO tersenyum, “Maksud bapak?”

“Mumpung pesawatnya belum terbang lebih baik kamu kembali ke pacar kamu. Sebenarnya dia sangat mencintai kamu, tidak pernah sedikitpun dia berkhianat apalagi berpikir untuk pacaran sama GIO BASTIAN!” cerita bapak itu.

RINGGO mengernyit heran, “Kok bapak bisa tahu?”

Dengan mengedipkan sebelah matanya, bapak itu berkata, “KARINA itu keponakan saya. Dia selalu menceritakan segalanya tentang kamu sama saya. REINA alias RINGGO yang katanya keren banget itu!” cerita bapak itu dengan gaya bahasa anak muda jaman sekarang.

Tanpa berpikir lebih panjang lagi, RINGGO langsung mengambil langkah keluar dari pesawat yang saat itu hampir saja ditutup pintunya. Teriakan para pramugari yang melarangnya meninggalkan pesawat tak dihiraukannya; yang ada di pikirannya saat ini hanyalah: AKU HARUS MENDAPATKAN KARINA KEMBALI!

Lagu: Senandung Maaf (White Shoes and the Couples Company)

Untunglah Tuhan Maha Adil, di lobby airport RINGGO menemukan KARINA yang tengah membujuk pihak airline agar diberi kesempatan untuk masuk ke dalam pesawat yang ditumpangi RINGGO.

“KARINA, maafin aku.”

“Aku yang harusnya minta maaf. Tapi demi Tuhan aku nggak pacaran sama GIO. Aku sayang banget sama kamu dan nggak pengin kamu tinggalin aku.”

Tanpa harus mendengarkan alasan lain lagi, RINGGO memeluk KARINA di tengah tatapan ratusan pasang mata plus, lagi-lagi para wartawan infotainment yang sedang bergirang hati karena gara-gara liputan ini, rating acara mereka pastinya akan melonjak sampai titik paling atas.

Lagu: Lagu Rindu (Kerispatih)

“Kenapa kamu sayang sama aku KAR?” tanya RINGGO di dalam taksi, ketika mereka berdua akhirnya bisa melarikan diri dari kejaran para wartawan yang ingin mewawancarai mereka, “Aku ‘kan tidak sekeren GIO. Jauh dari keren malahan!”

KARINA mengamit lengan RINGGO, “Kalau kamu sendiri, kenapa kamu sayang sama aku? Apa karena aku orang terkenal?”

RINGGO menggeleng, “Nggak, aku sayang kamu karena kamu adalah KARINA.”

“Dan aku juga sayang kamu karena kamu menganggap aku KARINA. GIO mah nggak asyik, dia selalu protes sama semua hal buruk yang aku lakuin. Kamu tahu ‘kan?” bret…sebuah suara berasosiasi buruk tiba-tiba terdengar.

RINGGO spontan menutup hidungnya, “KARINA!” pekiknya.

KARINA tertawa ngakak, sambil sesekali sendawa keluar dari mulutnya, “Sori, karena kebanyakan nangis, aku jadi masuk angin,” tawanya kembali terdengar

RINGGO pun mengerti. KARINA bagaimanapun terkenal dan ‘sempurnanya’ dia, ternyata hanyalah manusia biasa dan prinsip cinta memang harus seperti itu. Harus bisa menerima segalanya dengan apa adanya.

“KARINA CINTA-NA RINGGO!” bisik RINGGO dengan suara sok diimut-imutin.

Lagu: Hebat (Tangga)

 
-END-

Karakterisasi Tokoh
  • RINGGO à Usia 20 tahun, Drop Out dari Fakultas Teknik Kimia. Tampang manis, kulit putih, rambut hitam klimis, kelihatan seperti anak mami banget. Terjadi perubahan sikap setelah berpacaran dengan Karina. Dari yang tadinya cowok over percaya diri, jadi sensitif dan minder.
  • KARINA à Usia 17 tahun, kelas 3 SMA. Cantik, tinggi semampai, rambutnya sebahu dipotong layer dengan sedikit highlights maroon di beberapa helai rambut hitamnya. Karina polos, sangat ramah tapi punya kebiasaan jelek: suka kentut dan sendawa sembarangan. Karina sangat terkesan dengan penyamaran yang telah dilakukan Ringgo, dan karena itulah ia jadi sangat mencintai Ringgo. Maka ketika tanpa alasan yang jelas Ringgo meninggalkannya, Karina terlihat sangat terpukul.
  • GIO à Usia 21 tahun. Punya performa keren yang sukses membuatnya jadi idola para remaja. Gio secara nyata berusaha memperlihatkan kalau ia lebih pantas jadi pacarnya Karina ketimbang Ringgo. Namun kenyataan kalau Karina ternyata punya beragam kebiasaan jelek, bikin GIO perlahan tapi pasti berusaha menjauh dari Karina.
0 Comments

Cerpen: Keliru

11/6/2012

0 Comments

 
Cerpen ini termasuk generasi awal penulisan saya. Lebih dan kurang mohon dimaklumi, masih junior banget waktu itu. Ceritanya pun simple & endingnya mudah ditebak, tapi gak ada salahnya kok disimak. Paling tidak (miudah-mudahan) bisa membuat pembacanya tersenyum.

*****
             “Uuh…aduh…aduh banyak banget sih semutnya!”

            “Eh, Kak Andien ngapain sih naik-naik pohon? Ayo mau ngintip siapa?” tanya Rara ketika dilihat kakaknya Andien memanjat pohon rambutan di belakang rumahnya.

            “Psst… diem donk, aku lagi ngeliat tetangga baru kita, udah kamu masuk sana!” perintah Andien.

            “Uh dasar.” sahut Rara sambil melenggang masuk.

            “Wah…kolam renangnya luas banget, jadi kepingin berenang.” kagum Andien dalam hati.

            Dan dari dalam rumah itu keluar seorang gadis kira-kira seumur Rara, melangkah menuju pinggir kolam renang yang masih belum diisi air.

            “Kak Dion sini donk temenin Bella!” teriak gadis itu tiba-tiba.

            “Ada apa sih?” tanya kakak gadis itu seraya melangkah ke arahnya.

            “Gila kakaknya cakep banget, mirip Nicky-nya Westlife deh!” sahut Andien dalam hati melihat kakak gadis itu keluar dari rumahnya. Namun tampaknya semut-semut di pohon rambutan itu tidak senang melihat Andien seenaknya menginjak-injak rumah mereka lalu seekor semut merayap di kaki Andien dan dengan senang hati menggigit kakinya. “Auw…!” teriak Andien.

            “Siapa tuh?” sahut si gadis dan kakaknya bersamaan.

            “Ah, ketahuan…” sahut Andien lalu perlahan-lahan turun, tak disangka ranting yang ia injak patah dan dengan sukses tubuhnya meluncur tak terkendali.

            “Aah…(bruk), aduh!” teriak Andien.

            “Andien, aduh kenapa lagi kamu?” teriak Mama dari dapur kemudian menghampiri Andien.

            “Aduh…kakiku sakit!” keluh Andien.

            Dan dari rumah sebelah terdengar tawa gadis itu dan kakaknya, menertawakan Andien.

 “Ra, tolongin kakak kamu nih!” pinta Mama sambil berusaha menuntun Andien yang jalan tertatih-tatih.

“Kenapa lagi sih, Kak?” ejek Rara seraya mengangkat tubuh kakaknya.

“Diem deh, Ra! Berisik!” balas Andien kesal.

“Udah, sini cepet diobatin.” perintah Mama panik.

“Nggak usah panik donk Ma. Nyawa Andien khan ada sembilan kayak kucing. Hilang satu masih ada delapan kok!”

“Iya Kak, cuma masalahnya nyawa kakak udah sering terancam, mungkin sekarang nyawanya tinggal dua!” ejek Rara.

“Sialan…!” teriak Andien sambil melempar bantal ke arah Rara. Tapi karena itu kakinya yang luka malah tertekuk dan… “Aduh…sakit!” pekik gadis itu.

*****

            “Eh, Ra! Tetangga baru itu nama anaknya siapa sih?” tanya Andien dari atas tempat tidurnya.

            “Pak Soemitro!” sahut Rara asal sambil tetap meneruskan gambarnya.

            “Yee, semprul! Yang aku tanyain anaknya!” bentak Andien.

            “Idiih galak banget, nggak aku kerjain loh PR-nya!” ancam Rara.

            “Aduh, kakiku kan lagi sakit Ra. Selesain gambarnya ya.” pinta Andien lembut.

            “Tapi ngomong-ngomong ngapain kakak nanyain tetangga sebelah sih? Ayo ada apa?” tanya Rara.

            “Ah enggak. Ra, kamu mau aku traktir crepes nggak?” tawar Andien.                    

            Rara mengernyitkan keningnya, “Ayo ngapain baik-baikin Rara? Pasti mau minta sesuatu!”

            “Tolong kamu cari info tentang keluarga itu sebanyak-banyaknya.” tutur Andien, sementara Rara semakin heran dan tak mengerti.

            Andien menjelaskan maksudnya, “Aku mau ngerjain anak-anak sebelah, habisnya waktu aku jatuh dari pohon mereka ketawa-in aku. Nyebelin banget khan!”

            “Oh ya? Bohong! Kakak khan orangnya cuek, nggak mungkin masalah kecil kayak gitu aja dipikirin.”

            “Iya, tapi gini loh aku pengin…”

            “Pengin kenalan sama cowok-cowok sebelah khan? Idiih udah mulai genit deh?” goda Rara.

            “Jangan mikir macam-macam deh. Mau nolongin nggak!” tanya Andien dengan nada mengancam.

            “Iya ampun! Besok deh aku mulai investigasinya. Sekarang udah malam aku tidur dulu yee!” ujar Rara sambil melangkah keluar menuju kamarnya.

            “Loh, Ra? PR-nya belum selesai, gimana sih?”

            “Udah, kerjain aja sendiri!” sahut Rara dan segera menutup pintu kamar Andien sebelum sandal kakaknya mendarat di wajahnya.

*****

            “Eh, Mama bikin cake ya? Mau donk…” seru Rara.

            “Eh, udah pulang. Ra nanti tolong kasih cake yang sudah jadi itu ke tetangga baru kita ya! Nanti malam di sana ada selamatan rumah baru.” perintah Mama seraya sibuk mengoleskan mentega ke loyang.

            “Yah Mama! Aku khan baru pulang sekolah, kenapa nggak Kak Andien, dia khan sudah pulang dari tadi.” mohon Rara.

            “Si Andien lagi Mama suruh beresin kamarnya. Tahu khan kamarnya seberantakan apa. Lagian kalau dia yang pergi, nggak bakal pulang-pulang, main terus!”

            “Mmh, ya udah. Rara ganti baju dulu ya.” sahut Rara lalu menaiki tangga menuju kamarnya. Tapi langkahnya terhenti ketika melewati kamar Andien. Pasalnya tak ada suara terdengar dari kamar itu, tak ada tanda-tanda ada penghuninya. Jangan-jangan…

            “Kak Andien?” panggil Rara sambil membuka pintu kamar Andien. Memang benar kata Mama kamarnya benar-benar berantakan, namun yang paling parah Andien sama sekali tak ada di kamar itu. Seutas tali tambang menjuntai dari jendela kamarnya. “Mama!!” teriak Rara.

*****

            “Pokoknya malam ini kamu tetap di kamar, nggak boleh keluar!” perintah Mama. Padahal nanti malam rencananya akan diadakan pesta selamatan rumah baru keluarga Soemitro, tetangga baru itu.       

“Aduh Ma. Hukumannya ditunda besok aja deh, Andien khan mau ikut pesta.” pinta Andien seraya memasang wajah memelas.

            “Enggak! Salah sendiri, siapa suruh bohongin Mama! Udah masuk kamar sana, belajar! Biar mama kunci kamarnya” tegas Mama yang membuat Andien terpaksa diam.

            Ya sudah, malam yang indah ini terpaksa dihabiskan Andien di kamarnya. Dan untuk mencegah hal-hal yang mungkin terjadi Mama mengumpulkan semua barang-barang di kamar Andien yang sekiranya dapat digunakan untuk “escape from the room” begitu istilah yang dibuat Rara. Tapi maaf saja, bukan Andien namanya kalau harus menyerah pada nasib. Setelah tidak sukses membujuk mamanya, ia pun mulai melancarkan aksinya dengan membujuk bik Inah, pembantunya.

            “Bik, bik Inah, tolong bukain pintu kamarku donk.” teriak Andien memanggil pembantunya.

            “Nggak Non, nanti bibik dimarahin ibu. Udah…non di kamar aja, belajar, biar pinter. Sekarang bibik mau nonton sinetron dulu ya, lagi seru nih.”

            “Yah, sialan…” umpat Andien dalam hati. Dengan segera otaknya berputar, memikirkan cara keluar dari kamar dan…

            “Aha…” dengan segera Andien menarik seprai tempat tidurnya, melepas dan menyambungkannya dengan selimut sehingga cukup panjang dan kuat untuk menopang tubuhnya. Boleh kan memakai cara yang sama untuk keluar dari kamar toh alatnya berbeda.

            Dengan perlahan Andien meluncur turun dari jendela kamarnya. (Bruk…) kakinya menapak tanah dengan selamat. Hatinya lega tapi kesulitan masih menghadangnya karena pagar samping juga digembok.

            “Sialan, digembok! Terpaksa manjat pagar deh!” ujarnya malas.

            Pagar samping rumah Andien kalau dipanjat sedikit akan langsung berhubungan dengan dinding rumah sebelah, terus tinggal manjat tembok dikit akan ketemu pohon besar yang tinggal dipanjat dikit akan sampai ke rumah sebelah. Tapi kalau ditotal sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit ya. Tapi Andien nggak nyerah kok, dengan perlahan dipanjatnya halangan itu satu-satu.

            “Uuh…aduh pohon ini kok licin banget sih…ah…aaah…(bruk..) adauw!” teriak Andien. Malang sekali nasibnya, kakinya terpeleset dahan pohon yang licin dan akhirnya harus rela terjatuh. Heran, senang sekali Andien jatuh dari pohon. Tapi rupanya kecelakaan itu tak hanya merugikan Andien namun juga merugikan orang lain, karena Andien jatuh tepat di atas punggung seseorang yang sedang sial berada di bawah pohon itu.

            Andien buru-buru bangun lalu menolong orang itu. “Aduuh…kamu nggak apa-apa?” tanya Andien.

            “Sialan tadi malam mimpi apa sih sampe kejatuhan musibah dari langit. Gilaa…sakit banget, eh kamu siapa? Maling ya?” tanya orang itu, tepatnya cowok itu.

            “Enak aja nuduh orang maling!” seru Andien agak kasar.

            “Habisnya apaaan? Setan?” pekik cowok itu.

            “Kak Andien, ngapain disini?” Rara berlari menuju mereka.

            “Eh dik, ini kakaknya ya? Mendingan cepat dikurung deh sebelum nyelakain orang lagi.” pinta lelaki yang kalau ditilik masih seusia Andien.

            “Aduh maafin deh Kak…?” tanya Rara.

            “Remi!” potong lelaki tersebut.

            “Idiih nama kok kayak tokoh film kartun gitu!”ejek Andien.

            “Biarin sirik!” teriak Remi. “Eng… nama kamu siapa?” tanya Remi lembut kepada Rara

.           “Andien.” sahut Andien pendek.

            “Bukan kamu, geer!” sahut Remi.

            “Oh saya? Nama saya Rara!”

            Keributan yang ditimbulkan Andien nampaknya cukup mengganggu, buktinya seluruh tamu yang ada di dalam rumah itu ikut keluar dan termasuk orangtua Andien, yang langsung menyeret Andien pulang. Akibat ulahnya itu selama semingggu Andien tidak boleh keluar dari rumahnya.

*****

            Seminggu kemudian di suatu sore yang indah Andien sedang mencoba stick baseball di sebuah toko olahraga besar disebuah plaza. Dia mengankat salah satu stick, mengayunkannya dan (Bug...) tongkat tersebut dengan pasrah mengenai pundak seseorang.

            “Aduuh…sakit…!” teriak orang tersebut.

            “Ups… kamu nggak apa-apa khan. Ada yang luka ah…eh…Remi?” tanya Andien, semakin khawatir.

            “Hah…Andien lagi? Kenapa sih kalau ketemu kamu aku selalu dapat sial?” pekik Remi.

            “Remi maaf donk, aku khan nggak sengaja!” mohon Andien.

            “Ya, tapi kamu benar-benar keterlaluan. Aku laporin ortu kamu loh!” ancam Remi.

            “Hah, Remi jangan donk! Hukumanku aja baru selesai! Kamu nggak kasihan sama aku?” sahut Andien.

            “Bodo amat, biar sekalian aja kamu dihukum nggak boleh keluar dari rumah selamanya. Biar dunia jadi lebih aman!” tutur Remi sambil memegangi pundaknya yang memar.

            “Please donk, Rem.”

            “Rem, rem… memangnya rem mobil?” potong Remi.

            “Iya deh Remi. Maaf ya, gimana kalau aku traktir minum, kayaknya kamu haus deh abis marah-marah.” tawar Andien. “Yuk!” Andien menarik tangan Remi menuju ke sebuah resto kecil di seberang toko olahraga…

            Andien menarik sebuah kursi lalu langsung memesan es teler, sementara Remi masih terus menggerutu.

            “Buat apa sih kamu beli tongkat softball, Ndien?” tanya Remi kesal.

            “Hmm…buat ngulek!” seru Andien cuek.

            “Kamu emangnya bisa main softball?” ejek Remi.

            “Hmm…nggak percaya?” sahut Andien.

