Cerpen ini termasuk generasi awal penulisan saya. Lebih dan kurang mohon dimaklumi, masih junior banget waktu itu. Ceritanya pun simple & endingnya mudah ditebak, tapi gak ada salahnya kok disimak. Paling tidak (miudah-mudahan) bisa membuat pembacanya tersenyum.
*****
“Uuh…aduh…aduh banyak banget sih semutnya!”
“Eh, Kak Andien ngapain sih naik-naik pohon? Ayo mau ngintip siapa?” tanya Rara ketika dilihat kakaknya Andien memanjat pohon rambutan di belakang rumahnya.
“Psst… diem donk, aku lagi ngeliat tetangga baru kita, udah kamu masuk sana!” perintah Andien.
“Uh dasar.” sahut Rara sambil melenggang masuk.
“Wah…kolam renangnya luas banget, jadi kepingin berenang.” kagum Andien dalam hati.
Dan dari dalam rumah itu keluar seorang gadis kira-kira seumur Rara, melangkah menuju pinggir kolam renang yang masih belum diisi air.
“Kak Dion sini donk temenin Bella!” teriak gadis itu tiba-tiba.
“Ada apa sih?” tanya kakak gadis itu seraya melangkah ke arahnya.
“Gila kakaknya cakep banget, mirip Nicky-nya Westlife deh!” sahut Andien dalam hati melihat kakak gadis itu keluar dari rumahnya. Namun tampaknya semut-semut di pohon rambutan itu tidak senang melihat Andien seenaknya menginjak-injak rumah mereka lalu seekor semut merayap di kaki Andien dan dengan senang hati menggigit kakinya. “Auw…!” teriak Andien.
“Siapa tuh?” sahut si gadis dan kakaknya bersamaan.
“Ah, ketahuan…” sahut Andien lalu perlahan-lahan turun, tak disangka ranting yang ia injak patah dan dengan sukses tubuhnya meluncur tak terkendali.
“Aah…(bruk), aduh!” teriak Andien.
“Andien, aduh kenapa lagi kamu?” teriak Mama dari dapur kemudian menghampiri Andien.
“Aduh…kakiku sakit!” keluh Andien.
Dan dari rumah sebelah terdengar tawa gadis itu dan kakaknya, menertawakan Andien.
“Ra, tolongin kakak kamu nih!” pinta Mama sambil berusaha menuntun Andien yang jalan tertatih-tatih.
“Kenapa lagi sih, Kak?” ejek Rara seraya mengangkat tubuh kakaknya.
“Diem deh, Ra! Berisik!” balas Andien kesal.
“Udah, sini cepet diobatin.” perintah Mama panik.
“Nggak usah panik donk Ma. Nyawa Andien khan ada sembilan kayak kucing. Hilang satu masih ada delapan kok!”
“Iya Kak, cuma masalahnya nyawa kakak udah sering terancam, mungkin sekarang nyawanya tinggal dua!” ejek Rara.
“Sialan…!” teriak Andien sambil melempar bantal ke arah Rara. Tapi karena itu kakinya yang luka malah tertekuk dan… “Aduh…sakit!” pekik gadis itu.
*****
“Eh, Ra! Tetangga baru itu nama anaknya siapa sih?” tanya Andien dari atas tempat tidurnya.
“Pak Soemitro!” sahut Rara asal sambil tetap meneruskan gambarnya.
“Yee, semprul! Yang aku tanyain anaknya!” bentak Andien.
“Idiih galak banget, nggak aku kerjain loh PR-nya!” ancam Rara.
“Aduh, kakiku kan lagi sakit Ra. Selesain gambarnya ya.” pinta Andien lembut.
“Tapi ngomong-ngomong ngapain kakak nanyain tetangga sebelah sih? Ayo ada apa?” tanya Rara.
“Ah enggak. Ra, kamu mau aku traktir crepes nggak?” tawar Andien.
Rara mengernyitkan keningnya, “Ayo ngapain baik-baikin Rara? Pasti mau minta sesuatu!”
“Tolong kamu cari info tentang keluarga itu sebanyak-banyaknya.” tutur Andien, sementara Rara semakin heran dan tak mengerti.
Andien menjelaskan maksudnya, “Aku mau ngerjain anak-anak sebelah, habisnya waktu aku jatuh dari pohon mereka ketawa-in aku. Nyebelin banget khan!”
“Oh ya? Bohong! Kakak khan orangnya cuek, nggak mungkin masalah kecil kayak gitu aja dipikirin.”
“Iya, tapi gini loh aku pengin…”
“Pengin kenalan sama cowok-cowok sebelah khan? Idiih udah mulai genit deh?” goda Rara.
“Jangan mikir macam-macam deh. Mau nolongin nggak!” tanya Andien dengan nada mengancam.
“Iya ampun! Besok deh aku mulai investigasinya. Sekarang udah malam aku tidur dulu yee!” ujar Rara sambil melangkah keluar menuju kamarnya.
“Loh, Ra? PR-nya belum selesai, gimana sih?”
“Udah, kerjain aja sendiri!” sahut Rara dan segera menutup pintu kamar Andien sebelum sandal kakaknya mendarat di wajahnya.
*****
“Eh, Mama bikin cake ya? Mau donk…” seru Rara.
“Eh, udah pulang. Ra nanti tolong kasih cake yang sudah jadi itu ke tetangga baru kita ya! Nanti malam di sana ada selamatan rumah baru.” perintah Mama seraya sibuk mengoleskan mentega ke loyang.
“Yah Mama! Aku khan baru pulang sekolah, kenapa nggak Kak Andien, dia khan sudah pulang dari tadi.” mohon Rara.
“Si Andien lagi Mama suruh beresin kamarnya. Tahu khan kamarnya seberantakan apa. Lagian kalau dia yang pergi, nggak bakal pulang-pulang, main terus!”
“Mmh, ya udah. Rara ganti baju dulu ya.” sahut Rara lalu menaiki tangga menuju kamarnya. Tapi langkahnya terhenti ketika melewati kamar Andien. Pasalnya tak ada suara terdengar dari kamar itu, tak ada tanda-tanda ada penghuninya. Jangan-jangan…
“Kak Andien?” panggil Rara sambil membuka pintu kamar Andien. Memang benar kata Mama kamarnya benar-benar berantakan, namun yang paling parah Andien sama sekali tak ada di kamar itu. Seutas tali tambang menjuntai dari jendela kamarnya. “Mama!!” teriak Rara.
