Cerpen ini dibuat sekitar tahun 1999 waktu saya kelas 3 SMA. Jadul ya...dan cerpen ini merupakan hasil dari tugas menulis cerpen di pelajaran Bahasa Indonesia, salah satu pelajaran kesukaan saya, dan saya pernah jadi siswi dengan nilai Ulangan Umum Bersama Bahasa Indonesia (waktu itu namanya masih itu) tertinggi se-SMA se-Jakarta Selatan...hehe (pamer dikit). Kisahnya menyangkut tentang sejarah revolusi Perancis. Nah, pelajaran sejarah juga pelajaran kesukaan saya. Yah, memang saya orangnya susah move on sih (makanya suka sejarah, sesuatu yang sudah berlalu hehe...) Semua informasi tentang Versailles dan Perancis tidak saya browsing dari internet (yap di tahun 1999 internet belum popular), tapi saya dapatkan langsung dari buku-buku ensiklopedia Perancis di perpustakaan Kursus Bahasa Inggris LIA...hehe. Pada saat itu perpustakaan jadi tempat hang out termuktahir saya.
Eh ya, cerpennya tidak kuedit, masih asli seperti waktu SMA dulu. Jadi maklum saja kalau tata bahasanya masih berantakan. Dulu belum sejago sekarang (yah sekarang juga belum jago-jago amat lah, masih banyak belajar ^^) Yuk langsung dibaca!
*****
Benci dan cinta hanyalah sebatas sisi sebuah kasih sayang.
Merah merona, api terpancar di mana-mana. Guruh, guntur bergelegar di ibukota di depan penjara Bastille yang megah. Ada seorang gadis menangis melihat seorang pria disiksa, tubuhnya terbaret, luka dan berdarah. Tapi apa yang bisa diperbuatnya, dia tidak bisa minta tolong orangtuanya lagi. Mereka telah meninggal, kepala mereka telah terpenggal. Dan dia adalah Marie Louisa von Rendt gadis muda putri seorang bangsawan yang kini ikut terjejal bersama rakyat-rakyat jelata, terusir pergi dari kaumnya.
Pagi ini begitu suram, dari jendela renyot tempatnya tinggal, dilihatnya para tentara berbaris. Memang dari tadi malam telah terdengar desas-desus operasi penumpasan kaum revolusioner oleh para tentara kerajaan. Marie tidak mengerti mengapa negaranya bergejolak, mengapa semua hal itu menyebabkan orang tuanya meninggal. Dia tidak tahu apa-apa, yang ada di pikirannya adalah balas dendam, bersama bibi Hilda yang selalu mendukungnya.
Keadaan kota semakin kacau. Hal itu membuat Marie sangat ketakutan, di sudut kamarnya yang gelap dia menangis, tangis yang penuh penderitaan.
"Bibi, aku takut, aku rindu ayah ibu. Karena orang-orang jahat itu, ayah dan ibu meninggal. Karena mereka aku jadi menderita begini. Aku harus balas dendam kepada mereka, Bi. Aku sekarang sudah besar, aku akan berbuat sesuatu agar ayah dan ibu tenang di surga." janji Marie.
*****
Setahun telah berlalu namun dendam dihati Marie belum berlalu. Terlebih keadaan negara semakin kacau dan kerusuhan terjadi dimana-mana. Kastil Carcassone, tempat tinggal pembunuh orang tuanya yang megah itu begitu ketat penjagaannya. Tapi hal itu tidak membuat Marie gentar. Rencananya sudah bulat, balas dendam! Yah, kastil itu merupakan satu-satunya petunjuk yang diketahuinya tentang Frederich von Vitae, pembunuh orang tuanya.
Dengan senjata yang dicurinya, Marie menyelinap perlahan-lahan ke setiap sudut benteng itu. Tujuannya hanya satu, yaitu membunuh Frederich von Vitae. Dong…dong… jam berdentang dua belas kali, udara dingin yang menerobos masuk ke dalam kastil tidak membuat Marie bergetar sedikit pun. Ia terus berjalan, di depan matanya tampak sebuah ruangan yang masih terang. Didekatinya kamar itu, dari luar terdengar percakapan dua orang dan dari apa yang didengarnya ia yakin bahwa inilah kamar si jahanam itu. Satu jam lamanya Marie bersembunyi di luar. Sekarang ruangan itu telah sepi. Salah satu dari mereka telah pergi dari tadi.
Marie mulai beraksi, lubang kunci pintu kamar itu dikutak-kutiknya. Kreek…pintu terbuka, Marie masuk ke dalam, di depannya terhampar karpet merah yang begitu hangat, tempat tidur yang begitu besar dan pastilah juga hangat. Ah, di atas tempat tidur itulah si jahanam itu tidur. Dengan penuh semangat Marie berjalan mendekat, digenggamnya senjata itu dengan erat. Dari dekat dilihatnya dia, pulas tertidur dengan tenangnya.