            “Heh, non…memangnya kamu ikut klub mana? Oh iya…mana ada klub yang mau terima kamu?”

            “Benar begitu? Kok Pink Warriors mau terima aku ya?” tanya Andien penuh kebanggaan.

            “Pink Warriors ah…bohong, kalau iya berarti kamu… Andien yang sering dibilang pitcher terbaik di Indonesia?” ujar Remi tak percaya.

            “Ah, kamu bisa aja! Jadi “tersanjung 6” nih!” pipi Andien memerah.

            “Aduh…salah ngomong!” sahut Remi.

            “Kagum nggak dilarang kok?” ejek Andien.

            “Nggak la ya? Sudah deh lupain yang tadi, aku mau tanya… ehm adik kamu udah punya pacar belum?”

            “Cieeh…suka sama adikku ya?” seru Andien begitu keras sehingga semua tamu di restoran itu memandang mereka.

            “Psst…berisik banget sih!” umpat Remi. “Eh sebenarnya kamu juga suka sama Dion, kakakku khan?”

            “Eh, enak aja. Gosip murahan darimana tuh?” sangkal Andien.

            “Ah, jangan pura-pura, aku udah tahu segalanya. Ngaku aja deh!”

            “Kalau iya memang kenapa?” pekik Andien sebal.

            “Enggak kok, aku cuma mau nawarin kerja sama. Bagaimana kalau kamu nyomblangin aku sama Rara, nanti aku comblangin kamu sama Dion, mumpung dia belum punya pacar. Gimana?” tanya Remi.

            “Ehm…boleh juga.” seru Andien.

*****

“Kak, nanti sore anterin ke pameran lukisan ya!?” pinta Rara pada suatu siang.

            “Idiih ngajak kok ke acara gituan, males ah!” seru Andien sebal.

            “Kakak nggak ngerti karya seni berkelas sih!” bentak Rara.

            Tiba-tiba Andien berteriak, “Bagaimana kalau dianterin Remi?”

            “Remi, tetangga sebelah?” tanya Rara heran.

            “Siapa lagi?” Andien mengangkat gagang telpon lalu menekan sederet nomor dan…“Hallo, selamat siang. Remi ya?” tanya Andien, “Ini Andien, Rara minta ditemenin ke pameran lukisan nanti sore. Bisa nggak?”

            “Hah pameran lukisan? Aduh aku khan nggak ngerti lukisan!” seru Remi.

            “Loh katanya suka sama Rara.” bisik Andien. “Mesti mau berkorban donk!”

            “Ya udah. Oh iya Dion butuh kamu untuk bantuin dia ngelatih tim putri fakultasnya yang mau ikut kompetisi softball. Mau nggak, khan lumayan sekalian pedekate. Nanti sore Dion bakal jemput kamu.”

            “Ngelatih ya?” tanya Andien sedikit khawatir. “Mmmh oke deh boleh juga, bye!” tutup Andien.

            Rara masih bingung menatap kakaknya,  “Udah, nanti sore Remi akan nganterin kamu!” seru Andien.

            Sore hari Remi sudah siap menunggu di ruang tamu rumah Rara yang luas dan sejuk dengan dandanannya yang rapi jali. Dari dalam terdengar alunan piano yang lembut, indah dan begitu memukau.

            “Eh, kak Remi sudah datang! Yuk pergi!” ajak Rara begitu turun dari kamarnya.

            “Yang main piano siapa Ra? Bagus banget, Mama kamu?” tanya Remi heran.

            “Mama-ku? Bukan, yang main piano tuh si Andien!” seru Rara.

            “Hah, dia bisa main piano? Jari-jarinya aja segede paralon!” umpat Remi tak percaya.

            “Eh, merhatiin aja kalau jarinya segede paralon! Perhatian nih yee!” seru Rara.

            “Udah ah. Ayo deh pergi!” ajak Remi.

            Akhirnya sore itu Remi berhasil mengajak Rara pergi berbekal mobil pinjaman Dion, kakaknya. Namun suasana di dalam mobil menjadi agak kurang menyenangkan karena, yah… entah disengaja atau tidak Rara selalu membicarakan tentang Andien, tentang kegiatannya, tentang hobinya dan lain-lain yang membuat Remi dongkol.

*****

            Kegembiraan sore itu ternyata tidak hanya dialami oleh Remi saja karena tak lama setelah Remi dan Rara pergi, Dion datang dan mengajak Andien untuk melatih team softball di Senayan.

            “Terima kasih ya mau bantuin aku. Kalau anggota Pink Warriors yang ngelatih, fakultasku pasti menang deh!” ujar Dion yakin.

            “Kak Dion bisa aja deh.” Andien tersipu malu.

“Oh, iya gimana kabarnya si imut Rara, masih suka ngintip-ngintip rumahku?” tanya Dion, membuat Andien menjadi khawatir, pasalnya dia yang menyuruh Rara memata-matai rumah sebelah.

            Andien tersenyum pahit, “Biasa, bandel sih!”

“Eh, ngomong-ngomong hubungannya sama Remi sudah sampai taraf mana?” tanya Dion kemudian.

            “Remi? Ih, gosip darimana tuh, lagipula mana sudi aku deket-deket sama Remi.” seru Andien kesal.

            “Cup…cup…cup…kalau nggak benar nggak apa-apa, malah justru bagus!” sahut Dion.

            “Kenapa bagus?” tanya Andien heran.

            “Mmh…udah nggak ada apa-apa. Lihat tuh teman-temanku sudah datang!” sahut Dion berusaha mengalihkan pembicaraan.

*****

            Kebahagiaan nampaknya sedang menaungi kedua pasangan ini. Remi semakin dekat dengan Rara dan sebaliknya Andien makin dekat dengan Dion. Apalagi setelah Andien berhasil menyumbangkan nilai yang besar bagi kemenangan fakultas Dion di Kompetisi Olahraga. Dan karena itu Dion sering mengajak Andien ke acara-acara seru di kampusnya.

            “Remi, kayaknya sebentar lagi aku jadi calon pacar kakak kamu nih!” sahut Andien ketika sore itu ia mampir ke rumah Remi.

            “Hah, apaan? Udah hampir jadian?! Hancur dunia!” teriak Remi sambil menepuk dahinya.

            “Eh, jangan macem-macem ya! Nanti aku bilang ke Rara segala keburukan kamu, biar dia nggak mau deket-deket kamu lagi. Berani!” ancam Andien.

            “Wah, ngancem nih? Ampun deh! Oh, iya mumpung kamu ada di sini, tolong kasi’ undangan ulang tahunnya Bella, adikku, ke Rara ya!” seru Remi.

            “Oh ya, asyik makan gratis!” seru Andien.

            “Sorry ya, cuma buat Rara!” potong Remi.

            “Hei, nggak lihat tulisan ini…Dear: Mbak Andien dan Rara. Siapa yang nulis, heh?!” teriak Andien.

“Kalaupun kamu datang. Satpam-satpam hotel pasti akan ngusir kamu dengan senang hati!” sahut Remi.

            “Sok tahu banget deh!” ujar Andien.

            “Ya udah pulang sana, malas ngelihat muka jelek kamu!” seru Remi kesal.

            “Kayak sendirinya cakep aja. Ya sudah aku pulang, da Remi…!” seru Andien.

            “’Ndien, pintu pagarnya nggak dikunci loh!” seru Remi datar ketika dilihatnya gadis itu bersiap-siap memanjat pohon sial itu.

            “Nggak apa-apa kok lebih enak manjat pohon, kalau lewat pagar jauh. He…he…bye!” teriak Andien dari atas pohon, sedangkan Remi hanya memandang gadis aneh itu dari bawah pohon dengan heran.

*****

            Hari ini hari Sabtu, hari ulang tahun Bella, adik Dion dan Remi. Karena merasa hari ini sungguh spesial, Andien sengaja membeli sebuah gaun berwarna biru muda yang menurut Andien indah sekali.      “Aduh…gimana ya caranya pakai make up? Udah capek-capek nyolong punya Rara nggak bisa pakainya!” keluh Andien.

Tiba-tiba pintu kamarnya terkuak, seseorang mengintip ke dalam dan berteriak, “Kak Andien, lagi ngapain? Gila, cantik banget nggak nyangka bisa kelihatan sefeminin ini. Tapi…heh ini khan alat-alat make up-ku, pantes hilang! Tapi kakak bener-bener keren abis, Rara pikir…”

            “Eh, nyet. Bisa diem nggak sih, cerewet banget! Tapi apa bener aku kelihatan cantik?” seru Andien.           “Yah, geer deh! Mmh…kakak dandan secakep ini ke pesta ultahnya Bella karena pengin cari perhatian si cowok itu khan!” seru Rara sambil pasrah menatap make up miliknya yang sukses diluluh lantahkan Andien. “Hah, kamu tahu dari mana Ra? Perasaan, aku nggak bilang-bilang deh!” tanya Andien. Sementara Rara hanya mengedipkan sebelah matanya.

            Sayangnya apa yang dipikirkan kedua manusia tersebut tidaklah sama alias sama sekali nggak nyambung! Menurut Rara, Andien sedang mencari perhatian Remi. Padahal yang ada dipikiran Andien adalah Dion. Ah, bingung!

*****

Andien masih celingak-celinguk kebingungan di tengah pesta yang ramai sebelum dia mengenali seseorang ber-jas biru donker diseberangnya.

            “Hei Remi!” Andien menepuk pundak cowok itu.

            “Andien!” seru Remi terkejut.

            “Hallo, eh kakak kamu dimana?” tanya Andien pada Remi yang sedang ternganga menatapnya.

            “Ehm…dia lagi jemput temennya. Kamu habis kesamber petir di mana sih?” tanya Remi heran.

            “Secantik ini kok dibilang habis kesamber petir. Gimana sih?”

            “Tauk ah. Oh iya Rara mana?” tanya Remi penuh harap.

            “Mana ya, oh itu dia! Rara!” panggil Andien.

            Rara menghampiri mereka berdua “Ciee, berdua aja! Oh iya aku mau kenalin…Vino, sini donk!” seru Rara memanggil seseorang cowok keren yang segera bergegas menemui mereka.

            “Dia Vino, pacar Rara.” bisik Rara pada dua makhluk di depannya, “Ini Andien sama temannya, Remi.”

            “Hai!” seru Andien dan Remi lirih.

            Namun bencana semakin bertambah ketika Dion datang menggandeng seorang gadis yang cantik sekali.

            “Eh kok ngumpul di sini semua sih? Oh iya, ini Fiona, cewekku yang baru.” seru Dion pendek.

            Andien dan Remi sama-sama terdiam lagi, lalu keduanya berjalan beriringan meninggalkan kedua pasangan itu, menuju balkon ballroom hotel.

            “Mereka sebenarnya saling suka loh!” seru Dion menunjuk ke arah Andien dan Remi.

            “Cuma gengsi aja buat ngaku!” sahut Rara menyambut perkataan Dion.

            Di balkon hotel dua makhluk ini berkeluh kesah, “Kok nggak pernah bilang kalau Dion udah punya pacar sih!” seru Andien kesal.

            “Mana ku tahu. Lagipula kamu juga nggak pernah bilang kalau Rara juga udah punya pacar!”        

“Sialan, jadi selama ini aku keliru mengartikan perhatian Dion. Sebeel!” isak Andien, air matanya tanpa disadari perlahan-lahan turun.

            “Kamu pikir kamu aja yang salah. Aku juga!” sahut Remi sambil meninju pilar balkon itu.

            “Hik…hik…terus gimana donk?” tanya Andien, menjatuhkan diri ke atas kursi yang ada di situ.

            “Nggak tahu deh. Loh kamu nangis? Kamu bisa nangis juga ya?” tanya Remi tak percaya.

            “Iya yah, aku hik… nggak sadar. Aku juga lupa hik…kapan terakhir aku nangis hik… mungkin waktu lahir kali.” seru Andien dan disambut tawa oleh Remi.

            “Ha…ha…ha…ehm…’Ndien kamu cantik deh dandan kayak begitu!” seru Remi.

            “Kamu juga beda dari biasanya, lebih cakep…” balas Andien malu-malu. Dan akhirnya mereka berdua tertawa bersama, senang sekali.

Dari dalam ruangan terdengar alunan “How Can I Not Love You”-nya Joy Enriques yang mengalun lembut mengajak semuanya untuk berdansa.

            “’Ndien, kamu mau dansa?” tanya Remi.

            “Ayo!” Lalu dengan perlahan disambutnya tangan Remi yang telah terulur dan mereka sama-sama berdansa, tapi…

            “Aduh…Andien jangan nginjek kakiku donk!” seru Remi.

            “Sorry deh. Aku khan nggak bisa dansa!” sesal Andien.

Selesai

0 Comments

Cerpen: Kala Dunia Tak Lagi Peduli

11/6/2012

1 Comment

 
Cerpen ini ceritanya agak sedih tapi sekaligus aneh. Ditulis pada th 2001. udah lama ya. Berbarengan di tahun2 pertama masuk kuliah Psikologi, makanya ceritanya agak-agak berkaitan dengan masalah kejiwaan. Selamat membaca.

*****

Saat keliaran merasuk sukma: Jakarta, 13 April 2001

Aku terhenyak lemah tak berdaya. Kaki-kakiku tertekuk beralaskan batu-batu cadas yang tajam. Mataku nanar menatap rumahku yang kini telah menjadi puing-puing. Semuanya runtuh, hitam dan asap masih melayang di sela puing-puing itu. Istanaku telah terbakar, telah luluh lantak dimakan api. Tapi itu belum apa-apa. Di dalam sana Oma yang sangat kusayangi ikut menjadi korban keganasan sang bara.

Kumelihat sekelilingku, sirine ambulans menguing-nguing nyaring. Petugas pemadam kebakaran berlutut di dalam puing, berusaha mencari jenasah omaku.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, harus tertawa atau menangis. Aku tidak mampu lagi menangis, air mataku sudah tak sanggup mengalir lagi. Kuusapkan tangan ke wajahku, siapa tahu air mata itu keluar tanpa kusadari. Tapi tidak! Mataku benar-benar kering.

Sebuah lengan memelukku lalu membisikkan serangkai kalimat yang membuatku ingin tertawa. “Tasya, jangan sedih ya?! Kamu harus tabah. Aku akan selalu disampingmu!” seru suara itu. Ah, ini suara Raka.

“Tenang saja,” ujarku pada pasangan hatiku itu. “Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya sedih!” Aku menyunggingkan senyum di bibir membuat kening Raka mengernyit heran.

Yah, rasa sedih itu sudah tidak ada lagi dalam diriku. Bahkan dalam diri siapa pun yang memiliki kisah hidup sepertiku. Enam bulan yang lalu adik kecilku…Ochi, dia baru lima tahun. Dia masih lucu-lucunya, pipinya yang tembam tidak pernah lepas dari cubitan orang-orang yang melihatnya. Tapi, sebuah truk besar menghantamnya. Menghempaskannya di atas aspal dan membuatnya tak berdaya. Dia mati! Tidak! Itu bukan salahku! Bukan salahku kalau dia melepaskan gandengan tanganku. Bukan aku yang harus disalahkan!

Heh… itu baru satu, tepat tiga bulan kemudian orangtuaku berpisah. Bunda lari dengan lelaki lain sementara Ayah… terpuruk dalam kesedihan mendalam. Menghabiskan waktunya demi minuman keras hingga akhirnya... mati.

Aku tertawa perlahan, membuat Raka kembali memelukku. Dan sayup suaranya merambah sisi-sisi kalbuku. “Tenang ya Tas, aku akan selalu mendampingimu.”

Kabut kelam itu perlahan musnah ketika Oma memintaku tinggal bersamanya. Omaku yang cantik, yang selalu punya beragam cara untuk menghiburku dan yang selalu punya beraneka makanan yang enak untukku. Aku tersenyum mengenangnya. Bersama Oma aku kembali mendapatkan surgaku yang hilang. Tapi itu tak lama, yah sekarang semua telah terjadi dan aku, kembali seperti semula. Sendiri lagi! Ah tidak, aku salah, aku masih memiliki Raka. Seorang lelaki yang paling baik sedunia, kurasa? Dan Jenny, dia sahabatku tersayang. He…he… aku tertawa riang hingga bahuku berguncang-guncang. Namun senyumku mendadak menghilang, semua tiba-tiba menjadi gelap dan… tidak!!

*****

“Bunda! Ochi sayang! Ah, Ayah! Oma!” mereka semua memelukku erat.

“Jangan menangis dong!” Ayah menghiburku. Sementara Oma memberikan sebuah nampan penuh dengan kue-kue kesukaanku.

“Tasya! Lihat, Oma memasak kue-kue kesukaanmu! Kamu mau?”

“Ochi juga mau Oma!” si kecil Ochi merajuk. Aku memeluk adik kecilku erat lalu memasukkan sebutir kismis ke dalam mulutnya. Aku tertawa bahagia bersama mereka. Aku melompat kegirangan sambil menggandeng erat tangan mungil Ochi. Ah, tawaku berhenti… mereka menghilang! Tidak! Jangan tinggalkan aku, aku mau ikut kalian!!

“Tasya!”

Pekikan itu membuatku sadar, aku membuka mataku dan mendapati semuanya putih, “Dimana aku?” tanyaku pelan.

“Syukurlah, kamu akhirnya sadar. Aku sudah takut kalau kamu kenapa-kenapa!”

“Raka?” tanyaku

“Iya ini aku. Setelah peristiwa itu,” Raka memelankan suaranya. “Kamu pingsan, dokter bilang kamu terkena Afekt Astenis*.”

Aku melihat sekelilingku, mmh… pantas semuanya putih, aku berada di rumah sakit. Mendadak pintu kamar terbuka, seorang gadis manis melangkah masuk, di tangannya ada sekeranjang buah-buahan.