*****
“Pokoknya malam ini kamu tetap di kamar, nggak boleh keluar!” perintah Mama. Padahal nanti malam rencananya akan diadakan pesta selamatan rumah baru keluarga Soemitro, tetangga baru itu.
“Aduh Ma. Hukumannya ditunda besok aja deh, Andien khan mau ikut pesta.” pinta Andien seraya memasang wajah memelas.
“Enggak! Salah sendiri, siapa suruh bohongin Mama! Udah masuk kamar sana, belajar! Biar mama kunci kamarnya” tegas Mama yang membuat Andien terpaksa diam.
Ya sudah, malam yang indah ini terpaksa dihabiskan Andien di kamarnya. Dan untuk mencegah hal-hal yang mungkin terjadi Mama mengumpulkan semua barang-barang di kamar Andien yang sekiranya dapat digunakan untuk “escape from the room” begitu istilah yang dibuat Rara. Tapi maaf saja, bukan Andien namanya kalau harus menyerah pada nasib. Setelah tidak sukses membujuk mamanya, ia pun mulai melancarkan aksinya dengan membujuk bik Inah, pembantunya.
“Bik, bik Inah, tolong bukain pintu kamarku donk.” teriak Andien memanggil pembantunya.
“Nggak Non, nanti bibik dimarahin ibu. Udah…non di kamar aja, belajar, biar pinter. Sekarang bibik mau nonton sinetron dulu ya, lagi seru nih.”
“Yah, sialan…” umpat Andien dalam hati. Dengan segera otaknya berputar, memikirkan cara keluar dari kamar dan…
“Aha…” dengan segera Andien menarik seprai tempat tidurnya, melepas dan menyambungkannya dengan selimut sehingga cukup panjang dan kuat untuk menopang tubuhnya. Boleh kan memakai cara yang sama untuk keluar dari kamar toh alatnya berbeda.
Dengan perlahan Andien meluncur turun dari jendela kamarnya. (Bruk…) kakinya menapak tanah dengan selamat. Hatinya lega tapi kesulitan masih menghadangnya karena pagar samping juga digembok.
“Sialan, digembok! Terpaksa manjat pagar deh!” ujarnya malas.
Pagar samping rumah Andien kalau dipanjat sedikit akan langsung berhubungan dengan dinding rumah sebelah, terus tinggal manjat tembok dikit akan ketemu pohon besar yang tinggal dipanjat dikit akan sampai ke rumah sebelah. Tapi kalau ditotal sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit ya. Tapi Andien nggak nyerah kok, dengan perlahan dipanjatnya halangan itu satu-satu.
“Uuh…aduh pohon ini kok licin banget sih…ah…aaah…(bruk..) adauw!” teriak Andien. Malang sekali nasibnya, kakinya terpeleset dahan pohon yang licin dan akhirnya harus rela terjatuh. Heran, senang sekali Andien jatuh dari pohon. Tapi rupanya kecelakaan itu tak hanya merugikan Andien namun juga merugikan orang lain, karena Andien jatuh tepat di atas punggung seseorang yang sedang sial berada di bawah pohon itu.
Andien buru-buru bangun lalu menolong orang itu. “Aduuh…kamu nggak apa-apa?” tanya Andien.
“Sialan tadi malam mimpi apa sih sampe kejatuhan musibah dari langit. Gilaa…sakit banget, eh kamu siapa? Maling ya?” tanya orang itu, tepatnya cowok itu.
“Enak aja nuduh orang maling!” seru Andien agak kasar.
“Habisnya apaaan? Setan?” pekik cowok itu.
“Kak Andien, ngapain disini?” Rara berlari menuju mereka.
“Eh dik, ini kakaknya ya? Mendingan cepat dikurung deh sebelum nyelakain orang lagi.” pinta lelaki yang kalau ditilik masih seusia Andien.
“Aduh maafin deh Kak…?” tanya Rara.
“Remi!” potong lelaki tersebut.
“Idiih nama kok kayak tokoh film kartun gitu!”ejek Andien.
“Biarin sirik!” teriak Remi. “Eng… nama kamu siapa?” tanya Remi lembut kepada Rara
. “Andien.” sahut Andien pendek.
“Bukan kamu, geer!” sahut Remi.
“Oh saya? Nama saya Rara!”
Keributan yang ditimbulkan Andien nampaknya cukup mengganggu, buktinya seluruh tamu yang ada di dalam rumah itu ikut keluar dan termasuk orangtua Andien, yang langsung menyeret Andien pulang. Akibat ulahnya itu selama semingggu Andien tidak boleh keluar dari rumahnya.
*****
Seminggu kemudian di suatu sore yang indah Andien sedang mencoba stick baseball di sebuah toko olahraga besar disebuah plaza. Dia mengankat salah satu stick, mengayunkannya dan (Bug...) tongkat tersebut dengan pasrah mengenai pundak seseorang.
“Aduuh…sakit…!” teriak orang tersebut.
“Ups… kamu nggak apa-apa khan. Ada yang luka ah…eh…Remi?” tanya Andien, semakin khawatir.
“Hah…Andien lagi? Kenapa sih kalau ketemu kamu aku selalu dapat sial?” pekik Remi.
“Remi maaf donk, aku khan nggak sengaja!” mohon Andien.
“Ya, tapi kamu benar-benar keterlaluan. Aku laporin ortu kamu loh!” ancam Remi.
“Hah, Remi jangan donk! Hukumanku aja baru selesai! Kamu nggak kasihan sama aku?” sahut Andien.
“Bodo amat, biar sekalian aja kamu dihukum nggak boleh keluar dari rumah selamanya. Biar dunia jadi lebih aman!” tutur Remi sambil memegangi pundaknya yang memar.
“Please donk, Rem.”
“Rem, rem… memangnya rem mobil?” potong Remi.
“Iya deh Remi. Maaf ya, gimana kalau aku traktir minum, kayaknya kamu haus deh abis marah-marah.” tawar Andien. “Yuk!” Andien menarik tangan Remi menuju ke sebuah resto kecil di seberang toko olahraga…
Andien menarik sebuah kursi lalu langsung memesan es teler, sementara Remi masih terus menggerutu.
“Buat apa sih kamu beli tongkat softball, Ndien?” tanya Remi kesal.