Perlahan ditariknya pelatuk senjata itu, ditodongkan ke kepala orang itu. Tapi tiba-tiba orang itu berkelit, dia menghindar dan menangkap tangan Marie. Namun Marie berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga. Tapi apa daya tenaganya tak sebanding dengan orang itu.
"Siapa kamu ? Mengapa kamu ingin membunuhku ?" tanya Frederich.
"Bangsat, jahanam ! Aku harus balas dendam, kamu telah membunuh orang tuaku !" teriak Marie.
"Siapa orang tuamu ? Mengapa kau bisa menuduhku membunuh mereka ?"
"Jangan pura-pura bodoh ! Sir Andreas von Rendt, masih ingatkah kau nama itu ?" jerit Marie penuh emosi, namun Marie tak tahan, kepalanya berputar, ruangan menjadi gelap dan… dia jatuh…pingsan.
*****
Esok paginya Marie tersadar, saat terbangun dia telah berada di atas tempat tidur dengan berselimutkan selimut bulu yang begitu hangat. Sinar matahari perlahan-lahan masuk menerobos celah-celah jendela. Lalu pintu tiba-tiba terkuak, Frederich masuk sambil membawa nampan berisi makanan dan segelas susu hangat.
"Selamat pagi Nona, anda sudah bangun. Ini saya bawakan…"
"Jangan banyak omong !" teriak Marie sambil beranjak berdiri namun karena kondisi kesehatannya tidak mendukung tubuhnya kembali terjatuh ke tempat tidur. Frederich meletakkan nampannya lalu mendekat ke Marie untuk menolongnya.
Tapi…dengan secepat kilat Marie menyambar pisau buah yang ada di sampingnya. Ditodongkannya pisau itu ke leher Frederich. Lalu keduanya terdiam, dan hanya deru napas mereka yang terdengar.
"Kamu boleh saja membunuhku Nona, tapi ini tidak akan menyelesaikan masalah. Lagipula bukan aku yang membunuh orang tuamu. Aku hanya…"
"Tutup mulutmu !" teriak Marie dengan makin mendekatkan pisau itu ke leher Frederich. Tapi kemudian Frederich berhasil menepis pisau itu dan membuangnya ke lantai.
"Aku harus menyelesaikan masalah ini Nona. Duduklah…dan tenangkan hatimu. Kesalahpahamaman ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Akan kuceritakan kejadian tiga tahun lalu, dengarkanlah baik-baik !" seru Frederich. "Waktu kejadian itu aku baru berumur 23 tahun, ayahku adalah salah satu dari panglima kerajaan dan aku selalu membantunya. Sedangkan ayahmu adalah penasihat kerajaan. Suatu hari ayahmu menasihati raja untuk tidak lagi menghamburkan uang dan menarik pajak yang tinggi atas rakyat. Tapi raja tidak mendengarkan nasihatnya malahan berusaha untuk membunuhnya. Memang pertama kali raja meminta aku untuk membunuh ayahmu dengan imbalan istana Chateaunef-du-Pape dan ladang anggurnya. Tapi aku
tidak mau, sungguh bukan aku yang melakukannya. Dan kemudian raja memberi tuduhan yang sangat tidak masuk akal kepada ayahmu sehingga dia dihukum mati. Lalu dengan seenaknya raja memberitakan kepada semua orang bahwa akulah pembunuhnya, hanya karena aku secara tidak sengaja telah menandatangani Letre de chacet. Sebenarnya aku tahu hari ini pasti akan datang padaku, pasti seseorang akan datang untuk balas dendam atas hal yang tidak aku lakukan. Yah…aku telah ceritakan semuanya padamu Nona, sekarang terserah padamu untuk menilaiku." ujar Frederich.
Marie terdiam, matanya nanar dan berkaca-kaca. "Apakah yang kau katakan semuanya itu benar ?" tanya Marie lirih.
"Memang susah bagimu untuk percaya, tapi percayalah bukan aku yang melakukannya. Jika semua itu perbuatanku aku takkan segan-segan membunuh diriku di depanmu !"
"Jika bukan kamu yang melakukan, berarti musuhku sebenarnya adalah sang raja. Dan aku takkan sanggup untuk membalas dendam orang tuaku padanya. Ah…ayah, ibu lebih baik aku mati menyusul kalian daripada aku…"
"Bodoh, jangan menyerah begitu saja ! Si jahanam Louis itu bisa kita kalahkan !" teriak Frederich.
"Kita ?" tanya Marie.
"Ya, kita. Karena raja keadaan negara semakin kacau, dan kekuasaannya harus digulingkan !" jelas Frederich.
Tiba-tiba pintu diketuk. "Selamat pagi tuan. Uups… maaf saya tidak tahu kalau ada tamu." sapa pelayan wanita itu.