“Tasya, kamu sudah sadar? Jenny senang deh!” gadis itu mendekati ranjangku. “Kamu bikin kami panik aja, kamu udah nggak sadar selama tiga hari! Untung, mas-mu ini setia mendampingimu!” Jenny mengerlingkan matanya kepada Raka.

Aku tersenyum kepada mereka, “Oma dimana?” tanyaku spontan.

Mereka saling berpandangan, Raka angkat bicara, “Maafkan aku tapi… Oma kamu sudah meninggal,” cerita Raka penuh dengan nada keprihatinan.

Aku menatap mereka dan kemudian merasakan sensasi aneh di dadaku, “Apakah Oma sudah dikuburkan?” tanyaku tanpa ekspresi.

Raka ragu-ragu menjawab, “Jasad Oma hanya tinggal abu, dan kini abunya telah ditebarkan di laut.”

“Sudahlah,” Jenny memotong pembicaraan. “Sekarang kamu harus makan buah-buahan yang aku bawa ini. Pasti kamu lapar ‘kan?” Jenny mengulurkan sebutir anggur ke mulutku.

“Tidak! Aku tidak mau!” seruku.

“Tapi, kamu harus…” bujuk Jenny.

“Enggak!!!” aku memekik.

“Sudahlah Jen, jangan dipaksa,” Raka menepuk bahu Jenny, “Oh iya, kemarin tante kamu datang kesini.”

“Tante? Tante siapa?” tanyaku tak yakin karena setahuku ayah dan bunda sama-sama anak tunggal.

“Dia adik papamu. Katanya datang dari Belanda. Kamu nggak kenal?” tanya Jenny.

Aku mengernyitkan kening, “Lelucon apa lagi ini?”

Raka menggigit bibirnya, “Ini bukan lelucon. Nanti kalau kamu sudah sembuh, kamu akan tinggal bersamanya. Dia yang akan merawatmu. Kamu senang ‘kan?”

Aku tetap tak berekspresi, lalu tak sadar kugoyangkan kepalaku. Dan entah kenapa rasanya aku ingin tertawa keras. Rasanya aku bahagia sekali.

“Tas, Tasya… kamu nggak apa-apa ‘kan?” suara Jenny penuh kepanikan, “Raka! Cepat panggil dokter! Cepat!” Jenny berteriak.

Melihat keadaan itu aku semakin bahagia dan tertawa keras sekali.

*****

Raka menggandeng tanganku, membawaku ke dalam ruang praktek seorang dokter. Dokter itu sedang duduk di sebuah kursi besar, usianya sekitar tiga puluhan dan langsung tersenyum ketika melihatku masuk. Senyum yang aneh menurutku.

“Selamat datang, saya dokter Adinda. Kamu pasti Tasya?” tanya dokter itu ramah.

“Iya dokter,” Raka mendahului menjawab.

“Oke. Sekarang kamu boleh tinggalin Tasya di sini,” kata dokter itu pada Raka.

Lalu Raka melangkah keluar dari ruang praktek, “Jangan!” ujarku lemah.

“Nggak apa-apa Tasya, kamu aman kok bersama saya!” dokter Adinda setengah becanda, tapi aku tidak percaya.

Aku melangkahkan kaki dan duduk di sebuah sofa empuk berwarna hijau.

“Nah, kamu duduk di sini ya? Enak ‘kan?” tanya dokter itu.

Aku memaksakan senyum di bibirku.

“Sekarang enaknya kita ngobrolin apaan ya? Oh ya, kamu sudah nonton film Asterix? Lucu ya?!” seru dokter itu, aku hanya diam memandangnya. Entah apa yang merasuk dalam jiwaku.

“Wah, mungkin kamu belum pernah nonton. Kapan-kapan kita nonton bareng ya!” ajak dokter itu.

Aku tetap diam tak bergeming. Dan tiba-tiba semua bayangan itu datang dihadapanku. Ada Oma yang sedang menari berputar-putar bersama Ochi. Dan di belakangnya ada ayah dan bunda yang sedang duduk di kursi malas mereka. Mereka semua memandang ramah ke arahku. Lalu mendadak muncul sebuah truk besar menyambar mereka dan sesudah itu timbul api yang menyala besar membakar semuanya.

“Tidak!!” aku berteriak histeris. Tanganku menggapai segala yang ada disekelilingku dan melemparkannya ke sembarang arah.

“Tasya. Tenang sayang!” dokter itu menghujamkan suntikan ke lenganku, membuatku lemas dan tak ingat apa-apa lagi sampai keesokkan harinya aku tersadar di sebuah ruangan yang aneh. Di salah satu sel rumah sakit jiwa.

*****

Aku berjalan menuju jendela sel dan melihat Raka dan Jenny di luar, ada dokter Adinda juga di sana, berdiri dekat jendela. Aku mendengar suara mereka yang akan selalu mengiang-ngiang di telingaku.

“Rencana kalian berhasil! Akhirnya kita dapat membuat gadis itu gila. Suntikan LSD* akan membuat imajinasinya tak terkontrol dan lama-lama dapat menjadikannya schizopren*,” seru dokter Adinda.

“Iya Mama! Terima kasih sepupuku sayang!” Jenny melirikkan matanya ke arah jendela kamarku. “Dan kini aku dan Raka bisa bersama lagi!” Jenny tersenyum dan disambut pandangan penuh arti dari Raka.

“Lebih dari itu, sebagai satu-satunya keluarga yang masih ada, pengadilan pasti akan memberikan harta warisan ayah Tasya kepada kita!” pekik girang dokter Adinda.

Aku tertawa juga bersama mereka. Hey…Jenny sahabatku, eng…sepupuku? Dokter yang disebut Mama oleh Jenny berarti tanteku? Dokter… he… tante? Bingung ah…dan mereka membuatku gila! He… he… he. Lucu sekali. Tapi wajar ‘kan orang bisa gila, pikirku! Aku pun terbahak-bahak, rasanya belum pernah aku segembira sekarang.

Kemudian sayup-sayup kudengar bisikan di telingaku, “Tasya, aku akan membuatmu sembuh, akan kukembalikan semua harta itu kepadamu! Tenang saja sayang,” sahut suara itu penuh nada dendam. Dan ketika kutengokkan kepala kesamping kumelihat bunda tersenyum kepadaku. Ah, imajinasiku lagi, kurasa?

 
-END-

*Afekt Astenis: kesedihan atau kegembiraan atau kelemahan fisik yang berlebihan dapat mengakibatkan seseorang pingsan.

*LSD: Lysergic Acid Diethylamide, zat yang menyebabkan perasaan & emosi tak terkontrol sehingga mengakibatkan halusinasi.

*Schizopren:  gangguan kejiwaan.

1 Comment

Cerpen: Saat Jalan Tuhan Teramat Sulit Dimengerti

11/6/2012

0 Comments

 
Cerpen ini pernah diikutsertakan pada sebuah lomba cerpen di suatu komunitas internal, beruntung jadi cerpen favorit :) Bahasanya memang agak tinggi, yah begitulah, kadang2 saat otak lagi over suka keluar deh bahasa2 planetku ;p Oh ya latar belakang cerita ini adalah Bali. Yuk dibaca.

*****

“Kisah ini ditulis ketika dunia berputar terlalu cepat sehingga kasih sayang menjadi sarat oleh dusta, ketika kemunafikan menjadi sendi-sendi kepolosan dan kehancuran menjadi kekasih sang pujangga cinta. Semua menjadi ketidak berdayaan ketika orang yang kita percayai ternyata tidak berani mempercayai kita.”

Jakarta, Pkl 21:35

Seorang gadis menekuri kata-kata yang tertulis dalam sebuah layar imaji jiwa, komunikasi maya penghubung dunia global yang didiaminya. Setengah jam yang lalu sebuah surat masuk ke dalam inbox-nya, surat yang sebenarnya terlalu singkat untuk dimengerti tapi juga terlalu penting untuk diremehkannya.

Bila saat ini pikirannya sedang sehat, dia pasti akan menghapus surat itu dan melemparnya ke dalam recycle bin. Tapi saat ini dia sedang tidak sehat hingga amat mudah dipengaruhi bahkan oleh gosip murahan sekalipun. Setiap helaan kalimat dibaca dan terus dibacanya lagi seolah hidupnya akan menghilang bila dia tak segera mengerti. Keningnya sebentar-sebentar berkerut. Rasa heran, takut dan gembira bercampur aduk menjadi satu adonan perasaan aneh yang kini sedang bergumul di dalam jiwanya.

“Aku rasa ini cuma ulah orang-orang iseng. Mungkin ada orang yang nggak suka sama keluargamu, makanya ia mengirimkan pesan itu!” sebuah suara tiba-tiba memecahkan kesunyian.

Gadis itu menghela napas berat, “Nggak mungkin, Dit! Ini sudah kesepuluh kalinya aku menerima surat yang senada. Ini terlalu melelahkan untuk dilakukan orang yang nggak punya kerjaan sekalipun!”

Dita ikut-ikutan menghela napas, “Terus, apa yang akan kamu lakukan? Jingga, kamu nggak bakal percaya sama surat itu ‘kan? Nggak ‘kan?” yakin Dita.

“Nggak tahulah!” gadis bernama Jingga itu mengangkat bahunya, “Mungkin, setelah aku membuktikan apakah dia memang benar ayah kandungku!”

*****

Malam ini seperti biasanya semua sudah berkumpul di meja makan; di sana ada Ibu, Nila, Jingga dan seorang Ayah yang tidak berwibawa sama sekali. Hidangan pencuci mulut telah licin tandas dan sekarang adalah waktunya curhat keluarga. Kegiatan yang menurut Jingga sangat tidak penting, tapi tidak hari ini. Dari tadi siang sepulang sekolah sampai detik ini, jantung Jingga tak henti-hentinya bergemuruh, layaknya ada sekelompok marching band memainkan lagu di dalamnya. Hari ini acara curhat keluarga menjadi moment yang paling Jingga tunggu. Ia pun mengerahkan seluruh keberaniannya dan mulai mengingat susunan kata yang sejak tadi telah disiapkannya.

Saat Ibu selesai tertawa setelah mendengar cerita lucu Nila, kakaknya. Jingga mendobrak masuk ke dalam celah kosong itu, “Ibu, siapa sebenarnya ayah kandungku?” Jingga lupa berbasa-basi. Segala susunan kata yang telah disiapkannya tadi hancur total.

Semuanya terdiam, wajah Ibu terlihat terkejut sehingga setiap sudut kulitnya kelihatan memucat.

“Apa maksudmu Jingga?”

Jingga menyerahkan setumpuk surat yang telah di-print-nya dari komputer, “Baca surat ini dan tolong cerita keadaan yang sebenarnya!”

Sedikit ragu ibu mengambil tumpukan kertas yang diserahkan Jingga, “Surat apa ini?”

“Ada orang bernama Gusti Gede Agung mengaku sebagai ayah kandungku dan Kak Nila. Benarkah?” tanya Jingga. Tak lama ibu kelihatan tertunduk, dan sontak membisu.

“Jingga, kamu kenapa sih? Lagi kesambet setan? Sudah jelas ‘kan kalau papa kita itu…”

Ayah memotong perkataan Nila, “Tidak, aku bukan papa kandung kalian.”

“Papa! Apa-apaan sih?” pekik Ibu panik.

“Bu, jangan biarkan kebohongan ini bertahan terlalu lama!” Ia menoleh ke arah istrinya kemudian pergi meninggalkan meja makan.

Ibu menangis sambil merobek-robek surat yang tadi diberikan Jingga, “Tidak! Dia bukan ayahmu karena tidak ada seorang ayah yang tega menghancurkan hidup keluarganya. Dia bukan siapa-siapa!”

“Ibu!” pekik Jingga, “Tolong jangan bikin kami bingung!” Jingga berteriak histeris.

Nila ikut-ikutan berteriak. Tangannya bahkan mulai memukul-mukul meja makan, “Sebenarnya ada apa? Apa maksud ibu?”

Suasana mendadak hening, yang terdengar kemudian hanya isak tangis dari tiga orang, ibu dan kedua anak itu, “Ya, Gusti Gede Agung memang ayah kandung kalian,” ucap ibu terbata, air matanya turun tak tertahan.

Nila kembali memekik sedangkan Jingga, sebaliknya terlihat bahagia. Bibirnya menyungingkan senyum. Ia merasa lega.

*****

Agung dan Ayu saling mencintai. Mereka telah berikrar janji untuk selalu setia dan akan tetap begitu meskipun ajal memisahkan mereka. Namun, semuanya tidak berjalan seperti seharusnya karena kedua orang tua mereka ternyata saling membenci layaknya kisah Romeo dan Juliet, yang ternyata begitu populer bahkan sampai ke tanah Bali sekalipun. Walaupun kisah cinta mereka tidak harus berakhir tragis seperti cerita Shakespeare tersebut, kebahagiaan tetap tidak menjadi akhir dari cerita. Cinta mereka tetap sulit bersatu oleh karena hempasan jutaan badai dan gempuran milyaran kekejaman. Satu-satunya penyelesaian yang ada dalam benak mereka adalah lari dari masalah. Maka pada saat matahari masih terlalu dini bersinar, mrangkat-lah kedua anak manusia itu ke Jakarta.

Lima tahun telah berlalu, kedamaian amat melingkupi mereka dan semua terasa lengkap ketika Tuhan telah menganugerahkan dua orang putri, Sang Nila dan Sang Jingga. Keduanya menjadi sumber kesempurnaan hidup mereka.

Lima bulan kemudian, tak disangka cobaan paling berat menghempaskan mereka. Keluarga sang istri yang masih mendendam, mengutus seorang gadis untuk menjebak sang suami hingga dosa melingkupi mereka. Semua itu belum cukup ketika suatu hari si gadis ditemukan mati dalam pelukan sang suami. Puluhan tahun yang didakwakan jaksa untuk menghukum dosa-dosa sang suami telah mematahkan dan menghancurkan cinta mereka sampai berkeping-keping. Peristiwa itu membuat si istri apatis dan tiada lagi berbelas kasih. Dibiarkannya sang suami menderita sendirian di balik terali sementara dirinya berusaha kabur dari kenyataan. Dengan hati yang hancur dibawanya Nila dan Jingga kembali ke rumah orang tuanya, dan sama sekali tidak curiga atas kebahagiaan berkedok belas kasihan dan keprihatinan semu yang ditampilkan oleh keluarganya.

Lima minggu berlalu, dan secara cepat mereka telah resmi berpisah. Agung dan Ayu ternyata tak ditakdirkan bersatu. Ayu yang rapuh tak dibiarkan menjanda terlalu lama, sang keluarga telah menyiapkan seorang pengusaha nan kaya untuk menjadi pengganti suaminya. Ayu setuju, semata-mata demi anak-anaknya dan demi memuaskan rasa sakit hatinya.

Dan tepat lima hari kemudian ia telah menikah lagi.

Namun, apakah benar sebuah hati memiliki kapasitas mega byte sehingga setiap dinding-dindingnya dengan mudah dapat diisi oleh yang lain, yang lain dan yang lainnya lagi? Ayu pun begitu mendendam sehingga dengan sepenuh jiwa raga dibuatnya sebuah ‘tameng besi’ dan ‘benteng baja’ untuk melindungi kedua putrinya dari seseorang yang bergelar ‘ayah kandung’!

Beruntunglah saat peristiwa itu terjadi kedua putrinya belum mampu mengatur memori sehingga pikiran mereka masih mudah dimanipulasi. Namun, tak disangka hari ini tiba juga. Hari pengadilan bagi dusta dan penipuan! Karena apa pun yang terjadi, seorang ayah akan tetap menjadi seorang ayah, seburuk apa pun kenyataannya. Dan siapa pun tak berhak memisahkan keterikatan darah tersebut, termasuk Ayu.

*****

“Kalau begitu aku harus pergi menemui ayah!” putus Jingga.

Ibu terkesiap, “Tidak, apa pun yang terjadi, bahkan sampai mati sekalipun, tidak akan kuijinkan kamu pergi menemuinya!” perintah keras Ibu membahana.

“Apa-apaan sih Ga? Bisa-bisanya kamu masih pengin ketemu sama dia, padahal jelas-jelas dia sudah menghianati Ibu!” Nila turut andil memprovokasi.

Jingga menggeleng, “Seburuk apapun perbuatan ayah, dia tetap ayah kita ‘kan?” Jingga berusaha meminta dukungan, “Pokoknya aku mau pergi ketemu ayah!”

Sebuah tamparan mendarat keras pada pipi Jingga, “Jangan coba-coba pergi ke Bali dan mencari Ayahmu. Kalau itu sampai terjadi, Ibu tidak akan mau memaafkanmu sampai kapan pun!” bentak Ibu.

Ciut juga nyali Jingga. Seumur hidup belum pernah sekalipun ia diperlakukan seperti ini. Spontan ia mengangguk, “Maafkan aku Ibu. Aku tidak akan mengungkit-ungkit masalah ini lagi.” Janji Jingga kemudian segera berjalan masuk ke dalam kamar.

Namun janji ternyata tinggalah janji, karena tepat tiga jam kemudian, Jingga telah berada di dalam bis antar propinsi yang mengantarnya memasuki pulau Dewata. Ia harus menemui ayah kandungnya.

*****

Ni Nyoman Sutini menatap lekat wajah cucu perempuannya yang sedang tidur di sampingnya. Sebentar-sebentar si cucu bergerak gelisah, dari mulutnya terdengar lenguhan pelan yang membuat batinnya seolah teriris-iris.