“Hmm…buat ngulek!” seru Andien cuek.
“Kamu emangnya bisa main softball?” ejek Remi.
“Hmm…nggak percaya?” sahut Andien.
“Heh, non…memangnya kamu ikut klub mana? Oh iya…mana ada klub yang mau terima kamu?”
“Benar begitu? Kok Pink Warriors mau terima aku ya?” tanya Andien penuh kebanggaan.
“Pink Warriors ah…bohong, kalau iya berarti kamu… Andien yang sering dibilang pitcher terbaik di Indonesia?” ujar Remi tak percaya.
“Ah, kamu bisa aja! Jadi “tersanjung 6” nih!” pipi Andien memerah.
“Aduh…salah ngomong!” sahut Remi.
“Kagum nggak dilarang kok?” ejek Andien.
“Nggak la ya? Sudah deh lupain yang tadi, aku mau tanya… ehm adik kamu udah punya pacar belum?”
“Cieeh…suka sama adikku ya?” seru Andien begitu keras sehingga semua tamu di restoran itu memandang mereka.
“Psst…berisik banget sih!” umpat Remi. “Eh sebenarnya kamu juga suka sama Dion, kakakku khan?”
“Eh, enak aja. Gosip murahan darimana tuh?” sangkal Andien.
“Ah, jangan pura-pura, aku udah tahu segalanya. Ngaku aja deh!”
“Kalau iya memang kenapa?” pekik Andien sebal.
“Enggak kok, aku cuma mau nawarin kerja sama. Bagaimana kalau kamu nyomblangin aku sama Rara, nanti aku comblangin kamu sama Dion, mumpung dia belum punya pacar. Gimana?” tanya Remi.
“Ehm…boleh juga.” seru Andien.
*****
“Kak, nanti sore anterin ke pameran lukisan ya!?” pinta Rara pada suatu siang.
“Idiih ngajak kok ke acara gituan, males ah!” seru Andien sebal.
“Kakak nggak ngerti karya seni berkelas sih!” bentak Rara.
Tiba-tiba Andien berteriak, “Bagaimana kalau dianterin Remi?”
“Remi, tetangga sebelah?” tanya Rara heran.
“Siapa lagi?” Andien mengangkat gagang telpon lalu menekan sederet nomor dan…“Hallo, selamat siang. Remi ya?” tanya Andien, “Ini Andien, Rara minta ditemenin ke pameran lukisan nanti sore. Bisa nggak?”
“Hah pameran lukisan? Aduh aku khan nggak ngerti lukisan!” seru Remi.
“Loh katanya suka sama Rara.” bisik Andien. “Mesti mau berkorban donk!”
“Ya udah. Oh iya Dion butuh kamu untuk bantuin dia ngelatih tim putri fakultasnya yang mau ikut kompetisi softball. Mau nggak, khan lumayan sekalian pedekate. Nanti sore Dion bakal jemput kamu.”
“Ngelatih ya?” tanya Andien sedikit khawatir. “Mmmh oke deh boleh juga, bye!” tutup Andien.
Rara masih bingung menatap kakaknya, “Udah, nanti sore Remi akan nganterin kamu!” seru Andien.
Sore hari Remi sudah siap menunggu di ruang tamu rumah Rara yang luas dan sejuk dengan dandanannya yang rapi jali. Dari dalam terdengar alunan piano yang lembut, indah dan begitu memukau.
“Eh, kak Remi sudah datang! Yuk pergi!” ajak Rara begitu turun dari kamarnya.
“Yang main piano siapa Ra? Bagus banget, Mama kamu?” tanya Remi heran.
“Mama-ku? Bukan, yang main piano tuh si Andien!” seru Rara.
“Hah, dia bisa main piano? Jari-jarinya aja segede paralon!” umpat Remi tak percaya.
“Eh, merhatiin aja kalau jarinya segede paralon! Perhatian nih yee!” seru Rara.
“Udah ah. Ayo deh pergi!” ajak Remi.
Akhirnya sore itu Remi berhasil mengajak Rara pergi berbekal mobil pinjaman Dion, kakaknya. Namun suasana di dalam mobil menjadi agak kurang menyenangkan karena, yah… entah disengaja atau tidak Rara selalu membicarakan tentang Andien, tentang kegiatannya, tentang hobinya dan lain-lain yang membuat Remi dongkol.
*****
Kegembiraan sore itu ternyata tidak hanya dialami oleh Remi saja karena tak lama setelah Remi dan Rara pergi, Dion datang dan mengajak Andien untuk melatih team softball di Senayan.
“Terima kasih ya mau bantuin aku. Kalau anggota Pink Warriors yang ngelatih, fakultasku pasti menang deh!” ujar Dion yakin.
“Kak Dion bisa aja deh.” Andien tersipu malu.
“Oh, iya gimana kabarnya si imut Rara, masih suka ngintip-ngintip rumahku?” tanya Dion, membuat Andien menjadi khawatir, pasalnya dia yang menyuruh Rara memata-matai rumah sebelah.
Andien tersenyum pahit, “Biasa, bandel sih!”
“Eh, ngomong-ngomong hubungannya sama Remi sudah sampai taraf mana?” tanya Dion kemudian.
“Remi? Ih, gosip darimana tuh, lagipula mana sudi aku deket-deket sama Remi.” seru Andien kesal.
“Cup…cup…cup…kalau nggak benar nggak apa-apa, malah justru bagus!” sahut Dion.
“Kenapa bagus?” tanya Andien heran.
“Mmh…udah nggak ada apa-apa. Lihat tuh teman-temanku sudah datang!” sahut Dion berusaha mengalihkan pembicaraan.
*****
Kebahagiaan nampaknya sedang menaungi kedua pasangan ini. Remi semakin dekat dengan Rara dan sebaliknya Andien makin dekat dengan Dion. Apalagi setelah Andien berhasil menyumbangkan nilai yang besar bagi kemenangan fakultas Dion di Kompetisi Olahraga. Dan karena itu Dion sering mengajak Andien ke acara-acara seru di kampusnya.
“Remi, kayaknya sebentar lagi aku jadi calon pacar kakak kamu nih!” sahut Andien ketika sore itu ia mampir ke rumah Remi.
“Hah, apaan? Udah hampir jadian?! Hancur dunia!” teriak Remi sambil menepuk dahinya.