Tadi sore gadis muda ini mengetuk pintu rumahnya dan dengan sekali memandang Ia tahu gadis itu adalah cucu yang selalu dirindukannya. Usaha putranya melacak dimana anak dan istrinya berada ternyata telah berhasil.

“Selamat datang Jingga, Niang amat merindukanmu.”

Jingga menatap wajah nenek yang tidak pernah dikenalnya dengan cinta dan kemudian mencari-cari sosok lain yang juga ingin dikenalnya.

Ni Nyoman Sutini melihat ketidaksabaran cucunya, “Ayahmu sebentar lagi datang.”

Jingga merasakan dadanya berdegup kencang. Oke, sebentar lagi ia akan bertemu dengan ayah kandungnya. Sangat menyenangkan, walaupun rasa takut itu tetap menjalari hatinya. Bagaimana kalau ayahnya ternyata bajingan seperti kata Ibu? Bagaimana kalau ayah ternyata tidak mencintainya? Bagaimana? Dan sejuta bagaimana lainnya.

Bel pintu bergoyang ketika seorang lelaki hampir setengah baya memasuki rumah dengan membawa dua butir kelapa di tangannya. Ia terkejut melihat ibunya memeluk seorang gadis muda yang diyakininya istimewa.

Nenek dan cucu itu menoleh ke arah datangnya cahaya, dan Jingga pun mengetahui darimana datangnya keindahan wajah yang dimilikinya.

“Ayah?” tanya Jingga ragu-ragu.

Sang Ayah segera melepaskan semua yang sedang dipegangnya kemudian berlari memeluk Jingga, “Sang Jingga-ku!”

Ni Nyoman Sutini tersadar dari lamunannya ketika tidak sengaja Jingga menendangnya. Diperbaiki selimut yang terlepas dari tubuh cucu perempuannya itu, kemudian ia merebahkan kepala dan mulai memejamkan mata.

Sementara itu di Jakarta…

“Apa yang harus kita lakukan Bu? Jingga pasti menemui dia!” tanya Nila kalut.

Ibu menggeleng panik. Dia pernah berjanji dengan dirinya untuk tidak menemui mantan suaminya, apa pun yang terjadi. Tapi sekarang mau tak mau ia harus pergi menyusul putri bungsunya. Ia khawatir akan kehilangan buah hatinya tersebut.

Dering telepon memecah kekalutan, Nila beranjak mengangkatnya. Kemudian ia terdiam, “Ibu kita harus ke rumah sakit, Papa dan Nenek mendapat kecelakaan.”

*****

Dita, Ayah ternyata tidak bersalah. Dia hanya terperangkap ke dalam permainan yang kakek dan nenek buat. Kasihan, Ia harus dihukum delapan tahun penjara atas perbuatan yang tak dilakukannya. Kalau saja Pekakmasih hidup, mungkin Ayah tidak akan dibiarkan menderita. Sayangnya kematian Pekak telah membuat keluarga Ayah bangkrut sehingga tidak mampu membayar pengacara hebat untuk membela Ayah. Dan kamu tahu Dit, aku tadinya berpikir kalau Ayah tidak mencintai kami lagi, karena selama ini ia tidak berusaha menemui kami. Tapi ternyata tidak begitu. Dia ternyata mengalami kesulitan untuk menemukan kami, sampai suatu hari, kamu ingat nggak, profilku yang dimuat di majalah waktu itu ternyata menjadi titik temu pencarian Ayah. Tapi apakah aku harus percaya semua omongannya?

Versi cerita Ayah dan Ibu begitu bertolak belakang, dan bodohnya aku tidak tahu siapa yang benar. Sebenarnya aku bahagia atas pertemuan ini, tapi juga sedikit marah atas ketidakpercayaan Ibu selama ini kepada kami. Ibu terlalu sombong untuk menjaga rahasia ini sendiri. Tapi aku sadar kalau penipuan yang Ibu buat mungkin cuma untuk melindungi kami, aku dan kakakku. 

Dita, saat ini aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku tidak tahu harus berpihak kepada siapa. Aku tidak membenci siapa pun karena toh kebencianku tidak akan mengembalikan pasir waktu. Aku hanya ingin bertanya, mengapakah Tuhan berbuat ini padaku? Mengapa jalan Tuhan menjadi serumit ini untukku?

Saat ini aku merasa tidak berguna, merasa amat kecil dan tak bermakna. Hal ini membuatku menjadi bosan akan hidup, mungkinkah kematian dapat mendamaikan segalanya?

Jingga

Dita terkesiap, menutup sambungan internetnya dan segera mengangkat gagang telpon. Terdengar dering tunggu untuk beberapa lama, “Halo Rai, ini Dita. Kayaknya kamu harus benar-benar mengawasi Jingga deh!”

“Aku selalu berada dekat dengannya sesuai perintahmu kok!”

“Tapi kini kau harus lebih mengawasinya, aku takut dia ingin bunuh diri!”  seru  Dita.

*****

     “Hei Ida, jangan berdiri terlalu dekat ombak nanti cai bisa terseret pusarannya!” teriak seseorang, namun gadis itu tetap berjalan ke arah laut, dekat dan makin mendekat. Secara tiba-tiba tangannya ditarik, namun Jingga tidak mau dipaksa, ia meronta dan tetap berusaha berjalan menembus deruan ombak di depannya. Tarikan itu tidak mau mengalah, ia memeluk pinggang Jingga dan mengangkat tubuh kecil gadis itu ke tepi.

     Jingga tetap meronta-ronta sehingga sebuah tamparan mendarat di wajahnya. “Cai mau bunuh diri? Sudah bosan hidup rupanya.” seru suara itu.

     Jingga tersadar dan dipukulnya pepasir, “Mati! Mengapa tidak kau biarkan aku mati saja?”

     “Tenanglah, lebih baik cai tiangantar pulang.”

     Seperti terbius Jingga menurut saja ketika pemuda itu menuntunnya pulang. Pikirannya terlalu keruh untuk dapat berpikir sehat. Ia salah bila merasa kematiannya dapat menyelesaikan masalah.

*****

     Sehari berlalu sejak peristiwa percobaan bunuh diri itu, kini di bawah kerlip bintang ditatapnya kehidupan yang hendak disia-siakannya. Jingga tersenyum kepada Rai Cakra, pemuda yang menolongnya kemarin. “Terima kasih atas pertolongannya waktu itu. Kalau nggak ada kamu mungkin aku sudah benar-benar bunuh diri.”  

“Sudahlah Jingga, memang sudah tugas tiang untuk menjagamu.”

     “Menjaga? Apa maksudmu Rai?” tanya Jingga curiga.

     “Eh..ah.” Rai gelagapan, “Eng… jangan curiga dulu. Aku bukan orang jahat, aku hanya diminta Dita, sepupuku, untuk mengawasimu karena saat ini kau sedang labil.”

     “Dita?!” dan mengertilah Jingga betapa dalam kasih sahabatnya itu.

     “Jingga, mari kita lupakan sejenak masalah tadi. Yang terpenting sekarang adalah masalah orang tuamu, karena apa pun yang terjadi, jangan buat dirimu memihak salah satu dari mereka, sebab semua ini adalah masalah pribadi orang tuamu. Biarkanlah ini tetap menjadi masalah mereka. Seburuk-buruknya mereka, ayahmu akan tetap menjadi ayahmu dan begitu juga dengan ibumu. Jangan jadikan semua masalah mereka menjadi alasan untuk menyia-nyiakan hidupmu. Kamu masih muda dan masih banyak yang harus diraih. Berjanjilah kamu tidak akan mengulangi perbuatan bodoh itu lagi.” pinta Rai.

Senyum Jingga mengembang, “Aku janji padamu tidak akan berniat bunuh diri lagi.”

     Rai menggelengkan, “Tidak, kamu harus berjanji dengan dirimu sendiri, karena baik Tuhan pun tidak akan mampu mengatur sikapmu.”

     “Baiklah, tapi apakah semua ini merupakan pesan-pesan khusus dari Dita?”

     “Tentu tidak! Dita tidak memiliki pikiran sejenius itu.” dan mereka pun tertawa.

*****

Dua hari kemudian…

Jingga berdiri di depan gerbang menggenggam erat tangan Ayahnya, matanya mengawasi kedatangan ibu dan Nila, jantungnya berdegup kencang. Ia takut terjadi perang dunia ketiga disini.

“Aku tahu kamu pasti kembali, Ayu.” sahut ayah getir.

Ayu tidak menampakkan tatapan permusuhan. Ia hanya menatap wajah mantan suaminya dan kemudian segera bersujud di kakinya, “Maafkan aku Bli, dulu aku tidak mempercayai perkataanmu sehingga selama ini Bli harus menanggung banyak penderitaan.”

Agung mengangkat tangan Ayu dan menyuruhnya berdiri, “Aku tahu kalau sebenarnya selama ini kamu juga menderita, lupakanlah semuanya dan jangan salahkan siapa-siapa atas apa yang telah kita hadapi. Tuhan Maha Baik walaupun terkadang jalanNya amat sulit kita mengerti.” Agung berjalan mendekati Nila dan kemudian memeluknya, “Sang Nila-ku, Ayah menyayangimu.” Dan Nila pun menangis, menghancurkan kekerasan hatinya.

“Ibu, mengapa hati ibu mencair? Apa yang membuat peperangan ini usai?” tanya Jingga perlahan dan hati-hati.

Ibu menangis lagi, “Jingga… kemarin nenek meninggal dunia.”

“Nenek?” seluruh kebencian Jingga padanya tiba-tiba menghilang.

“Nenek dan papa tiga hari yang lalu mendapat kecelakaan.” Nila alih bicara, “Papa hanya luka ringan tapi keadaan nenek kritis dan kemarin pagi nenek meninggal dunia. Hal itu juga merupakan salah satu alasan kami ke sini, kami mau menjemputmu untuk menghadiri pemakaman nenek besok siang di Singaraja.”

“Aku turut berduka cita.” prihatin Ayah.

“Dan sebelum nenek meninggal, beliau menceritakan semua hal-hal yang selama ini mereka rahasiakan, sehingga akhirnya Ibu mengetahui perihal permainan mereka selama ini.”

 “Ayah, Ibu.” panggil Nila. “Karena semua masalah sudah jelas, tidak dapatkah kita menjadi suatu keluarga yang utuh?”

“Walaupun untuk itu harus ada seseorang yang berkorban?” Jingga teringat papanya.

Agung menatap mata Ayu dan memahami kegelisahannya, “Anak-anakku, masa lalu hanyalah cermin dan pedoman kita untuk melangkah menuju masa depan. Kita tidak boleh mengatur takdir dan mendobrak apa yang sudah kekal. Saat ini kalian telah memiliki seorang Papa, yang ku yakin amat mencintai kalian. Belajarlah bersikap bijaksana dan jangan biarkan kesalahan yang sama terulang kembali. Suatu lembaga perkawinan bukanlah suatu panggung permainan yang bisa disimak ataupun ditinggalkan. Semuanya telah tercipta abadi dan hanya Tuhan yang sanggup memisahkan. Biarkanlah apa yang sudah ada menjadi tetap ada dan berjanjilah untuk tetap mencintai Papa kalian.” Agung berusaha menahan air matanya.

“Walaupun begitu kalian boleh mengunjungi Ayah kapan pun kalian suka.” tambah Ibu.

Jingga mengerti bahwa bukan dirinya yang berkuasa mengatur roda nasib, “Kami mengerti dan amat menghargai semua keputusan Ayah dan Ibu.”

“Kami mencintai Ayah dan tentu tetap juga mencintai Papa, sebab biar bagaimanapun kalianlah yang membuat kami masih bertahan sampai saat ini.” Nila meminta persetujuan Jingga.

“Iya. Dan kau tahu Ayah aku akan selalu menyempatkan untuk mengunjungi Ayah, karena kurasa aku telah jatuh cinta dengan tempat ini.” tambah Jingga riang.

     Ayu tersenyum lega menyadari kedewasaan kedua putrinya yang kini sedang beranjak dewasa. Dipeluknya sepasang kembang mayangnya itu, “Mari sekarang kita ke Singaraja, mereka pasti sedang menunggu kita.” ajaknya.

     Mereka pun berjalan bersama menuju mobil yang akan mengantar mereka memaafkan masa lalu. Dan di dalam mobil Nila berbisik nakal kepada Jingga, “Ga, aku rasa kamu tidak hanya jatuh cinta pada Bali, ada seseorang di sini yang sedang kamu jatuhi cinta khan?” selidik Nila.

     “Ah kakak, jangan begitu donk! Ini pasti gara-gara Dita.” ujar Jingga seraya mencubit pinggang kakaknya, dan pikirannya pun melayang jauh kepada pemuda berkulit coklat yang menolongnya tempo hari.

     Agung dan Ayu menatap buah hati mereka sambil tersenyum riang dan keduanya saling bertatapan hangat, “Terima kasih Gung.” ujar Ayu.

     “Tetaplah bertahan demi mereka dan demi Heru, suami tercintamu. Aku akan tetap mendoakanmu dari sini.”

     Sesuatu yang berjalan sempurna memang terkadang tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Yang terpenting adalah memadamkan api dendam dan permusuhan serta menggantikannya dengan cinta kasih yang sudah banyak diuji oleh beragam kepahitan. Karena kedamaian membuat semesta riuh bernyanyi untuk mengagungkan keindahan cipta dan kesepurnaan kasih Tuhan, Amin.

-SELESAI-

[i] Mrangkat        : kawin lari

[ii] Niang             : nenek 

[iii] Pekak                   : kakek

[iv] Ida                : kamu (perempuan)

[v] Cai                 : kamu

[vi] Tiang             : saya

[vii] Bli                        : panggilan untuk abang/ kakak laki-laki

0 Comments

Cerpen: Pandan, Kita Semua Sama

11/6/2012

0 Comments

 
Picture
Cerpen ini pernah dimuat di tabloid Gaul, tapi sebelnya mereka ganti judul cerpen dengan seenaknya :( Agak kecewa juga sih, tapi ya sudahlah ^^

Ceritanya sedikit terinspirasi dari kejadian waktu saya freelance jadi hot line psikologi untuk korban bom di gereja2 di Jakarta. Dari situ jadi mikir, siapapun bisa berperan jadi pendengar, no matter dia punya kekurangan fisik, yah seperti cerita inilah. Yuk dibaca.

*****

          “Pandan, jangan pilih-pilih cowok kayak gitu donk. Mana ada cowok yang sekaligus pintar, cakep, tajir, dan punya kelakuan yang menurut kamu ‘normal’. Nggak ada orang sesempurna itu!” seru Zita kesal.

          “Ya ada donk! Aku merasa diriku cantik, pintar, kaya dan ‘normal’. Nggak salah donk kalau aku cari cowok yang pantas buatku?”

          Maia menelan ludah, maklum dengan sifat keras kepala sahabatnya itu. “Tapi jadinya pas pesta ulang tahun ketujuh belas nanti, kamu belum punya pacar donk?”

          Pandan menepuk dahinya, “Iya ya! Ah sudahlah, sekarang lebih baik kita telpon ke kantor event organizer aja dulu buat ngomongin tema pestaku.”

          “Ya udah, cepat telpon aja.” ujar Maia.

Pandan menekan sederet angka pada tuts hand phone-nya. Kedua temannya, Maia dan Zika yang duduk di sampingnya, mulai terlihat tidak sabar. Sementara Oleg, pudel coklat milik Pandan, sibuk menarik-narik rok abu-abu Zika karena merasa tidak diperhatikan.

“Klik...Halo selamat sore, dengan hotline psikologi 24 jam. Ada yang bisa saya bantu?” terdengar suara lelaki di ujung telepon.

“Hah?” Pandan tampak bingung.

Kening Zika berkerut, “Kenapa?”

“Kayaknya salah sambung.” ucap Pandan.

“Tidak kok, kamu tidak salah. Kamu ada di jalur yang benar. Memang sih pada awalnya agak sulit untuk menceritakan masalah kamu. Oh iya, perkenalkan, nama saya Erga.” sahutnya ramah.

“Eng...aku Pandan.”

“Oke Pandan, ada yang bisa saya bantu?”

“Mmh...aduh...” Pandan semakin bingung.

“Kalau salah sambung ya ditutup aja!” perintah Zika.

“Nggak bisa, aku...” teriak Pandan panik.

“Sepertinya kamu masih malu untuk cerita ya? Sekarang, coba kamu rileks aja. Kita ngobrol-ngobrol biasa aja dulu. Bagaimana?”

“Aduh, kok jadi ribet begini sih?” bisik Pandan sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Kenapa? Mungkin pada awalnya kita bisa...” ujar Erga.

Pandan kehilangan kesabarannya, “Masalahnya ya Mas, saya tadi mau telpon kantor event organizer. Tapi yang terjadi malah nyambung ke nomor ini. Sebenarnya dari tadi saya cuma mau bilang kalau saya salah sambung! Dasar bego!” bentak Pandan keras, lalu segera membanting hand phone-nya ke sofa.

“Dasar gila! Tuh cowok cerewet banget sih! Aku sampai nggak dikasih kesempatan ngomong.” Pandan memberi penjelasan.

 “Tapi kayaknya kamu nggak usah sampai ngeluarin kata-kata kasar kayak tadi deh.” pendapat Maia yang disambut anggukan setuju Zika.

*****

“Kenapa Kakak jadi marahin aku sih, ini ‘kan bukan salahku!” Pandan kesal luar biasa.

“Sekarang kamu harus telepon ke nomor itu lagi. Minta maaf sama cowok yang kamu hina tadi.” perintah Suji, kakak Pandan, yang tampaknya terlalu mengerikan untuk ditolak.

Pandan merengut, “Iya aku bakal telpon, tapi nggak sekarang! Malam ini aku mau belajar, besok ada ulangan kimia.” jelas Pandan kasar.

“Ya udah, besok janji ya minta maaf sama dia. Kakak keluar dulu.”

“Kak Suji kenapa sih, cuma karena aku kasar sama telepon salah sambung aja marahnya sudah kayak apaan gitu. Ih, ini semua gara-gara cowok yang namanya Erga itu. Huh, sebel!” seru Pandan dalam hati, kemudian Ia melempar bantal ke pintu, tepat setelah Suji baru saja menutup pintu kamar tersebut.  

*****

“Aduh...si Daun Pandan ini, pagi-pagi kok sudah manyun sih? Kenapa?”

Pandan menutup agendanya, “Eh Mai, ini nih gara-gara Erga.” keluhnya.

          “Hah? Erga yang pekerja hotline psikologi itu?”

          “Erga yang kemarin?” tiba-tiba suara Zika mengejutkan mereka berdua.

          Maia memukul bahu Zika, “Eh dasar ember kaleng rombeng! Nyamber aja kayak bensin.”

          Zika tersenyum nakal, “Biarin aja. Ngomong-ngomong ada apa nih dengan Erga?” tanya Zika sambil menarik-narik tangan Pandan.

          “Enggak ada apa-apa sih, cuma karena kasus kemarin sore itu aku dimarahi abis-abisan sama Kak Suji.”

          “Kok kakak kamu bisa tahu? Kamu cerita ya sama dia?” tanya Maia.

          Pandan mendengus, “Rencananya sih cuma pengin bikin lucu-lucuan. Aku pikir kakak bakal ketawa, tauknya, malah marah-marah. Sebel!”  

“Kenapa kakak kamu jadi marah-marah?” Zika ikut-ikutan kesal.

          Pandan menghela napas, “Kamu tahu ‘kan kalau Kak Suji itu perfeksionis abis dan dia sama sekali nggak suka kalau ada orang yang kasar dan nggak menghargai orang lain.”   

          “Tapi aku rasa sikap Kak Suji ada benarnya juga kok. Dia cuma nggak pengin kamu jadi orang yang nggak tahu sopan santun.” ujar Maia disambut anggukan Zika yang entah kenapa menjadi satu ide dengan Maia.

          “Dan parahnya, nanti sore aku harus nurunin harga diriku untuk nelpon tuh cowok buat minta maaf!” seru Pandan. “Kalau nggak, aku bakal diaduin Kakak ke Mama! Bete ‘kan?!”

          Kedua gadis di depannya spontan mengangguk, bersamaan dengan dering bel pertanda pelajaran akan segera dimulai.

*****

          Pandan kembali menghubungi Erga, dan beruntung kali ini Erga sendiri yang mengangkat telepon tersebut.

          “Erga ya, ini Pandan. Aku yang kemarin sore salah sambung ke hotline psikologi ini. Masih ingat nggak?” tanya Pandan tak bersemangat.

          “Pandan? Mmh...ada apa lagi?” suara Erga juga terdengar tak bersemangat.

          “Aku mau minta maaf karena kata-kataku yang nggak sopan kemarin.”

          “Oh?! Nggak apa-apa kok!” nada suara Erga menjadi lebih ramah.

          “Benar nggak apa-apa? Kamu nggak marah sama aku?” Pandan merasa sangat lega, entah karena permintaan maafnya diterima atau karena Ia berhasil menyelesaikan misinya agar tidak dimarahi Mama.

          “Mungkin kemarin iya, tapi sekarang nggak lagi kok. Aku juga bukan tipe pendendam. Oh ya, kemarin jadi telpon ke event organizer? Nggak salah sambung lagi ‘kan?” Erga tertawa.

          “Enggak kok, nggak salah sambung lagi.” balas Pandan, juga dengan tawa.

          “Ceritanya kamu mau bikin pesta ya?”

          “Iya nih, pesta ulang tahunku yang ketujuh belas.” cerita Pandan, tanpa sadar kalau dirinya mulai merasa nyaman berbincang dengan Erga.

          “Oh ya? Kapan?”

          “Masih bulan depan kok! Mmh...Erga, kayaknya sampai sini dulu ya! Aku masih harus bikin PR.”

          “Oh ya udah, selamat bikin PR dan semoga sukses ya pesta ulang tahunnya.” ucap Erga riang.

          “Terima kasih! Oh iya...” teriak Pandan sebelum Erga menutup teleponnya, “Lain kali aku boleh telepon kamu lagi nggak?” tanya Pandan ragu-ragu, dan kemudian Ia pun terkejut dengan kata-katanya sendiri. “Eng maksudku...”

          “Boleh kok, asal jangan marah-marah lagi aja!” goda Erga.

          Pandan menutup telepon itu dengan senyuman, “Kayaknya ini cowok bisa digebetin nih!” Pikiran-pikiran nakal mulai merasuki benak Pandan.   

*****

          Tiga minggu berlalu sejak perkenalan tak disengaja antara Pandan dan Erga tempo hari. Pandan yang awalnya tidak menyukai sikap sok tahu Erga, lama kelamaan mulai berubah, digantikan rasa kagum dan mungkin...cinta? Who knows? Nyatanya Erga memang partner curhat yang sempurna. Pandan pun akhirnya mulai berkhayal tentang seorang pangeran misterius yang selama ini menghiasi mimpi-mimpinya. Erga-kah pangeran sempurna yang selama ini dicarinya? Pandan tidak akan tahu sebelum Ia benar-benar bertatap muka dengan Erga.

Dan suatu hari, akhirnya keinginan Pandan untuk bertemu Erga terwujud. Erga yang ternyata adalah seorang pianis terkenal itu mengundang Pandan, Maia dan Zika untuk menyaksikan konser tunggalnya di gedung kesenian Jakarta.

“Kira-kira Erga itu cakep nggak ya?”

          “Zika, udah tiga puluh dua kali kamu nanya itu melulu. Sebel tauk dengernya! Kalaupun Erga cakep, dia juga nggak bakal jadi cowok kamu kok.” sahut Maia kesal.

          “Yang aku bayangin selama kita saling telpon-telponan sih, dia cakep, baik, smart, dewasa, anak kuliahan boo! Dan kayaknya dia juga tajir. Wong, dia kerja di hotline service cuma iseng aja, nggak buat nyari duit. Apalagi sekarang juga mau konser piano tunggal. Ih, dia seperti pangeran di dongeng-dongeng aja deh.”

          “Kayaknya kamu udah kena sindrom Cinderella complex deh.” ujar Zika.           “Udah nggak usah banyak komentar lagi! Sekarang kita udah di dalam gedung pertunjukkan, jaim dikit kenapa?!” saran Pandan yang sudah pusing dengan kecerewetan kedua sahabatnya itu.

          “Terus Erga-nya mana?” tanya Zika.

          Maia mencibir, “Kan udah diceritain kalau Erga bakal konser piano jam 8, dan itu lima menit lagi!”

          Lima menit kemudian Erga sudah beraksi memainkan beberapa simponi klasik di atas panggung. Gerak tangannya yang lincah seperti pianis Levi Gunardi tidak diperhatikan oleh Pandan, sebab gadis itu hanya memperhatikan wajah Erga yang ternyata naujubile cakep banget.

“Aku pikir kamu sudah berhasil menemukan cowok yang benar-benar sesuai dengan kriteriamu, Dan.” bisik Zika, disambut anggukkan tegas Pandan.

Setelah sebuah lagu selesai dimainkan, Erga segera berdiri. Pembawa acara sekali lagi meminta para hadirin untuk bertepuk tangan, “Berikan sambutan meriah kepada pianis berbakat Erga Wibowo yang dengan segala kekurangannya sebagai penderita tuna netra ternyata mampu berkarya layaknya orang normal.”

Pandan dan kedua sahabatnya terkejut dengan pernyataan pembawa acara tersebut, dan tanpa basa-basi Pandan segera meninggalkan kursinya.

“Pandan!” panggil Zika dan Maia yang setengah berlari mengejar gadis itu.

*****

“Mungkin Erga itu punya segalanya Mai! Tapi dia buta! Buta!” pekik Pandan sambil menangis, di pelataran parkir gedung pertunjukkan itu.

          Tanpa sadar Maia menampar pipi Pandan, “Dengar ya Dan, manusia itu nggak ada yang sempurna, termasuk kamu! Kamu mungkin merasa dirimu itu cantik, pintar, kaya! Kamu mungkin juga merasa punya segalanya, tapi ingat, manusia itu nggak hanya hidup dari daging dan tulang. Manusia juga hidup dari hati dan dari perasaan!”

          “Aku kecewa sama kamu Dan! Bagaimana orang bisa menghargai kamu kalau kamu sendiri nggak mau menghargai orang lain. Pandan, kita semua sama!” Zika tersenyum pahit.

          Pandan berteriak, “Terserah kalian mau ngomong apa! Terserah! Aku nggak peduli! Kalian bukan sahabat yang baik!” Pandan pun berlari meninggalkan kedua sahabatnya, memanggil taksi yang lewat di depannya.

*****

Bulan sudah merangkak naik menggantikan sang surya yang mulai masuk peraduannya, namun entah mengapa jiwa dan raga Pandan tak jua mampu beristirahat. Gadis itu hanya tergolek lemah di atas ranjang, dengan air mata yang masih terus menggenangi pelupuk matanya.

Pikiran Pandan melayang pada kejadian di gedung pertunjukkan tadi sore. Wajah Erga, Maia dan Zika berseliweran di dalam benak Pandan. Membuat gadis itu merasakan sensasi aneh, antara benci, takut, marah, dan mungkin sedikit rasa sesal. Pandan sebenarnya sadar kalau Ia memang bersalah pada Erga, Maia dan Zika, tapi harga dirinya tampak terlalu tinggi untuk belajar menunduk, belajar meminta maaf. Dalam kelelahan dan sakit hati, Pandan terpelanting ke dunia mimpi, sebuah mimpi yang amat sangat tidak menyenangkan.

“Bagaimanakah rasanya duniamu sayang, bila kau yang awalnya memiliki segalanya kini menjadi tiada berarti? Apakah kau akan tetap tertawa bila setiap orang satu persatu meninggalkanmu? Akankah kau membayar mereka untuk menghargaimu?” Pandan pun terbangun dari mimpinya... menangis.

*****

Setelah mimpi itu, pada suatu sore di saat gerimis belum berpelangi, Pandan memutuskan untuk merubah pendiriannya. Pandan melenggang penuh keraguan, memasuki sebuah ruangan besar tempat Erga melatih kepekaan jarinya di atas grand piano.  

“Erga...” panggil Pandan, membuat Erga menghentikan permainannya.

“Pandan?” Erga memutar tubuhnya, mencari arah darimana suara itu datang. Kemudian Ia menghela napas berat, “Kamu pasti sudah tahu keadaanku sebenarnya.”

“Aku...” Pandan berlutut di depan Erga.

“Nggak apa-apa kok, aku sudah biasa dikecewain kayak begini. Mungkin harusnya dari awal, aku sudah cerita kalau aku ini buta ya? Jadinya nggak akan kayak begini suasananya. Aku mungkin nggak pantas bergaul sama kamu...seorang perempuan yang sempurna.”

“Nggak Erga, ini bukan salah kamu.” pekik Pandan sambil terisak. “Ini semua salahku. Aku yang terlalu angkuh dan sombong.”

“Jadi kita masih bisa berteman?” bisik Erga, setelah hening sesaat.

Pandan tersenyum dan menggenggam kedua tangan Erga, “Kita akan jadi teman yang baik untuk selamanya.”

“Tapi, aku nggak bisa memberikan kamu apa-apa.”

“Nggak, tanpa sadar kamu sudah memberikan pelajaran penting bagiku.”

“Aku sudah memberikan pelajaran penting? Maksudmu?”

Pandan memberikan senyumannya yang paling manis, “Kamu tahu Ga, kamu sudah memberikan pelajaran tentang cinta, penghargaan dan kasih sayang yang sebelumnya nggak pernah aku sadari perlunya. Aku jadi paham apa yang pernah dibilang sama Zika, temanku, dan adamu membuat aku sadar kalau kita semua itu sama.”

“Terima kasih.”

“Oh ya, sabtu besok pesta ulang tahunku. Kamu mau datang ‘kan?”

Erga hanya tersenyum, dan senyuman itu menghadiahkan langit sore yang basah oleh hujan, sehelai untaian pelangi yang amat indah. Pelangi yang khusus diberikannya untuk kedewasaan Pandan.

-END-


0 Comments

Cerpen: Puteri Hujan

11/6/2012

0 Comments

 
Picture
Cerpen kali ini terinspirasi dari banyaknya anak-anak ojek payung di halaman SMA saya dulu. Kepikiran deh bikin cerita tentang mereka. Gimana sih ceritanya? Yuk, disimak.

*****

Siang ini hujan turun dengan derasnya, angin dingin berhembus melalui kisi-kisi jendela kelas, menerpa ganas tubuh murid-murid yang sedang serius memperhatikan soal-soal reaksi redoks yang terpampang di papan tulis. Naomi mendekap erat tubuhnya sambil menatap soal-soal kimia yang ditulis oleh Bu Dina, guru kimianya yang “luar biasa” itu.

            Retha, teman sebangkunya, menatap heran gadis itu. “Mi, kok nggak dikerjain sih? Nanti kalau Bu Dina tahu kamu nggak ngerjain sama sekali gimana?”

            Naomi melirik ke arah guru yang membelakanginya, “Soal susah kayak gitu siapa juga yang sudi ngerjain.” bisik Naomi perlahan.

            “Hei, kalian berdua yang duduk di belakang, jangan ribut saja! Kalau nggak mau ngerjain tugas mendingan keluar saja!” pekik Bu Dina menggemparkan seisi kelas.

            “Habis soalnya susah sih Bu!” seru Naomi diiringi pandangan kaget semua teman sekelasnya yang heran dengan perkataan ajaib gadis itu.

            “Wah, wah, wah… bagaimana kamu tahu soal itu susah kalau nggak dicoba?! Sekarang lebih baik kamu kerjakan di luar. Saya nggak mau punya murid malas seperti kamu!” perintah Bu Dina keras, sehingga mau tak mau Naomi segera keluar kelas.

            “Sudah! Sekarang yang lain selesaikan soal persamaan reaksi di depan!” perintah Bu Dina.

            Naomi mendekap erat buku yang ada di tangannya, “Uh, sebel ngapain juga aku ngelawan Bu Dina! Udah di luar dingin lagi.” Naomi duduk di atas kursi batu yang ada di depan kelas sambil memandang hujan yang turun semakin deras. “Wah, Putri udah datang belum ya? Biasanya jam segini dia sudah ada di depan gerbang.” Naomi melihat jarum jamnya yang menunjukkan pukul 13:15.

            Seminggu yang lalu Naomi berkenalan dengan Putri, seorang gadis pengojek payung berusia 12 tahun, saat Naomi terlunta-lunta di tengah hujan menunggu supirnya yang tidak kunjung tiba. Mereka saling bercerita mengenai hujan dan apa saja yang menarik.

            “Duh enak ya, saya khan tidak bilang kamu boleh cuci mata kemana-mana!” teriakan Bu Dina menghablurkan lamunan Naomi.

            “Eh Bu Dina!” Naomi salah tingkah.

            “Coba lihat buku latihan kamu!” perintah Bu Dina.

            Naomi memberikan buku latihannya, dia khawatir setengah mati karena belum ada tulisan apa pun di buku itu.

            Bu Dina tersenyum, “Saya nggak lihat tulisan apa-apa, atau mungkin jawaban kamu sedang main petak umpet ya?!”

            “Eng… maaf Bu, saya…” ucap Naomi terbata-bata.

            “Oke, saya mau besok pagi sudah ada seratus lembar soal plus jawaban tugas tadi di meja saya!”

            “Hah… tapi Bu.”

            “Nggak ada tapi-tapian! Sekarang cepat masuk kelas dan pimpin doa!” perintah tegas Bu Dina yang langsung dituruti Naomi.

*****

            “Putri! Kamu darimana aja, banyak langganan ya? Saya sudah nungguin kamu dari tadi loh!” seru Naomi di pinggir bale-bale, sementara hujan masih turun.

            “Aduh maaf banget ya Mbak, ibu saya sakit, jadi saya…”

            Naomi mengerutkan keningnya, “Sakit apa?"

            “Nggak apa-apa kok Mbak, ibu cuma masuk angin biasa aja.”

            “Hati-hati loh, masuk angin nggak bisa disepelein nanti bisa jadi sakit… sakit…”

            “Sakit apa Mbak?” tanya Putri setengah ketakutan.

            Naomi meraba keningnya, “Eng… pokoknya gawat deh!” seru Naomi sok tahu.

            “Ketahuan nih Mbak nggak pernah dengerin gurunya ngajar ya?” goda Putri.

            “Ah enggak juga.” Naomi malu bukan main.

            “Mbak harusnya bersyukur loh. Masih banyak anak lain, termasuk saya, yang pengin banget sekolah.” tutur Putri prihatin.

            “Iya Non, aku akan lebih rajin belajar lagi. Oh iya, ini ada hadiah buat kamu."

            Putri menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya, "Buat saya mbak?" Putri membuka bungkusan itu, "Jaket... aduh ngerepotin segala."

            "Udah ambil aja, dengan jaket itu kamu nggak akan kedinginan. Sekarang bagaimana kalau aku anterin kamu pulang, sekalian jenguk ibumu.”

            Putri berseru khawatir, “Hah, lebih baik jangan deh.” cegah gadis itu.

            “Memangnya kenapa? Udah deh, ayuk!” Naomi menarik tangan mungil Putri dan setengah menyeretnya masuk ke mobil yang dikendarai supirnya.