“Eh, jangan macem-macem ya! Nanti aku bilang ke Rara segala keburukan kamu, biar dia nggak mau deket-deket kamu lagi. Berani!” ancam Andien.
“Wah, ngancem nih? Ampun deh! Oh, iya mumpung kamu ada di sini, tolong kasi’ undangan ulang tahunnya Bella, adikku, ke Rara ya!” seru Remi.
“Oh ya, asyik makan gratis!” seru Andien.
“Sorry ya, cuma buat Rara!” potong Remi.
“Hei, nggak lihat tulisan ini…Dear: Mbak Andien dan Rara. Siapa yang nulis, heh?!” teriak Andien.
“Kalaupun kamu datang. Satpam-satpam hotel pasti akan ngusir kamu dengan senang hati!” sahut Remi.
“Sok tahu banget deh!” ujar Andien.
“Ya udah pulang sana, malas ngelihat muka jelek kamu!” seru Remi kesal.
“Kayak sendirinya cakep aja. Ya sudah aku pulang, da Remi…!” seru Andien.
“’Ndien, pintu pagarnya nggak dikunci loh!” seru Remi datar ketika dilihatnya gadis itu bersiap-siap memanjat pohon sial itu.
“Nggak apa-apa kok lebih enak manjat pohon, kalau lewat pagar jauh. He…he…bye!” teriak Andien dari atas pohon, sedangkan Remi hanya memandang gadis aneh itu dari bawah pohon dengan heran.
*****
Hari ini hari Sabtu, hari ulang tahun Bella, adik Dion dan Remi. Karena merasa hari ini sungguh spesial, Andien sengaja membeli sebuah gaun berwarna biru muda yang menurut Andien indah sekali. “Aduh…gimana ya caranya pakai make up? Udah capek-capek nyolong punya Rara nggak bisa pakainya!” keluh Andien.
Tiba-tiba pintu kamarnya terkuak, seseorang mengintip ke dalam dan berteriak, “Kak Andien, lagi ngapain? Gila, cantik banget nggak nyangka bisa kelihatan sefeminin ini. Tapi…heh ini khan alat-alat make up-ku, pantes hilang! Tapi kakak bener-bener keren abis, Rara pikir…”
“Eh, nyet. Bisa diem nggak sih, cerewet banget! Tapi apa bener aku kelihatan cantik?” seru Andien. “Yah, geer deh! Mmh…kakak dandan secakep ini ke pesta ultahnya Bella karena pengin cari perhatian si cowok itu khan!” seru Rara sambil pasrah menatap make up miliknya yang sukses diluluh lantahkan Andien. “Hah, kamu tahu dari mana Ra? Perasaan, aku nggak bilang-bilang deh!” tanya Andien. Sementara Rara hanya mengedipkan sebelah matanya.
Sayangnya apa yang dipikirkan kedua manusia tersebut tidaklah sama alias sama sekali nggak nyambung! Menurut Rara, Andien sedang mencari perhatian Remi. Padahal yang ada dipikiran Andien adalah Dion. Ah, bingung!
*****
Andien masih celingak-celinguk kebingungan di tengah pesta yang ramai sebelum dia mengenali seseorang ber-jas biru donker diseberangnya.
“Hei Remi!” Andien menepuk pundak cowok itu.
“Andien!” seru Remi terkejut.
“Hallo, eh kakak kamu dimana?” tanya Andien pada Remi yang sedang ternganga menatapnya.
“Ehm…dia lagi jemput temennya. Kamu habis kesamber petir di mana sih?” tanya Remi heran.
“Secantik ini kok dibilang habis kesamber petir. Gimana sih?”
“Tauk ah. Oh iya Rara mana?” tanya Remi penuh harap.
“Mana ya, oh itu dia! Rara!” panggil Andien.
Rara menghampiri mereka berdua “Ciee, berdua aja! Oh iya aku mau kenalin…Vino, sini donk!” seru Rara memanggil seseorang cowok keren yang segera bergegas menemui mereka.
“Dia Vino, pacar Rara.” bisik Rara pada dua makhluk di depannya, “Ini Andien sama temannya, Remi.”
“Hai!” seru Andien dan Remi lirih.
Namun bencana semakin bertambah ketika Dion datang menggandeng seorang gadis yang cantik sekali.
“Eh kok ngumpul di sini semua sih? Oh iya, ini Fiona, cewekku yang baru.” seru Dion pendek.
Andien dan Remi sama-sama terdiam lagi, lalu keduanya berjalan beriringan meninggalkan kedua pasangan itu, menuju balkon ballroom hotel.
“Mereka sebenarnya saling suka loh!” seru Dion menunjuk ke arah Andien dan Remi.
“Cuma gengsi aja buat ngaku!” sahut Rara menyambut perkataan Dion.
Di balkon hotel dua makhluk ini berkeluh kesah, “Kok nggak pernah bilang kalau Dion udah punya pacar sih!” seru Andien kesal.
“Mana ku tahu. Lagipula kamu juga nggak pernah bilang kalau Rara juga udah punya pacar!”
“Sialan, jadi selama ini aku keliru mengartikan perhatian Dion. Sebeel!” isak Andien, air matanya tanpa disadari perlahan-lahan turun.
“Kamu pikir kamu aja yang salah. Aku juga!” sahut Remi sambil meninju pilar balkon itu.
“Hik…hik…terus gimana donk?” tanya Andien, menjatuhkan diri ke atas kursi yang ada di situ.
“Nggak tahu deh. Loh kamu nangis? Kamu bisa nangis juga ya?” tanya Remi tak percaya.
“Iya yah, aku hik… nggak sadar. Aku juga lupa hik…kapan terakhir aku nangis hik… mungkin waktu lahir kali.” seru Andien dan disambut tawa oleh Remi.
“Ha…ha…ha…ehm…’Ndien kamu cantik deh dandan kayak begitu!” seru Remi.
“Kamu juga beda dari biasanya, lebih cakep…” balas Andien malu-malu. Dan akhirnya mereka berdua tertawa bersama, senang sekali.
Dari dalam ruangan terdengar alunan “How Can I Not Love You”-nya Joy Enriques yang mengalun lembut mengajak semuanya untuk berdansa.
“’Ndien, kamu mau dansa?” tanya Remi.
“Ayo!” Lalu dengan perlahan disambutnya tangan Remi yang telah terulur dan mereka sama-sama berdansa, tapi…
“Aduh…Andien jangan nginjek kakiku donk!” seru Remi.