*****

Rumah Putri sangat mungil sehingga Naomi merasa heran bagaimana ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dapur, kamar bahkan kamar mandi bisa cukup di dalamnya. Di depan rumahnya ada sejengkal tanah yang penuh ditanami bunga-bunga matahari yang sedang mekar dengan eloknya.

Putri membuka pintu rumahnya, “Silakan masuk, Mbak. Maaf rumah saya kecil.”

Naomi kembali lagi berdecak kagum, rumah Putri memang kecil namun rapi dan bersih. “Wow, rumah kamu bersih sekali! Aku rasa di sini tidak akan ada kecoa, tikus dan binatang menjijikkan lainnya.” puji Naomi.

“Ah, masih kalah sama rumah Mbak Naomi?” sahut Putri merendah.

“Enggak juga, rumahku nggak…” belum sempat Naomi menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil Putri.

“Putri, itu kamu Nak?” tanya suara itu.

Putri bergegas masuk ke dalam sebuah kamar diikuti Naomi di belakangnya, “Iya Bu, ini Putri.” Putri menyentuh kening ibunya. “Oh iya, ini ada Mbak Naomi, yang sering aku ceritain itu!”

Naomi mengulurkan tangannya “Selamat siang Bu, nama saya Naomi.” ujarnya ramah.

“Aduh Non repot-repot datang ke sini segala. Putri sudah sering cerita tentang kebaikan Non Naomi, terima kasih banyak ya!”

“Nggak apa-apa kok Bu, sudah seharusnya saya memperhatikan sesama yang membutuhkan.” ujar Naomi tanpa menyadari dari mana kata-kata itu keluar.

Naomi menikmati waktu-waktunya di rumah Putri sampai tidak menyadari hari semakin sore. "Wah sudah sore, aku harus pulang nih, kasihan juga supirku nungguin di mobil."

"Terima kasih ya mbak Naomi mau main ke sini.”

“Justru aku yang harus berterima kasih, ini ada sedikit uang untuk ibumu, beliau harus dibawa ke dokter. Biar sakitnya nggak tambah parah.” ujar Naomi.

“Tapi mbak…”

“Nggak ada tapi-tapian!” Naomi menirukan gaya bicara Bu Dina yang tadi siang memarahinya. “Ini semua khan demi kesembuhan ibumu!”

Putri tertawa mendengar nada suara Naomi yang dibuat kebatak-batakkan itu.

“Oke, aku pulang dulu. Nanti pamitkan ibumu ya, aku nggak tega membangunkannya. Bye…” Naomi melambaikan tangannya.

Lima belas menit kemudian Naomi sampai di depan gerbang rumahnya, aneh, padahal saat pergi tadi mereka menghabiskan waktu hampir satu jam untuk sampai ke rumah Putri. Di depan pintu telah berdiri mamanya yang cemas menatapnya.

“Aduh sayang, kamu darimana aja sih? Sudah jam enam sore nih! Pergi kok nggak bilang-bilang? Handphone kamu juga nggak aktif lagi.”

“Sorry banget Ma, tadi aku ke rumah Putri, temanku yang suka ngojekin payung itu loh. Eng... handphone, lupa nggak dibawa! Udah ya sekarang aku mau mandi dulu!” Naomi mengecup pipi mamanya dan segera berlari menaiki tangga, dari atas dia berteriak, “Ma, bikinin susu donk!”

Dari bawah mamanya mengeluh, “Sudah kelas dua SMU kok masih kayak anak SD gitu sih?”

Selesai mandi, Naomi duduk di atas ranjang sambil menyeruput susu coklat dan memijat-mijat kakinya yang pegal, “Aduh capek banget nih, tapi nggak apa-apa dapat pengalaman baru. He… he… huah… ngantuk banget, eng… tapi kayak ada yang nggak benar nih. Seperti ada sesuatu yang harus dikerjain deh, tapi apa ya? AH!!! Peer Kimia!” Naomi segera membongkar tasnya.

Waktu telah menunjukkan pukul 24:00, Naomi sudah tidak sanggup menulis lagi. Dan akhirnya terkulai lemas di meja belajarnya, “Bodo amat deh besok dimarahi Bu Dina.”

*****

            Keesokkan paginya Naomi bangun dengan kepanikan yang amat sangat, segera dibereskannya kertas-kertas yang berserakkan di atas meja dan bergegas ke kamar mandi.

            Di dalam mobil berputar banyak alasan yang akan diberikan kepada Bu Dina perihal tugasnya yang tak selesai. Tapi sesampainya di sekolah Naomi mau tidak mau harus terkejut setengah mati ketika tugasnya ternyata telah selesai. Persis 100 lembar!

            “Wah, saya nggak nyangka kamu akan serajin ini! Jawabannya betul semua kok. Oleh sebab itu kamu harus kerjakan tugas dulu baru bisa bilang tugasnya susah atau mudah!” nasihat Bu Dina yang tampaknya hari ini sedang bergirang hati.

            Naomi menelan ludah, “Tapi Bu, saya…”

            “Kenapa Naomi?”

            “Ah enggak Bu, saya permisi masuk kelas dulu.” Naomi beranjak berjalan ke dalam kelasnya. “Perasaan tadi malam aku cuma kerjain dua puluh lembar, kok bisa jadi seratus ya? Apa mungkin aku ngerjainnya sambil tidur? Ih, nggak mungkin banget. Ah, paling-paling Kak Yuki yang bantuin aku.” Naomi menghibur dirinya sendiri.

*****

Seminggu berlalu sejak kejadian ajaib itu, dibilang ajaib karena baik Kak Yuki, Mama atau Papa Naomi sama sekali tidak merasa mengerjakan tugas kimia Naomi. Dan Naomi masih ingat kata-kata Yuki, kakak laki-lakinya, “Nggak mungkin aku yang ngerjain, kerajinan amat. Jangan-jangan itu guardian angel kamu yang iseng, abis sebel ngelihat kamu males!”

"Hei Non, semua itu dapat dijelaskan dengan logika! Nggak usahlah percaya sama hal yang aneh-aneh. Palingan kamu yang lupa udah ngerjain berapa lembar." nasihat Retha setelah mendengar cerita Naomi.

"Kamu tahu khan, aku nggak pernah bisa ngerjain yang namanya kimia semudah apa pun soalnya. Aku sudah alergi sama semua hal yang berbau kimia. Mana mungkin aku tiba-tiba bisa ngerjain?" ujar Naomi tegas.

*****

            Masalah baru timbul, sudah seminggu Putri tidak pernah muncul di sekolah Naomi. Naomi khawatir, pasalnya sehari sebelum Putri menghilang Naomi baru saja mengutarakan keinginannya untuk menjadi kakak asuh yang akan membiayai sekolah Putri. Dia takut Putri merasa tersinggung dan tidak enak hati atas maksudnya itu.

            "Tapi kayaknya waktu itu dia asyik-asyik aja deh, nggak merasa tersinggung." sahut Naomi dalam hati sambil memainkan payung merahnya pada percikan air hujan yang keluar dari paralon di samping kantin.

            Selembar kertas berbentuk kapal-kapalan tiba-tiba meluncur mengenai punggungnya, seorang gadis terkikik-kikik melihat Naomi yang asyik menggerutu.

            "Retha! Ngapain sih iseng banget?" bentak Naomi kesal.

            "Lagian ngelamun aja. Kok nggak pulang?” tanya Retha.

            "Kamu sendiri? Ngapain nggak pulang, mau ngecengin pak satpam ya?"

            Retha mencipratkan air hujan ke wajah Naomi, "Aku khan mau ekskul. Hayoo, sekarang alasan kamu apa, jangan-jangan kamu yang mau ngecengin satpam deh!"

            "Enggak, aku lagi nungguin Putri, sudah seminggu dia nggak pernah muncul. Aku khawatir, jangan-jangan ada apa-apa sama dia." cerita Naomi.

            "Dia udah bosen ketemu kamu kali?!" seru Retha asal.   

            "Jangan asal deh. Ehm, gimana kalau kita berdua ke rumahnya? Heran, kenapa nggak kepikir dari kemarin-kemarin ya?" sahut Naomi.        

            "Yah, aku tahu dengan kapasitas otak yang segitu sih pasti... eh tunggu, tadi kamu bilang kita berdua?"

            Naomi beranjak bangun, “Iya, kita berdua ke rumah Putri. Ayuk!”

            “Loh, aku khan mau ekskul.” Retha protes.

            “Udah lah, sekali-kali bolos masa’ nggak boleh?”

            Setelah perdebatan selama sepuluh menit akhirnya Retha bersedia ikut walaupun dengan hati penuh kekesalan.

*****

            “Kamu yakin di sini rumahnya?” tanya Retha sambil memandangi lahan kosong yang terhampar luas di depannya.

            “Iya, bener di sini kok. Iya khan Pak?” tanya Naomi disambut anggukan setuju supirnya.

            Retha membuka jendela mobil, gemericik air hujan masuk ke dalam, “Tapi di sini nggak ada bangunan sama sekali.”

            “Jangan-jangan digusur? Aduh, gawat nih!” pekik khawatir Naomi kemudian keluar dari mobil tanpa mempedulikan hujan yang masih turun.

            Retha bergegas keluar sambil membuka payungnya, “Kita mesti tanya sama orang lain yang rumahnya dekat sini.”

            “Non, di depan ada motor melaju, saya stop-in ya!” ujar pak supirnya Naomi.

            Retha dan Naomi bergegas mendekati si pengendara motor, “Ada apa ya?” tanya si pengendara motor itu.

            “Maaf Pak, rumah yang ada di situ sudah digusur ya?” tanya Naomi.

            “Rumah yang mana?”

            Retha tidak sabaran, “Itu yang letaknya di sana!” tunjuk gadis itu.

            “Hah? Dari jaman nenek saya masih doyan sirih nggak pernah ada rumah di situ. Tempat itu dari dulu cuma tanah lapang yang biasa dipakai anak-anak main bola!” cerita si pengendara.

            “Apa!!” teriak Naomi dan Retha bersamaan.

*****

            Naomi cukup terpukul dengan kejadian yang baru dialaminya. Semua kejadian tersebut tidak bisa dimengertinya sampai suatu hari di saat hujan tidak turun sepucuk surat tiba-tiba ada di meja belajarnya.

Mbak Naomi,

            Terima kasih atas semua bantuan yang telah diberikan kepadaku dan ibuku. Engkau seorang gadis yang baik hati, sesuai dengan pendapatku tentang manusia, manusia yang tidak mementingkan ego demi sesamanya. Maafkan atas segala kesalahanku terutama sekarang saat Kau tak lagi menemukanku.

            Hujan tak pernah berdusta, dan aku pun demikian. Engkau harus percaya apa yang ada, karena dengan percaya kau bisa mengerti rahasia ini. Putri sebenarnya bukan manusia, aku adalah malaikat kecil bagi hujan. Putri turun ke dunia untuk membuktikan pendapatku pada Ayah bahwa masih ada manusia yang memiliki kebaikan. Terima kasih atas segalanya, maafkanlah..

Sebab Putri hanyalah seorang Puteri, Puteri Hujan

                                                                                       -ILLUVIA dama-*

Tidak ada akal sehat ataupun logika yang mampu menjawab semua pertanyaan dan jangan kuatir, Naomi tidak perlu itu, karena dia yakin hatinya sudah mampu bahkan sudah sempurna mencerna kejadian ini.

-END-


0 Comments

Cerpen: Kehidupan Dalam Sandiwara

11/6/2012

0 Comments

 
Picture
Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Gadis, didasari oleh kisah pengalaman pribadi waktu main drama saat SMA dulu walau kisah aslinya gak semenyeramkan cerpen ini. Apa sih yang nyeremin? Baca aja sendiri ya ^^

*****

“Saat menengadah memandang lingkaran mata yang menakjubkan

setiap makhluk hidup akan tenggelam karena menatapnya,

saat dia melangkahi awan yang bergerak lambat,

dan berlayar di permukaan udara.”

            Meiya terpukau di sudut, menatap Satura memainkan cerita itu, Romeo dan Juliet.

            “Ya! Latihan hari ini cukup sampai di sini saja!” teriakkan Mas Wendo menghapuskan khayalan. “Meiya!” panggil Mas Wendo.

            Meiya segera meletakkan kuas yang ada di tangannya ke dalam gelas berisi air lalu berjalan menghampiri pemuda pertengahan dua puluhan itu. “Ada apa Mas?”

            “Saya pikir kamu cocok menjadi Juliet.” ucap Mas Wendo pendek.

            Meiya membelalakkan matanya tak percaya, “Maksud Mas?” Meiya tak mengerti.

            “Kalian semua!” panggil Mas Wendo pada semua anak yang berkumpul di aula itu, “Mas Wendo sudah menemukan siapa yang cocok untuk menjadi Juliet!”

            Semua anak terdengar kasak-kusuk, bertanya-tanya siapa yang beruntung, “Siapa Mas?” tanya Tleo penasaran.

            “Meiya! Bagaimana?” tanya Mas Wendo.

            Tleo dan Satura kompak bicara, “Wah, cocok!” ujar mereka seperti kata-kata dalam sebuah jingle iklan. Namun tidak semua anak di situ setuju terutama Edsa and the gang; Tammy, Regina dan si gendut Petty.

            “Enak aja, Mas Wendo buta ya? Masa’ si Meiya yang dipilih? Edsa mau dikemanain?” tanya Regina dengan heran ketika sepulang latihan mereka berkumpul di kantin sekolah.

            “Jelas-jelas Edsa lebih cocok, Juliet khan harus cantik, iya nggak?” tambah Tammy.

            “He eh.” ujar Petty pendek sambil terus menjilat ice cream coklatnya.

            “Tenang kawan-kawan, aku nggak akan terima Mas Wendo milih dia, Mas Wendo itu khan kakakku, masa’ dia nggak milih adiknya sendiri sih?! Selain itu aku nggak sudi ada cewek lain yang mendampingi Saturaku!” sahut Edsa geram.

*****

            “Sudah berapa kali Mas bilang kalau Meiya lebih cocok jadi Juliet!” seru Mas Wendo kesal.

            “Tapi kenapa dia? Aku khan adik Mas. Memangnya aku nggak cocok? ” tanya Edsa sebal.

            “Nggak! Aku harus profesional. Dengar ya kamu itu nggak punya penjiwaan yang baik, nggak disiplin dan nggak punya auranya Juliet. Ngerti?” ujar Mas Wendo.

            “Nggak bisa! Pokoknya aku mau jadi Juliet!!” bentak Edsa.

            Mas Wendo berjalan menuju kamarnya, “Dasar keras kepala! Kamu baru bisa menjadi Juliet kalau Meiya tidak ada. Dan itu sama sekali tidak mungkin!”

            Pikiran jahat timbul di benak Edsa, “Aku bisa jadi Juliet kalau Meiya tidak ada! Dan satu-satunya cara adalah dengan menyingkirkan Meiya!”

*****

“Dengan sayap sinar cinta aku dapat terbang melewati dinding ini,

dimana pagar bebatuan tidak bisa menahan cinta,

dan apa yang dapat dilakukan cinta, yang takut akan kuasa cinta.

Dan karena itulah sanak saudaramu takkan bisa menghentikanku.” (Romeo)

“Jika mereka melihatmu, mereka akan membunuhmu.” (Juliet)

            Meiya sangat bahagia karena impiannya menjadi Juliet terwujud. Namun kebahagiaan itu menjadi surut dan akhirnya hilang ketika tiga hari kemudian dia terjatuh dari tangga sekolah yang menyebabkan tangan kirinya patah.

            “Ini bukan kecelakaan, aku yakin ada seseorang yang mendorongku.” sahut Meiya kepada Satura, Tleo dan Qian yang mengunjunginya di rumah sakit. “Gara-gara ini…” Meiya menunjuk tangan kirinya yang terbalut gips, “Aku nggak bisa jadi Juliet lagi.” sahut Meiya sedih.

            “Kurasa Mas Wendo nggak akan sejahat itu mencoret namamu dari daftar pemain.” sahut Satura menenangkan Meiya. “Tapi aku jadi curiga, sebab kalau benar kecelakaan ini disengaja siapa orang yang paling bersyukur kamu nggak bisa tampil?” tanya Satura.

            “Edsa.” seru Tleo dan Qian bersamaan.

            “Memang dua hari yang lalu Edsa bilang akan memberikan apa saja keinginanku asalkan aku mau melepaskan peranku. Tentu saja ku tolak, setengah hidupku sudah kupakai untuk mengagumi Juliet.” ujar Meiya.

            “Apakah Edsa bisa sejahat itu?” seru Satura tak percaya.

            Tleo menepuk bahu Satura, “Kamu belum tahu tipe wanita seperti apa Edsa itu. Dia itu congkak, egois, dan punya segala jenis cara untuk memenuhi keinginannya. Sekarang kita tinggal mencari bukti kejahatannya.”

            “Wah, ini akan menjadi sebuah petualangan yang menegangkan!” ujar Qian bersemangat.

*****

            “Aku berhasil! Sekarang tidak ada lagi yang menghalangi langkahku menjadi Juliet!” seru Edsa riang.

            “Tapi, apa tindakan kita nggak terlalu keterlaluan Sa?” Regina khawatir.

            “Iya, ini khan kejahatan. Kalau ketahuan kamu bisa dipenjara loh!” sahut Petty.

            “Aku nggak peduli apa konsekuensinya yang penting aku bisa ada di atas panggung, jadi Juliet dan berdampingan dengan Satura!” tegas Edsa, “Lagipula kalau tindakan kita ketahuan kalian semua juga harus menanggung resikonya!” tambah Edsa.