“Sorry deh. Aku khan nggak bisa dansa!” sesal Andien.
Selesai
*****
“Uuh…aduh…aduh banyak banget sih semutnya!”
“Eh, Kak Andien ngapain sih naik-naik pohon? Ayo mau ngintip siapa?” tanya Rara ketika dilihat kakaknya Andien memanjat pohon rambutan di belakang rumahnya.
“Psst… diem donk, aku lagi ngeliat tetangga baru kita, udah kamu masuk sana!” perintah Andien.
“Uh dasar.” sahut Rara sambil melenggang masuk.
“Wah…kolam renangnya luas banget, jadi kepingin berenang.” kagum Andien dalam hati.
Dan dari dalam rumah itu keluar seorang gadis kira-kira seumur Rara, melangkah menuju pinggir kolam renang yang masih belum diisi air.
“Kak Dion sini donk temenin Bella!” teriak gadis itu tiba-tiba.
“Ada apa sih?” tanya kakak gadis itu seraya melangkah ke arahnya.
“Gila kakaknya cakep banget, mirip Nicky-nya Westlife deh!” sahut Andien dalam hati melihat kakak gadis itu keluar dari rumahnya. Namun tampaknya semut-semut di pohon rambutan itu tidak senang melihat Andien seenaknya menginjak-injak rumah mereka lalu seekor semut merayap di kaki Andien dan dengan senang hati menggigit kakinya. “Auw…!” teriak Andien.
“Siapa tuh?” sahut si gadis dan kakaknya bersamaan.
“Ah, ketahuan…” sahut Andien lalu perlahan-lahan turun, tak disangka ranting yang ia injak patah dan dengan sukses tubuhnya meluncur tak terkendali.
“Aah…(bruk), aduh!” teriak Andien.
“Andien, aduh kenapa lagi kamu?” teriak Mama dari dapur kemudian menghampiri Andien.
“Aduh…kakiku sakit!” keluh Andien.
Dan dari rumah sebelah terdengar tawa gadis itu dan kakaknya, menertawakan Andien.
“Ra, tolongin kakak kamu nih!” pinta Mama sambil berusaha menuntun Andien yang jalan tertatih-tatih.
“Kenapa lagi sih, Kak?” ejek Rara seraya mengangkat tubuh kakaknya.
“Diem deh, Ra! Berisik!” balas Andien kesal.
“Udah, sini cepet diobatin.” perintah Mama panik.
“Nggak usah panik donk Ma. Nyawa Andien khan ada sembilan kayak kucing. Hilang satu masih ada delapan kok!”
“Iya Kak, cuma masalahnya nyawa kakak udah sering terancam, mungkin sekarang nyawanya tinggal dua!” ejek Rara.
“Sialan…!” teriak Andien sambil melempar bantal ke arah Rara. Tapi karena itu kakinya yang luka malah tertekuk dan… “Aduh…sakit!” pekik gadis itu.
*****
“Eh, Ra! Tetangga baru itu nama anaknya siapa sih?” tanya Andien dari atas tempat tidurnya.
“Pak Soemitro!” sahut Rara asal sambil tetap meneruskan gambarnya.
“Yee, semprul! Yang aku tanyain anaknya!” bentak Andien.
“Idiih galak banget, nggak aku kerjain loh PR-nya!” ancam Rara.
“Aduh, kakiku kan lagi sakit Ra. Selesain gambarnya ya.” pinta Andien lembut.
“Tapi ngomong-ngomong ngapain kakak nanyain tetangga sebelah sih? Ayo ada apa?” tanya Rara.
“Ah enggak. Ra, kamu mau aku traktir crepes nggak?” tawar Andien.
Rara mengernyitkan keningnya, “Ayo ngapain baik-baikin Rara? Pasti mau minta sesuatu!”
“Tolong kamu cari info tentang keluarga itu sebanyak-banyaknya.” tutur Andien, sementara Rara semakin heran dan tak mengerti.
Andien menjelaskan maksudnya, “Aku mau ngerjain anak-anak sebelah, habisnya waktu aku jatuh dari pohon mereka ketawa-in aku. Nyebelin banget khan!”
“Oh ya? Bohong! Kakak khan orangnya cuek, nggak mungkin masalah kecil kayak gitu aja dipikirin.”
“Iya, tapi gini loh aku pengin…”
“Pengin kenalan sama cowok-cowok sebelah khan? Idiih udah mulai genit deh?” goda Rara.
“Jangan mikir macam-macam deh. Mau nolongin nggak!” tanya Andien dengan nada mengancam.
“Iya ampun! Besok deh aku mulai investigasinya. Sekarang udah malam aku tidur dulu yee!” ujar Rara sambil melangkah keluar menuju kamarnya.
“Loh, Ra? PR-nya belum selesai, gimana sih?”
“Udah, kerjain aja sendiri!” sahut Rara dan segera menutup pintu kamar Andien sebelum sandal kakaknya mendarat di wajahnya.
*****
“Eh, Mama bikin cake ya? Mau donk…” seru Rara.
“Eh, udah pulang. Ra nanti tolong kasih cake yang sudah jadi itu ke tetangga baru kita ya! Nanti malam di sana ada selamatan rumah baru.” perintah Mama seraya sibuk mengoleskan mentega ke loyang.
“Yah Mama! Aku khan baru pulang sekolah, kenapa nggak Kak Andien, dia khan sudah pulang dari tadi.” mohon Rara.
“Si Andien lagi Mama suruh beresin kamarnya. Tahu khan kamarnya seberantakan apa. Lagian kalau dia yang pergi, nggak bakal pulang-pulang, main terus!”
“Mmh, ya udah. Rara ganti baju dulu ya.” sahut Rara lalu menaiki tangga menuju kamarnya. Tapi langkahnya terhenti ketika melewati kamar Andien. Pasalnya tak ada suara terdengar dari kamar itu, tak ada tanda-tanda ada penghuninya. Jangan-jangan…
“Kak Andien?” panggil Rara sambil membuka pintu kamar Andien. Memang benar kata Mama kamarnya benar-benar berantakan, namun yang paling parah Andien sama sekali tak ada di kamar itu. Seutas tali tambang menjuntai dari jendela kamarnya. “Mama!!” teriak Rara.
*****
“Pokoknya malam ini kamu tetap di kamar, nggak boleh keluar!” perintah Mama. Padahal nanti malam rencananya akan diadakan pesta selamatan rumah baru keluarga Soemitro, tetangga baru itu.
“Aduh Ma. Hukumannya ditunda besok aja deh, Andien khan mau ikut pesta.” pinta Andien seraya memasang wajah memelas.
“Enggak! Salah sendiri, siapa suruh bohongin Mama! Udah masuk kamar sana, belajar! Biar mama kunci kamarnya” tegas Mama yang membuat Andien terpaksa diam.
Ya sudah, malam yang indah ini terpaksa dihabiskan Andien di kamarnya. Dan untuk mencegah hal-hal yang mungkin terjadi Mama mengumpulkan semua barang-barang di kamar Andien yang sekiranya dapat digunakan untuk “escape from the room” begitu istilah yang dibuat Rara. Tapi maaf saja, bukan Andien namanya kalau harus menyerah pada nasib. Setelah tidak sukses membujuk mamanya, ia pun mulai melancarkan aksinya dengan membujuk bik Inah, pembantunya.
“Bik, bik Inah, tolong bukain pintu kamarku donk.” teriak Andien memanggil pembantunya.
“Nggak Non, nanti bibik dimarahin ibu. Udah…non di kamar aja, belajar, biar pinter. Sekarang bibik mau nonton sinetron dulu ya, lagi seru nih.”
“Yah, sialan…” umpat Andien dalam hati. Dengan segera otaknya berputar, memikirkan cara keluar dari kamar dan…
“Aha…” dengan segera Andien menarik seprai tempat tidurnya, melepas dan menyambungkannya dengan selimut sehingga cukup panjang dan kuat untuk menopang tubuhnya. Boleh kan memakai cara yang sama untuk keluar dari kamar toh alatnya berbeda.
Dengan perlahan Andien meluncur turun dari jendela kamarnya. (Bruk…) kakinya menapak tanah dengan selamat. Hatinya lega tapi kesulitan masih menghadangnya karena pagar samping juga digembok.
“Sialan, digembok! Terpaksa manjat pagar deh!” ujarnya malas.
Pagar samping rumah Andien kalau dipanjat sedikit akan langsung berhubungan dengan dinding rumah sebelah, terus tinggal manjat tembok dikit akan ketemu pohon besar yang tinggal dipanjat dikit akan sampai ke rumah sebelah. Tapi kalau ditotal sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit ya. Tapi Andien nggak nyerah kok, dengan perlahan dipanjatnya halangan itu satu-satu.
“Uuh…aduh pohon ini kok licin banget sih…ah…aaah…(bruk..) adauw!” teriak Andien. Malang sekali nasibnya, kakinya terpeleset dahan pohon yang licin dan akhirnya harus rela terjatuh. Heran, senang sekali Andien jatuh dari pohon. Tapi rupanya kecelakaan itu tak hanya merugikan Andien namun juga merugikan orang lain, karena Andien jatuh tepat di atas punggung seseorang yang sedang sial berada di bawah pohon itu.
Andien buru-buru bangun lalu menolong orang itu. “Aduuh…kamu nggak apa-apa?” tanya Andien.
“Sialan tadi malam mimpi apa sih sampe kejatuhan musibah dari langit. Gilaa…sakit banget, eh kamu siapa? Maling ya?” tanya orang itu, tepatnya cowok itu.
“Enak aja nuduh orang maling!” seru Andien agak kasar.
“Habisnya apaaan? Setan?” pekik cowok itu.
“Kak Andien, ngapain disini?” Rara berlari menuju mereka.
“Eh dik, ini kakaknya ya? Mendingan cepat dikurung deh sebelum nyelakain orang lagi.” pinta lelaki yang kalau ditilik masih seusia Andien.
“Aduh maafin deh Kak…?” tanya Rara.
“Remi!” potong lelaki tersebut.
“Idiih nama kok kayak tokoh film kartun gitu!”ejek Andien.
“Biarin sirik!” teriak Remi. “Eng… nama kamu siapa?” tanya Remi lembut kepada Rara
. “Andien.” sahut Andien pendek.
“Bukan kamu, geer!” sahut Remi.
“Oh saya? Nama saya Rara!”
Keributan yang ditimbulkan Andien nampaknya cukup mengganggu, buktinya seluruh tamu yang ada di dalam rumah itu ikut keluar dan termasuk orangtua Andien, yang langsung menyeret Andien pulang. Akibat ulahnya itu selama semingggu Andien tidak boleh keluar dari rumahnya.
*****
Seminggu kemudian di suatu sore yang indah Andien sedang mencoba stick baseball di sebuah toko olahraga besar disebuah plaza. Dia mengankat salah satu stick, mengayunkannya dan (Bug...) tongkat tersebut dengan pasrah mengenai pundak seseorang.
“Aduuh…sakit…!” teriak orang tersebut.
“Ups… kamu nggak apa-apa khan. Ada yang luka ah…eh…Remi?” tanya Andien, semakin khawatir.
“Hah…Andien lagi? Kenapa sih kalau ketemu kamu aku selalu dapat sial?” pekik Remi.
“Remi maaf donk, aku khan nggak sengaja!” mohon Andien.
“Ya, tapi kamu benar-benar keterlaluan. Aku laporin ortu kamu loh!” ancam Remi.
“Hah, Remi jangan donk! Hukumanku aja baru selesai! Kamu nggak kasihan sama aku?” sahut Andien.
“Bodo amat, biar sekalian aja kamu dihukum nggak boleh keluar dari rumah selamanya. Biar dunia jadi lebih aman!” tutur Remi sambil memegangi pundaknya yang memar.
“Please donk, Rem.”
“Rem, rem… memangnya rem mobil?” potong Remi.
“Iya deh Remi. Maaf ya, gimana kalau aku traktir minum, kayaknya kamu haus deh abis marah-marah.” tawar Andien. “Yuk!” Andien menarik tangan Remi menuju ke sebuah resto kecil di seberang toko olahraga…
Andien menarik sebuah kursi lalu langsung memesan es teler, sementara Remi masih terus menggerutu.
“Buat apa sih kamu beli tongkat softball, Ndien?” tanya Remi kesal.
“Hmm…buat ngulek!” seru Andien cuek.
“Kamu emangnya bisa main softball?” ejek Remi.
“Hmm…nggak percaya?” sahut Andien.