            “Apa?!” seru Tammy, Regina dan Petty bersamaan.

            “Sedang apa kalian di sini?” tiba-tiba Tleo berada di tengah gadis-gadis tersebut.

            Regina yang jatuh cinta setengah mati pada Tleo serasa mau pingsan melihat pujaannya tiba-tiba ada di dekatnya, “Tleo…”

            “Kamu sudah lama di sini?” tanya Edsa, khawatir pembicaraan tadi didengar.

            “Enggak. Ngomong-ngomong aku mau tanya, sebenarnya kamu yang menyebabkan Meiya jatuh dari tangga sekolah khan?” tanya Tleo penuh curiga.

            Edsa menatap sinis, “Darimana kamu punya ide gila untuk menuduh kami seperti itu?”

            “Iya, memangnya apa alasan kami melakukannya?” tanya Tammy kesal.

            “Banyak. Terutama kamu Sa, kamu pengin dapat peran menjadi Juliet khan? Coba pikir, kalau Meiya nggak bisa main siapa yang pasti akan menggantikannya? Kamu khan?” tuduh Tleo.

            “Eh, dengar ya. Ada atau tidaknya Meiya nggak akan mempengaruhi jatuhnya peran Juliet kepadaku. Ngerti?” bentak Edsa kasar.

            “Iya, lagipula ngapain sih kamu ngurusin Meiya?” tanya Tammy.

            “Jangan-jangan kamu ada hati sama Meiya ya?” tanya Petty iseng.

            Tiba-tiba Regina memekik, “Tidak…” dan langsung jatuh pingsan.

            “Regina!?” seru Tammy, Petty dan Edsa bersamaan.

*****

Sekeluarnya dari rumah sakit Meiya harus menghadapi kenyataan peran Juliet telah berpindah kepada Edsa dan Meiya kembali ke tugasnya semula, pelukis partisi.

            “Belum selesai Mei?” tanya seseorang mengejutkannya.

            Meiya membalikkan badan, “Eh, Satura. Belum pulang?”

            “Belum. Wah, lukisanmu semakin lama semakin bagus! Aku yakin lukisan ini akan menjadi latar belakang panggung yang amat indah.”

            “Terima kasih.” ujar Meiya pendek.

            Satura menjatuhkan diri di sebelah Meiya, “Ngomong-ngomong, apakah Mas Wendo tidak akan memberimu kesempatan untuk jadi Juliet lagi?”

            “Satura, tidak ada dalam naskah Juliet tangannya patah!” seru Meiya ketus.

            “Maafkan aku tapi aku kepingin kamu…”

            Meiya membanting kuasnya, “Sudahlah, aku mau pulang.” Meiya mengambil tasnya lalu berjalan menuju pintu keluar diiringi pandangan Satura yang prihatin akan kesedihan sahabatnya.

”Yah, aku memang bukan siapa-siapa. Hanya si mungil Meiya dengan tangan yang terbalut perban, terluka karena kecelakaan konyol. Aku yang tak lagi sanggup mengalahkan Edsa yang cantik, populer, kaya dan semua gelar yang tersandang di belakangnya. Aku yang kembali tak pernah dianggap ada oleh siapa pun, kecuali sahabat-sahabatku, Satura, Qian dan Tleo. Pahit memang, tapi aku tidak peduli, aku yakin suatu hari nanti Mas Wendo pasti akan mengijinkanku kembali berdiri di atas panggung penuh cahaya itu. Yah, mungkin suatu saat nanti.” keluh Meiya dalam hati.

“Siapakah dikau, yang demikian tersamar dalam malam,

tidakkah mendengarkan nasihatku?” (Juliet)

*****

            “Pementasan kita dua minggu lagi, tapi aku tak pernah merasa puas dengan hasil latihan kalian. Selalu ada yang salah!” terdengar ucapan marah Mas Wendo sore itu sesudah latihan.

            Meiya yang sedang mencampurkan cat minyak, mau tak mau melirik juga ke arah anak-anak yang sedang serius mendengarkan amarah Mas Wendo.

            “Edsa!” panggil Mas Wendo, sedang yang dipanggil menundukkan kepalanya semakin dalam. “Sudah lebih dari satu bulan kamu latihan, mengapa dialog bagianmu tak pernah lancar kamu ucapkan? Kamu nggak sadar kalau kamu itu pemeran utama wanita?” teriak Mas Wendo.

            “Iya Mas.” ucap Edsa penuh ketakutan.

            “Pokoknya besok adalah hari penentuan, kalau kamu tetap tidak mampu, lebih baik Meiya kembali menjadi Juliet!” seru Mas Wendo yang juga mengejutkan Meiya.

            “Jadi aku bisa menggantikan Edsa kalau dia tetap seperti itu? Ah, Mas Wendo tanganku memang sudah sembuh, tapi mana profesionalisme-ku?  Aku sudah tak pernah menyentuh lagi naskah drama yang hanya membuatku sedih itu.” tutur Meiya dalam hati.

            “Sekarang kalian boleh bubar!” sahut Mas Wendo seraya membereskan kertas-kertas naskahnya.

            Semua anak mulai membereskan barang-barang milik mereka. Satura tiba-tiba sudah duduk disebelah Meiya, “Sudah mau selesai Mei?” tanyanya.

            “Tinggal lukisan pilar ini, yang lain sih sudah!” ujar Meiya.

            “Tadi kamu dengar perkataan Mas Wendo kan? Kamu masih punya kesempatan!” sahut Satura memberi harapan.

            “Ah, paling cuma ngelantur aja. Aku khan sudah lebih dari satu bulan tidak membaca skenario, tidak berlatih, bahkan aku sudah lupa bagaimana impianku tentang Juliet dulu.” Meiya memberi alasan.

            “Lagi ngapain berduaan?” ucap Tleo tiba-tiba menepuk pundak Meiya dan pundak Satura.

            “Meiya sudah kehilangan kepercayaan dirinya. Dia tak mau menjadi Juliet lagi!” jawab Satura.

            Tleo menyorongkan wajahnya mendekati mereka, “Dengar ya, si Edsa tuh nggak ada apa-apanya dibanding kamu Mei. Memang sih dia cantik, aku mengakuinya, tapi…tu la lit!” seru Tleo disambut tawa renyah khas Satura.    

“Benar. Kamu tahu khan cerita si Kuncung Riquet karangan Perrault? Di situ khan diceritakan tentang gadis yang begitu cantik cemerlang bagai matahari pagi namun amat sangat bodoh perilakunya.” tutur Satura.

            Meiya angkat bicara, “Tapi gadis itu akan menjadi pandai ketika dia berjanji menikah dengan Pangeran Kuncung Riquet yang pintar itu khan? Siapa tahu Edsa bisa…” Meiya sengaja menghentikan kata-katanya.

            Satura dan Tleo saling berpandangan kemudian berseru bersama, “Kami tidak yakin.”

            Tleo memberikan setumpuk naskah kepada Meiya, “Nih, mulai sekarang baca lagi dialog Juliet, jiwai karakternya dan masukkan dirinya ke dalam dirimu!”

            Meiya tertawa melihat tingkah mereka, sahabat-sahabat terbaiknya, dan berjanji bahwa dia pasti akan kembali menjadi Juliet.

“Jangan bersumpah dengan bulan, karena bulan selalu bergerak,

dan berpindah dalam orbit lingkarannya,

sehingga membuktikan cintamu sama berubah-ubah.” (Juliet)

*****

            Keesokkan harinya terjadi peristiwa mengejutkan, Edsa bermain sangat mengagumkan. Dia benar-benar menjiwai tokoh yang ia mainkan sehingga semua orang dibuat terkagum-kagum. Meiya menatap gadis itu dari bawah panggung dengan pandangan penuh luka, habis sudah harapannya menjadi Juliet.

Tleo memandang ke arah Meiya yang kini menunduk, “Aku tidak akan tinggal diam Mei, akan kubantu kau menjadi Juliet kembali.” janji Tleo dalam hati, walau tindakan itu sudah sangat  terlambat.

Sore itu setelah latihan Tleo menyelinap menuju ruang ganti dan menyapa Regina yang sedang membereskan kostum. “Halo Regina?” sapanya mengejutkan gadis itu, “Mau aku traktir di Café Amour nggak?” tanyanya lagi.

Regina bagaikan mendengar gemuruh di telinganya, “Eng apa…” lidah Regina semakin kelu, “Aku? Sekarang?” tanya gadis itu tak percaya,

"Iya, kapan lagi? Mau nggak?" tanya Tleo dengan senyum yang dipaksakan.

“Oke!” ucap Regina berbunga-bunga.

*****

            “Kamu sudah tidak bisa mungkir lagi Sa, sudah ada bukti kalau kamu yang mencelakakan Meiya!” seru Tleo kesal. “Regina sudah mengakui semuanya!” tambah Tleo sambil menunjuk Regina yang menunduk ketakutan di sudut aula.

            Mas Wendo menatap Edsa dengan kesal, “Kamu benar-benar jahat Edsa!”

            Edsa menatap Regina dengan geram, “Iya, memang aku yang mendorong Meiya. Tapi tindakanku benar khan? Belum tentu Meiya akan bermain sebagus aku sebab aku lah ratu drama sejati!” ujarnya penuh keangkuhan.

            Meiya yang sedari tadi diam turut bicara, “Kamu memang licik Sa, aku nggak habis pikir kamu bisa setega itu. Kamu tahu aku yang berhak mendapat peran itu!”

            “Benar kata Meiya. Sekarang dia harus kembali menjadi Juliet!” seru Qian.

            Mas Wendo menggigit bibirnya, “Memang harusnya begitu, tapi beberapa hari lagi pertunjukan akan dimulai. Mau tidak mau Edsa harus tetap bermain. Kalian mengerti khan?”

            “Memang dari awal aku sudah ditakdirkan menjadi Juliet!” pekik Edsa senang yang disambut sorakan Tammy dan Petty, sementara Regina semakin terpuruk dalam ketakutan.

            Satura, Tleo dan Qian menatap Meiya yang nasibnya semakin memprihatinkan, namun gadis itu ternyata sudah kebal dengan kekecewaan.

*****

            "Ehm, aku setuju dengan rencana itu. Edsa dan pengikutnya memang harus diberi pelajaran. Tapi ingat, aku tidak mau Meiya tahu rencana kita, lebih baik dia jangan terlibat, dia sudah terlalu menderita."

            "Iya... dan sekarang yang terpenting adalah membangun kepercayaan diri Meiya, agar pada saatnya nanti, dia bisa menjadi Julietku."

*****

            Waktu telah menunjukkan pukul delapan belas tepat, satu setengah jam lagi pertunjukkan akan digelar, tapi tepat sepuluh menit kemudian terjadi gonjang-ganjing di belakang panggung, karena sampai saat ini Edsa tidak kunjung tiba dan parahnya baik Pretty, Tammy atau Regina tidak tahu dimana dia.

Semua panik dan kesal, tapi tidak dengan Satura, Tleo maupun Qian, ketiganya hanya tersenyum simpul dan sekali-kali memainkan serangkaian kunci di tangan Qian. Meiya pun ikut-ikutan panik, karena kalau Edsa tidak ada, mau tidak mau dia harus menjadi Juliet. Terbersit sedikit kecurigaan di benak Meiya, dia yakin kalau sahabat-sahabatnya ada di balik kejadian ini.

            "Ayo semuanya berkumpul dulu!" perintah Mas Wendo kepada semua pendukung cerita. "Satu jam lagi pertunjukan akan dimulai, saya sudah tidak tahu lagi kemana akan mencari Edsa. Jadi untuk itu Meiya, terlepas dari ketidaksiapannya, saya mohon untuk kembali menjadi Juliet." pinta Mas Wendo dengan sangat.

            "Tapi Mas..." Meiya semakin panik.

            "Kamu harus mau, karena motto kita adalah... "

            "Apapun yang terjadi, the show must go on!" pekik penuh semangat anak-anak yang berkumpul di belakang panggung.

            Pukul setengah delapan pertunjukan dimulai, panggung menjadi penuh keajaiban, semua penonton terpukau dengan polah laku setiap pemain cerita, terutama Meiya dan Satura. Mereka seolah-olah nyata menjadi Romeo dan Juliet. Sampai cerita berakhir ketika mereka mati dihujam kesalahpahaman.

"Kedamaian yang menyuramkan telah mewarnai pagi ini

matahari sedang berduka, tidak akan menunjukkan dirinya

sebab itu pergilah, untuk mengolah kata atas kesedihan ini

beberapa akan dimaafkan dan yang lainnya akan dihukum

sebab tidak ada cerita yang lebih menyengsarakan

selain tentang Juliet dan Romeo kekasihnya."

            Gemuruh teriak dan sorak sorai mewarnai akhir pertunjukkan itu. Tidak ada seseorang pun yang mengetahui keberadaan Edsa, sampai keesokkan hari seorang satpam menemukannya terkurung lemas di dalam lemari di gudang gedung pertunjukkan itu.

-END-

*) dialog drama dikutip dan diterjemahkan dari novel Romeo and Juliet karangan William Shakespeare

0 Comments

Cerpen: The Most Wanted Girl

11/6/2012

0 Comments

 
Picture
Dimuat di Tabloid Gaul tahun 2003 ^^Lamaaa...

*****

“Puti…eh…kamu… lihat Achiet nggak?” tanya Mike dengan napas naik turun kelelahan.

               Puti yang sedang menyantap bubur ayam di kantin sekolah menggeleng pasti, “Nggak tuh!”

            “Oh…ya udah!” dan Mike berlari lagi seperti dikejar setan.

            Puti cuek aja melihat kelakuan Mike dan kembali melanjutkan sarapannya. Baru satu suap masuk ke dalam mulutnya, tiba-tiba Zya sahabatnya, menepuk keras bahunya.

            “Uhuk…gila ya, nggak lihat aku lagi makan!” dan Puti pun terbatuk-batuk.

            Zya menangkupkan tangannya, “Aduh sori-sori, nggak sengaja. Eh, hari ini ada apa sih? Kok semua anak cowok sepertinya sibuk banget nyariin Achiet.” tanya Zya penasaran.

            “Oh ya? Aku belum sempat masuk kelas sih, cuma tadi barusan si Mike lewat sini dan dia juga tanya dimana Achiet. Memangnya Achiet kenapa ya, belum bayar hutang kali? Kebiasaan.” ujar Puti asal.

            “Iya kali ya.” sahut Zya juga asal sambil menyomot kerupuk di dalam mangkuk bubur Puti, diiringi pelototan mata Puti. “Satu aja… pelit amat sih!” ejek Zya.

            Jam tujuh tepat saat pelajaran hampir dimulai kelas tetap saja ribut. Sekelompok anak cowok berkerumun di belakang sambil sesekali mendengungkan nama Achiet. Puti yang sedang sibuk membersihkan giginya dengan dental flash akhirnya penasaran juga, dan Ia pun menarik tangan Gery yang tepat berdiri di belakangnya. “Eh, ada apaan sih? Kok dari tadi aku dengar nama Achiet disebut-sebut?”

            “Sudah deh nggak usah tanya-tanya. Ini urusan cowok!” seru Gery galak.

            “Uh, payah!” dan Puti pun kembali lagi ke tempat duduknya dengan sebal.

             Lima belas menit kemudian saat pelajaran telah dimulai dan Pak Nawi sang guru geografi telah memapangkan peta di papan tulis. Dari deretan belakang masih terdengar dengungan suara anak-anak cowok yang sibuk kasak-kusuk nggak jelas. Yang jelas terdengar oleh Puti hanyalah sebuah kalimat yang sering diulang-ulang, yaitu: “Achiet kemana sih, kok nggak datang-datang?” 

            Tok…tok…tok…terdengar ketukan pintu dan dibaliknya berdiri Achiet yang basah kuyup oleh keringat, dia hanya cengar-cengir ketika kemudian Pak Nawi berceramah mengenai keterlambatannya. Akhirnya setelah berbasa-basi sekitar lima menit lamanya, Achiet diperbolehkan mengikuti pelajaran.

Pada saat Achiet berjalan menuju kursinya, tiba-tiba sekumpulan anak cowok yang sedari tadi sibuk menggunjingkan gadis itu langsung mendekatinya. Ada yang berusaha membawakan tasnya yang hari ini kebetulan seperti orang pindahan, ada yang menggeserkan kursinya dan beragam jenis perlakuan istimewa lainnya. Achiet pun hanya bingung menatap mereka, tidak biasanya dia diperlakukan begini. Biasanya juga pada cuek bebek, peduli amat Achiet mau ngapain. Seperti bulan lalu saat Achiet nggak bisa turun dari atas pohon mangga di kebun belakang sekolah nggak ada tuh anak cowok yang mau nolongin. Dia harus menunggu setengah jam sampai akhirnya Pak Marwan, satpam sekolah, datang membawakan tangga untuk turun.

“Hei, ini kenapa cowok-cowok pada merubungi Astrid? Memangnya Astrid tukang obat? Cepat kembali ke kursinya masing-masing!” perintah keras Pak Nawi dengan logat Jawanya yang khas.

*****

            Pada jam istirahat, Achiet kembali dihujani jutaan perhatian. Mike sudah membawakan semangkuk bakso, Willy menjinjing seplastik gorengan, Ozha memberikan bungkusan berisi sate ayam, dan masih ada sekitar enam cowok yang berebut menawarkan beragam jenis makanan untuk Achiet. Sementara Gery, the ‘lemot’ one, malah mempersembahkan setangkai bunga mawar untuk Achiet (sama sekali nggak berguna, memang bisa dimakan?)

            “Maksud kalian semua apa sih? Lagi pada ngerjain aku ya? Memangnya sekarang April Mop?” tanya Achiet kebingungan.

            Puti dan Zya yang baru saja masuk ke kelas benar-benar terkejut melihat apa yang sedang terjadi. “Aduh kenapa tukang jualan pada pindah ke kelas sih?” tanya Puti heran.

            “Iya nih! Eh, ada yang bawa bakso, aku minta donk?” pinta Zya pada Mike.

            Mike merengut, “Enak aja, bakso ini hanya kupersembahkan kepada putri Achiet seorang.” ujarnya, dan disambut oleh ejekan dan ekspresi jijik anak-anak yang ada di situ.

            “Ih, semua pada aneh deh! Ayo Zya, Put kita cabut aja!” ajak Achiet, kemudian melangkah keluar kelas diikuti oleh Puti dan Zya. Sementara gerombolan cowok edan itu tetap berusaha mengejar Achiet. Alhasil Achiet jadi bermain kejar-kejaran dengan cowok-cowok itu.

            Puti dan Zya saling berpandangan, “Coba bilang deh sebenarnya kita itu anak kelas dua SMU atau kelas dua SD sih?” tanya Zya bingung.

“Tauk nih. Tingkah laku mereka kayak adegan di film Kuch Kuch Hota Hai aja?” ejek Puti.

            “Terus kita mesti ngapain nih Put?” tanya Zya, ikut-ikutan panik.

“Kita harus menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Aku rasa ada yang nggak beres deh sama cowok-cowok itu, pasti ada udang di balik batu! Kita nggak boleh biarin Achiet dipermainkan seperti itu.” instink detektif Puti mulai berjalan, sementara Zya hanya mengangguk-angguk sambil tetap memandang adegan kejar-kejaran di depannya.

*****

            “Achiet?! Ernest gebetanku juga ikut nembak kamu? Hah?! Nggak mungkin!”

            “Betul kok, Put. Dia cowok yang ke…” Achiet menghitung jari tangannya, “Keempat belas!”

Puti melempar batu kerikil ke dalam kolam, “Aduh, jangan ekstrim begitu donk Chiet!”

“Nggak percaya ya? Dari kemarin malam sampai tadi pagi sudah ada 20 orang yang nembak aku. Sebentar deh, aku aktifin hand phone-ku dulu. Lihat ya, pasti sebentar lagi ada yang nelpon aku.” dan benar saja, tak lama setelah Achiet menghidupkan ponselnya langsung terdengar deringan yang melengking.

“Dari Anton.” bisik Achiet dan dia mendiamkan saja telponnya berdering sampai mati sendiri. “Nah sekarang kamu bisa bantu jelasin nggak apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Achiet makin pusing.

“Maaf Chiet, aku benar-benar nggak tahu kenapa semua anak cowok jadi begitu. Kamu nggak merasa berbuat sesuatu yang memancing mereka untuk suka sama kamu khan?” tanya Puti curiga.

“Memancing? Maksudnya bagaimana nih?” tanya Achiet polos.

Puti menggerak-gerakkan tangannya, “Yah, seperti main pelet atau apalah.”

“Yee, amit-amit deh Put, memangnya aku Nini Pelet apa?! Sumpah, demi dicium Elijah Wood, nggak mungkin aku punya pikiran kayak gitu.” tolak Achiet mentah-mentah.

“Yee sumpah kok minta dicium Elijah Wood? Kalau itu sih aku juga mau. Ya maaf deh, habisnya jalan pikiran kamu suka ajaib sih. Mmm, sekarang aku pulang dulu ya, sudah sore. Kalau perlu aku akan paksa si lemot Gery untuk ngasih tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

*****

            “Eh Puti, habis darimana? Kok jam segini baru pulang?” tanya Mamanya ketika melihat Puti pulang saat menjelang petang.

            “Dari rumah Achiet Ma, biasa diskusi masalah cewek.”

            “Ya tapi ‘kan nggak usah sampai sore-sore begini. Memangnya kamu sudah belajar?”

            Puti mencomot bakwan goreng yang ada di meja makan, “Ah Mama, ‘kan sekarang hari Minggu.”

            “Tapi besok Senin sekolah ‘kan?” Mamanya mengingatkan.

“Iya, nanti deh habis mandi baru belajar.” jawab Puti sambil cengengesan.

            “Eh, Achiet teman kamu itu nama panjangnya Astrid Mirinda khan?” tanya Joey, kakak laki-lakinya yang tiba-tiba ikut nimbrung.

            “Iya, Astrid Mirinda. Memangnya kenapa?” Puti menjadi curiga.

            “Bilang selamat ya ke dia, ditunggu traktirannya.” ujar Joey pendek.

            Puti mengingat-ingat, “Memangnya Achiet lagi ulang tahun?” tanyanya.

            “Ih, makanya kalau ada koran tuh dibaca. Nama sahabatnya terpampang besar-besar di koran kok nggak tahu.” Joey melemparkan selembar koran dan saat itu Puti pun mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

*****

Keesokkan harinya Puti, Zya dan Achiet berkumpul bersama di pojok aula, mereka bersembunyi dari kejaran cowok-cowok sinting yang masih sibuk memuja-muja Achiet.

Puti menyerahkan selembar koran edisi kemarin lusa kepada Achiet, “Baca koran ini baik-baik ya!”

“Buat apa sih? Sudah tahu aku paling malas baca koran.” ujar Achiet.

Zya menunjuk lembaran koran itu, “Tapi kali ini kamu harus baca, Chiet. Karena dalam koran ini ada jawaban kenapa cowok-cowok gila itu pada sibuk deketin kamu.”

            Achiet dengan ogah-ogahan akhirnya membuka lembaran koran tersebut, dan…

PEMENANG UNDIAN BONUS BANK INDONESIA RAYA

WOW 500 JUTA RUPIAH

ASTRID MIRINDA (SMU JAKARTA 3)

            “Hah! Aku menang lima ratus juta? Gila! Ini beneran? Eh, ini namaku kan?” Achiet masih melongo.

            “Iya siapa lagi. Nah sekarang kejawab khan kenapa kamu bisa jadi the most wanted girl.” sahut Zya.

            “Tunggu deh, apa hubungannya aku menang undian sama ulah cowok-cowok itu.”

            “Yah, doi telmi!” ejek Zya.

            “Sudah jelas khan kalau gerombolan cowok itu cuma mau ngejar…”

            Achiet memotong ucapan Puti, “Ngejar duit 500 jutaku!” sadar Achiet. “Uh… dasar cowok-cowok matre!” teriakan Achiet terdengar menggelegar.


0 Comments

Cerpen: Tujuh Belas Agustus-an

11/6/2012

0 Comments

 
Picture
Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Kawanku. Ceritanya cukup lucu bagi saya dan berusaha mengulik rasa kebangsaan. Terinspirasi oleh reaksi teman2 di sekolah yang sangat tidak suka waktu disuruh upacara, padahal menurut saya untuk menumbuhkan rasa kebangsaan, tidak ada salahnya kok kita ikutan upacara, walau memang berpotensi bikin gosong kulit karena kepanasan ;p Yuk mari, dibaca...

*****

Onit memutar-mutar kabel telpon dengan tidak sabar, pasalnya Ata, sohibnya, tidak juga memberikan jawaban atas ajakannya untuk menonton Pagelaran Pentas Seni besok, “Gimana Ta, mau ikut nggak? Ayo kapan lagi kita bisa nonton konsernya Apollo? Ferdi Ta, Ferdi! Lo nggak mau liat tampang imut bassis band Apollo itu?”

“Mau sih, tapi Nit, besok di sekolah ‘kan ada upacara tujuh belasan,” ujar Ata bingung.

“Yee… bolos sekali aja ‘kan nggak apa-apa. Lagian ngapain juga ikut upacara, bikin boring n’ capek aja. Mendingan juga kita nonton pen-si di Lebak Bulus. Gue jamin acaranya pasti jauh lebih seru!” Onit masih sibuk meyakinkan Ata.

“Mmh… gimana ya? Pengin banget sih. Tapi enggak ah, aku takut ketahuan bolos sama Pak Joko, nanti diskors lagi.” Ata khawatir.

“Aduh, kasian deh elo. Pak Kepsek aja ditakutin, mana mungkin sih dia sempat nyebarin buku absen? Ya udah kalau elo nggak mau juga nggak apa-apa. Gue pergi sendiri aja!” sahut Onit ketus.

“Terus tiket yang sudah kamu beliin buat aku gimana?”

“Tenang, tiket elo nggak mubazir kok, masih bisa gue kasih ke Rio, sepupu gue. Dah Ata, selamat berupacara ria. Salam ya buat Pak Joko. Nanti gue ceritain deh bagaimana cakepnya Ferdi. Bye!” goda Onit kemudian menutup gagang telponnya dengan sebal, “Mmh, dasar Ata penakut. Diajakin senang-senang malah milih yang susah, milih ikut upacara tujuh belasan lagi? Tiap tahun ‘kan acaranya cuma gitu-gitu aja, habis upacara pasti ada perlombaan. Balap karung, makan kerupuk; norak banget ah, nggak menarik! He… he… mendingan  nonton pertunjukkannya Apollo, uh Ferdi kamu cakep banget deh. Muah…” Onit menciumi wajah Ferdi, bassis band Apollo, yang terpampang pada poster di dinding kamarnya.

Malamnya Onit tidak bisa terlelap, ia terlalu kegirangan menghadapi hari esok. Bagaimana tidak, Rio, sepupunya, ternyata kenal sama Ferdi cowok idamannya itu. Dan besok rencananya, Onit bakal diajak ke back stage untuk kenalan sama masing-masing personil band Apollo tersebut. Wah berarti besok dia mesti dandan yang keren, ‘kan mau ketemu Ferdi. Selain itu Onit juga nggak mau kehilangan kesempatan untuk ngecengin personil Apollo yang lain seperti: Alex, Chris, dan PeeWee.

“Ih, nggak bisa bayangin mukanya Ata kalau besok lusa gue kasih lihat kumpulan tanda tangan mereka. Lagian siapa suruh diajak nggak mau? Yes!” teriak girang Onit dalam hati sambil memukuli bantalnya, kemudian akhirnya tertidur karena lelahnya.

*****

Onit menerima boneka Teddy Bear yang diberikan Ferdi untuknya, hatinya senang sekali.

“Ini kenang-kenangan untuk fans cantik seperti kamu Nit,” dan Ferdi pun menghadiahi kecupan manis di pipi Onit.

“Ih, tidur kok sambil senyum-senyum sih? Ayo Onit bangun!” teriakan Mama membuyarkan impian Onit.

“Ah, Mama bangunin aja ‘kan mimpinya lagi seru,” Onit kesal, ternyata tadi hanya bermimpi.

“Udah ah jangan merengek-rengek seperti itu. Cepat mandi sana, nanti telat ke sekolah loh!”

Onit mengeluh, “Mama, pagi-pagi kok udah dibangunin sih? ‘Kan sekarang tanggal merah?”

“Iya tapi hari ini tanggal tujuh belas Agustus. Bukannya kamu harus ke sekolah untuk upacara bendera?” tanya Mama.

Onit terkesiap, ia lupa menyiapkan rencana untuk mengelabui Mamanya, “Ah, nggak ada upacara kok, hari ini ‘kan sekolah libur,” Onit berbohong.

“Libur? Biasanya tiap tanggal tujuh belas Agustus ada upacara di sekolah? Mmh, pasti kamu bohong sama Mama deh?”

“Nggak kok!” seru Onit panik, “Tahun ini nggak ada upacara di sekolah. Menurut bapak Kepala Sekolah, anak-anak lebih baik menonton siaran upacara bendera di tv aja. ‘Kan lebih punya makna dan arti Ma, daripada harus upacara di sekolah. Lagipula percuma Ma, di sekolah anak-anak pasti nggak ada yang nyimak jalannya upacara,” yakin Onit.

“Oh ya?” Mama tetap tidak yakin, “Mmh… tapi justru kebetulan kalau begitu, hari ini Mama dan Papa mesti mengurusi perkebunan di Lembang. Mama jadi bisa berangkat pagi-pagi dan punya banyak waktu untuk menyelesaikan masalah di sana karena nggak usah repot-repot nganterin dan jemput kamu di sekolah.”

Onit berseru girang, tidak menyangka rencananya bakal sukses seperti ini, “Ya udah, Mama pergi aja. Have fun ya di sana!”

“Tapi kamu nggak boleh main kemana-mana ya. Kamu harus jaga rumah!” perintah Mama.

“Eng… iya donk Ma! Pasti Onit bakal jaga rumah baik-baik,” sahut Onit nggak yakin.

*****

“Jam berapa sih Apollo-nya bakal main?” tanya Onit pada Rio sambil sesekali melirik arlojinya.

“Ih, nggak sabaran amat sih?! Mereka ‘kan band terkenal, nah yang beken-beken itu biasanya tampil belakangan,” ujar Rio kesal.

“Tapi sekarang ‘kan sudah jam empat sore, mau nunggu mereka sampai jam berapa lagi nih?” Onit semakin gelisah.

“Eh, bisa diam nggak? Nanti kalau elo masih cerewet terus,  nggak gue ajak ke back stage loh!” ancam Rio.

“Hah! Jangan begitu dong, iya deh gue nggak akan cerewet lagi!” janji Onit.

Dan tepat lima belas menit kemudian…

“Sekarang kita saksikan penampilan group band yang paling kita tunggu-tunggu… Apollo!” teriakan pembawa acara membahana diikuti sorak-sorai para penonton di lapangan tersebut. Onit mengguncang-guncang tangan Rio saking senangnya, sementara Rio menatap gadis itu dengan pandangan sebal.

“Good afternoon everybody!” sapa Alex, sang vokalis.

“Loh Rio! Ferdi-nya mana, kok nggak ada?” tanya Onit tiba-tiba.

“Oh iya ya, tuh posisi bassis-nya digantiin sama Jerry, personilnya Acapulco,” jelas Rio.

Kemudian Alex, vokalis band tersebut memberi penjelasan, “Maaf teman-teman, Ferdi nggak bisa tampil karena saat ini dia sedang ada urusan penting di tempat lain. Dan Jerry untuk sementara menggantikan posisi Ferdi. Ayo kita kasih tepuk tangan untuk Jerry!” penonton pun bersorak-sorai.

Dan Onit yang kecewa akhirnya pergi meninggalkan tempat itu diikuti Rio yang berlari-lari mengejarnya.

*****

“Halo Onit ya? Bagaimana pertunjukannya, seru nggak?” tanya Ata.

“Udah jangan tanya-tanya. Gue lagi dihukum disuruh jahit bantal yang bolong-bolong nih.”

“Wah ketahuan kabur dari rumah ya?” goda Ata, “Eh, terus gimana penampilannya Apollo? Ferdinya cakep?” tanya Ata sambil cekikikan.

“Sebel!” pekikan Onit membahana di sepanjang kabel telepon, “Elo tahu ‘kan kalau gue cuma mau ketemu Ferdi, eh dia malahan gak bisa tampil. Pakai alasan ada urusan penting segala-lah, payah!”

“Oh begitu. Aku tahu kok Ferdi ada urusan penting dimana,” sahut Ata genit.

Onit memperbaiki posisi gagang teleponnya, “Memangnya dia ada di mana?” tanyanya penasaran.

“Ada di sekolah!”

“Di sekolah? Maksudnya?”

“Begini nih, setelah upacara dan acara lomba selesai. Pak Joko buat kejutan sama kita dengan mendatangkan Ferdi, bassisnya Apollo itu, untuk menghibur kita. Tahu ‘kan kalau Ferdi alumnus SMU kita. Nah dia nyanyi bareng anak-anak paduan suara, termasuk aku. Uh, ternyata dia jago nyanyi juga loh. Mestinya kamu nggak bolos upacara Nit, rugi banget deh.”

Onit tercengang, “Jadi…si Ferdi tadi ke sekolah? Ah, sebel-sebel!” sesal Onit.

Ata ketawa, “Iya Nit, duh kamu bener loh. Dari jarak yang bisa diukur pakai penggaris 30 sentian, si Ferdi benar-benar kelihatan cakep banget deh! Aku jadi makin naksir sama tuh orang. Oh iya buat menghibur kamu, besok aku bawain foto-fotonya ya!”

Onit mingkem. Dia mogok ngomong.

“Oh iya Nit, ada pesan dari Ibu Ambar nih. Besok pagi kamu disuruh menghadap Pak Joko, karena tadi cuma kamu satu-satunya anak yang nggak masuk sekolah,” lapor Ata.

Onit jadi ketakutan setengah mati, “Ha! Aduh mati gue, kalau gue ketahuan bolos bisa diskors donk.”

“Yah semoga nggak deh. Eh, Nit...”

“Aduh… apaan lagi sih?”

Ata ketawa ngakak, “Emang enak nggak ketemu sama Yayang Ferdy? Huehehe…kacian deh elo!” Ata makin ngakak sambil diiringi sumpah serapah Onit.

-END-

 


0 Comments
<<Previous

    Description

    Semua cerita pendek yang pernah kutulis. Beberapa pernah dimuat di majalah. Sementara cerita '100 Kata Saja' merupakan tulisan pendek persis 100 kata.

    Archives

    August 2014
    July 2014
    June 2012

    Categories

    All
    17 Agustusan
    Catatan Sabrina
    Cerpen
    Cinta Na Ringgo
    Kala Dunia Tak Lagi Peduli
    Kehidupan Dalam Sandiwara
    Keliru
    Kita Semua Sama
    Ksatria Dari Langit
    Masih Ada Harapan Utk Anya
    Ojek Payung
    Pandan
    Pelangi Di Istana Versailes
    Pengemis & Anak Politisi
    Puteri Hujan
    The Most Wanted Girl

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.