“Heh, non…memangnya kamu ikut klub mana? Oh iya…mana ada klub yang mau terima kamu?”
“Benar begitu? Kok Pink Warriors mau terima aku ya?” tanya Andien penuh kebanggaan.
“Pink Warriors ah…bohong, kalau iya berarti kamu… Andien yang sering dibilang pitcher terbaik di Indonesia?” ujar Remi tak percaya.
“Ah, kamu bisa aja! Jadi “tersanjung 6” nih!” pipi Andien memerah.
“Aduh…salah ngomong!” sahut Remi.
“Kagum nggak dilarang kok?” ejek Andien.
“Nggak la ya? Sudah deh lupain yang tadi, aku mau tanya… ehm adik kamu udah punya pacar belum?”
“Cieeh…suka sama adikku ya?” seru Andien begitu keras sehingga semua tamu di restoran itu memandang mereka.
“Psst…berisik banget sih!” umpat Remi. “Eh sebenarnya kamu juga suka sama Dion, kakakku khan?”
“Eh, enak aja. Gosip murahan darimana tuh?” sangkal Andien.
“Ah, jangan pura-pura, aku udah tahu segalanya. Ngaku aja deh!”
“Kalau iya memang kenapa?” pekik Andien sebal.
“Enggak kok, aku cuma mau nawarin kerja sama. Bagaimana kalau kamu nyomblangin aku sama Rara, nanti aku comblangin kamu sama Dion, mumpung dia belum punya pacar. Gimana?” tanya Remi.
“Ehm…boleh juga.” seru Andien.
*****
“Kak, nanti sore anterin ke pameran lukisan ya!?” pinta Rara pada suatu siang.
“Idiih ngajak kok ke acara gituan, males ah!” seru Andien sebal.
“Kakak nggak ngerti karya seni berkelas sih!” bentak Rara.
Tiba-tiba Andien berteriak, “Bagaimana kalau dianterin Remi?”
“Remi, tetangga sebelah?” tanya Rara heran.
“Siapa lagi?” Andien mengangkat gagang telpon lalu menekan sederet nomor dan…“Hallo, selamat siang. Remi ya?” tanya Andien, “Ini Andien, Rara minta ditemenin ke pameran lukisan nanti sore. Bisa nggak?”
“Hah pameran lukisan? Aduh aku khan nggak ngerti lukisan!” seru Remi.
“Loh katanya suka sama Rara.” bisik Andien. “Mesti mau berkorban donk!”
“Ya udah. Oh iya Dion butuh kamu untuk bantuin dia ngelatih tim putri fakultasnya yang mau ikut kompetisi softball. Mau nggak, khan lumayan sekalian pedekate. Nanti sore Dion bakal jemput kamu.”
“Ngelatih ya?” tanya Andien sedikit khawatir. “Mmmh oke deh boleh juga, bye!” tutup Andien.
Rara masih bingung menatap kakaknya, “Udah, nanti sore Remi akan nganterin kamu!” seru Andien.
Sore hari Remi sudah siap menunggu di ruang tamu rumah Rara yang luas dan sejuk dengan dandanannya yang rapi jali. Dari dalam terdengar alunan piano yang lembut, indah dan begitu memukau.
“Eh, kak Remi sudah datang! Yuk pergi!” ajak Rara begitu turun dari kamarnya.
“Yang main piano siapa Ra? Bagus banget, Mama kamu?” tanya Remi heran.
“Mama-ku? Bukan, yang main piano tuh si Andien!” seru Rara.
“Hah, dia bisa main piano? Jari-jarinya aja segede paralon!” umpat Remi tak percaya.
“Eh, merhatiin aja kalau jarinya segede paralon! Perhatian nih yee!” seru Rara.
“Udah ah. Ayo deh pergi!” ajak Remi.
Akhirnya sore itu Remi berhasil mengajak Rara pergi berbekal mobil pinjaman Dion, kakaknya. Namun suasana di dalam mobil menjadi agak kurang menyenangkan karena, yah… entah disengaja atau tidak Rara selalu membicarakan tentang Andien, tentang kegiatannya, tentang hobinya dan lain-lain yang membuat Remi dongkol.
*****
Kegembiraan sore itu ternyata tidak hanya dialami oleh Remi saja karena tak lama setelah Remi dan Rara pergi, Dion datang dan mengajak Andien untuk melatih team softball di Senayan.
“Terima kasih ya mau bantuin aku. Kalau anggota Pink Warriors yang ngelatih, fakultasku pasti menang deh!” ujar Dion yakin.
“Kak Dion bisa aja deh.” Andien tersipu malu.
“Oh, iya gimana kabarnya si imut Rara, masih suka ngintip-ngintip rumahku?” tanya Dion, membuat Andien menjadi khawatir, pasalnya dia yang menyuruh Rara memata-matai rumah sebelah.
Andien tersenyum pahit, “Biasa, bandel sih!”
“Eh, ngomong-ngomong hubungannya sama Remi sudah sampai taraf mana?” tanya Dion kemudian.
“Remi? Ih, gosip darimana tuh, lagipula mana sudi aku deket-deket sama Remi.” seru Andien kesal.
“Cup…cup…cup…kalau nggak benar nggak apa-apa, malah justru bagus!” sahut Dion.
“Kenapa bagus?” tanya Andien heran.
“Mmh…udah nggak ada apa-apa. Lihat tuh teman-temanku sudah datang!” sahut Dion berusaha mengalihkan pembicaraan.
*****
Kebahagiaan nampaknya sedang menaungi kedua pasangan ini. Remi semakin dekat dengan Rara dan sebaliknya Andien makin dekat dengan Dion. Apalagi setelah Andien berhasil menyumbangkan nilai yang besar bagi kemenangan fakultas Dion di Kompetisi Olahraga. Dan karena itu Dion sering mengajak Andien ke acara-acara seru di kampusnya.
“Remi, kayaknya sebentar lagi aku jadi calon pacar kakak kamu nih!” sahut Andien ketika sore itu ia mampir ke rumah Remi.
“Hah, apaan? Udah hampir jadian?! Hancur dunia!” teriak Remi sambil menepuk dahinya.
“Eh, jangan macem-macem ya! Nanti aku bilang ke Rara segala keburukan kamu, biar dia nggak mau deket-deket kamu lagi. Berani!” ancam Andien.
“Wah, ngancem nih? Ampun deh! Oh, iya mumpung kamu ada di sini, tolong kasi’ undangan ulang tahunnya Bella, adikku, ke Rara ya!” seru Remi.
“Oh ya, asyik makan gratis!” seru Andien.
“Sorry ya, cuma buat Rara!” potong Remi.
“Hei, nggak lihat tulisan ini…Dear: Mbak Andien dan Rara. Siapa yang nulis, heh?!” teriak Andien.
“Kalaupun kamu datang. Satpam-satpam hotel pasti akan ngusir kamu dengan senang hati!” sahut Remi.
“Sok tahu banget deh!” ujar Andien.
“Ya udah pulang sana, malas ngelihat muka jelek kamu!” seru Remi kesal.
“Kayak sendirinya cakep aja. Ya sudah aku pulang, da Remi…!” seru Andien.
“’Ndien, pintu pagarnya nggak dikunci loh!” seru Remi datar ketika dilihatnya gadis itu bersiap-siap memanjat pohon sial itu.
“Nggak apa-apa kok lebih enak manjat pohon, kalau lewat pagar jauh. He…he…bye!” teriak Andien dari atas pohon, sedangkan Remi hanya memandang gadis aneh itu dari bawah pohon dengan heran.
*****
Hari ini hari Sabtu, hari ulang tahun Bella, adik Dion dan Remi. Karena merasa hari ini sungguh spesial, Andien sengaja membeli sebuah gaun berwarna biru muda yang menurut Andien indah sekali. “Aduh…gimana ya caranya pakai make up? Udah capek-capek nyolong punya Rara nggak bisa pakainya!” keluh Andien.
Tiba-tiba pintu kamarnya terkuak, seseorang mengintip ke dalam dan berteriak, “Kak Andien, lagi ngapain? Gila, cantik banget nggak nyangka bisa kelihatan sefeminin ini. Tapi…heh ini khan alat-alat make up-ku, pantes hilang! Tapi kakak bener-bener keren abis, Rara pikir…”
“Eh, nyet. Bisa diem nggak sih, cerewet banget! Tapi apa bener aku kelihatan cantik?” seru Andien. “Yah, geer deh! Mmh…kakak dandan secakep ini ke pesta ultahnya Bella karena pengin cari perhatian si cowok itu khan!” seru Rara sambil pasrah menatap make up miliknya yang sukses diluluh lantahkan Andien. “Hah, kamu tahu dari mana Ra? Perasaan, aku nggak bilang-bilang deh!” tanya Andien. Sementara Rara hanya mengedipkan sebelah matanya.
Sayangnya apa yang dipikirkan kedua manusia tersebut tidaklah sama alias sama sekali nggak nyambung! Menurut Rara, Andien sedang mencari perhatian Remi. Padahal yang ada dipikiran Andien adalah Dion. Ah, bingung!
*****
Andien masih celingak-celinguk kebingungan di tengah pesta yang ramai sebelum dia mengenali seseorang ber-jas biru donker diseberangnya.
“Hei Remi!” Andien menepuk pundak cowok itu.
“Andien!” seru Remi terkejut.
“Hallo, eh kakak kamu dimana?” tanya Andien pada Remi yang sedang ternganga menatapnya.
“Ehm…dia lagi jemput temennya. Kamu habis kesamber petir di mana sih?” tanya Remi heran.
“Secantik ini kok dibilang habis kesamber petir. Gimana sih?”
“Tauk ah. Oh iya Rara mana?” tanya Remi penuh harap.
“Mana ya, oh itu dia! Rara!” panggil Andien.
Rara menghampiri mereka berdua “Ciee, berdua aja! Oh iya aku mau kenalin…Vino, sini donk!” seru Rara memanggil seseorang cowok keren yang segera bergegas menemui mereka.
“Dia Vino, pacar Rara.” bisik Rara pada dua makhluk di depannya, “Ini Andien sama temannya, Remi.”
“Hai!” seru Andien dan Remi lirih.
Namun bencana semakin bertambah ketika Dion datang menggandeng seorang gadis yang cantik sekali.
“Eh kok ngumpul di sini semua sih? Oh iya, ini Fiona, cewekku yang baru.” seru Dion pendek.
Andien dan Remi sama-sama terdiam lagi, lalu keduanya berjalan beriringan meninggalkan kedua pasangan itu, menuju balkon ballroom hotel.
“Mereka sebenarnya saling suka loh!” seru Dion menunjuk ke arah Andien dan Remi.
“Cuma gengsi aja buat ngaku!” sahut Rara menyambut perkataan Dion.
Di balkon hotel dua makhluk ini berkeluh kesah, “Kok nggak pernah bilang kalau Dion udah punya pacar sih!” seru Andien kesal.
“Mana ku tahu. Lagipula kamu juga nggak pernah bilang kalau Rara juga udah punya pacar!”
“Sialan, jadi selama ini aku keliru mengartikan perhatian Dion. Sebeel!” isak Andien, air matanya tanpa disadari perlahan-lahan turun.
“Kamu pikir kamu aja yang salah. Aku juga!” sahut Remi sambil meninju pilar balkon itu.
“Hik…hik…terus gimana donk?” tanya Andien, menjatuhkan diri ke atas kursi yang ada di situ.
“Nggak tahu deh. Loh kamu nangis? Kamu bisa nangis juga ya?” tanya Remi tak percaya.
“Iya yah, aku hik… nggak sadar. Aku juga lupa hik…kapan terakhir aku nangis hik… mungkin waktu lahir kali.” seru Andien dan disambut tawa oleh Remi.
“Ha…ha…ha…ehm…’Ndien kamu cantik deh dandan kayak begitu!” seru Remi.
“Kamu juga beda dari biasanya, lebih cakep…” balas Andien malu-malu. Dan akhirnya mereka berdua tertawa bersama, senang sekali.
Dari dalam ruangan terdengar alunan “How Can I Not Love You”-nya Joy Enriques yang mengalun lembut mengajak semuanya untuk berdansa.
“’Ndien, kamu mau dansa?” tanya Remi.
“Ayo!” Lalu dengan perlahan disambutnya tangan Remi yang telah terulur dan mereka sama-sama berdansa, tapi…
“Aduh…Andien jangan nginjek kakiku donk!” seru Remi.
“Sorry deh. Aku khan nggak bisa dansa!” sesal Andien.
Selesai