"Ehm tuan Lafayette sudah datang dan menunggu tuan di ruang tamu." sambung pelayan itu.
"Baiklah kamu boleh pergi, tapi ingat besok lagi kalau mau masuk kamarku biar aku yang buka. Mengerti !"
"Baik tuan, saya mohon maaf." ujarnya sambil beranjak keluar.
"Oke, ehm…namamu ?" tanya Frederich.
"Marie, Marie Louisa." ujarnya perlahan.
"Baiklah, aku harus menemui temanku. Kami sedang menyusun rencana untuk menggulingkan pemerintahan. Seperti yang kau mau kan ?" tanya Frederich.
"Iya. Tuan, maafkan atas kesalahpahaman ini. Sekarang saya harus pulang. Tapi maukah tuan mengajak saya untuk turut serta dalam rencana tuan." tanya Marie.
"Tentu, tapi bagaimanakah saya bisa bertemu lagi dengan Nona ?"
"Saya akan mengunjungi tuan setiap hari. Sekarang saya permisi dulu."
"Baiklah, oh iya, jangan panggil aku tuan, kau bukan pelayanku. Namaku Frederich." ujarnya sambil melangkah mengantar Marie keluar.
*****
Semakin lama keadaan negara semakin kacau. Kerusuhan terjadi dimana-mana. Rakyat kian menderita rawan pangan karena harga bahan pangan kian membumbung tinggi.
Frederich dan Marie kini berteman akrab, mereka saling bekerja sama dalam menolong rakyat dan melaksanakan rencana terbesaar mereka yaitu PEMBERONTAKAN.
Segala ambisi mereka membuat mereka tak sadar bahwa mereka kini semakin dekat dan saling membutuhkan. Rasanya tak pernah sehari pun mereka terpisah, di mana ada Frederich pasti ada Marie dan begitu pula sebaliknya.
*****
Tanggal 14 Juli 1789, pemberontakan terbesar terjadi di Perancis, kami
menyebutnya revolusi. Rakyat bersatu, bagaikan lautan manusia mereka menyerbu penjara Bastille, lambang keabsolutan Perancis. Dan akhirnya meruntuhkan kekuasaan kerajaan.
"Terima kasih Tuhan akhirnya negara kami merdeka !" seru Frederich bahagia. Usahanya menyusun kekuatan bersama Lafayette tidak sia-sia.Tapi tidak begitu dengan Marie, wajahnya murung dan tampak tak bergairah.
"Kalian bahagia karena tujuan kalian tercapai. Tapi bagaimana dengan aku, dendamku belum terbalaskan."
"Tenanglah Marieku sayang, semua dendammu sebentar lagi akan terbalaskan." sahut Frederich sambil mengusap lembut rambut Marie.
*****
Keadaan negara semakin lama makin membaik, rakyat mulai menampakkan kekuasaannya. Masa legislatif berkembang, dibentuklah juga Undang Undang Dasar baru, dan Louis XVI berjanji untuk menaatinya. Namun janji tinggallah janji karena Louis XVI berkhianat dan hendak melarikan diri ke luar negri. Rakyat yang murka akhirnya menuntut agar Louis XVI dan keluarganya diguolutine. Tanggal 21 Januari 1793 Louis XVI dipenggal kepalanya okeh pisau guolutine.
*****
"Tidakkah kau senang cita-citamu telah tercapai, Marie ?" tanya Frederich.
"Iya, untunglah. Ia mati karena perbuatannya sendiri. Dan dendamku terbalaskan tanpa sedikit pun aku turun tangan." ujar Marie bahagia.
"Dan aku juga punya satu cita-cita, tapi sayangnya belum terwujud." kata Frederich.
"Apa itu ?" tanya Marie manja.
"Eng…menikahimu!" sahut Frederich yang membuat Marie tersipu-sipu.
*****
Hari ini mereka menikah di gereja Noterdame di tepi Sungai Seine. Hujan rintik-rintik menyiram dengan halus ke bumi, ketika mereka berdua berjalan menyusur di pinggiran Sungai Seine.
"Marie, kau tahu ruangan yang paling indah di istana Versailles ?" tanya Frederich, ketika mereka sama-sama duduk di pinggir Place de la Concorde, air mancur yang indah di tengah kota Paris.
"Aku tidak tahu, aku belum pernah masuk ke sana." jawab Marie.
"Tempat itu adalah Galerie des Glaces (Balai Cermin) di situ kamu bisa bercermin sepuas-puasnya. Dan kau tahu bila nanti kau benar-benar bercermin di sana, pelangi itu akan terus memayungi istana Versailles, akan selalu di sana untuk mengagumi kecantikanmu." tutur Frederich lalu mencium kening Marie dengan penuh kasih sayang.
Selesai
Eh ya, cerpennya tidak kuedit, masih asli seperti waktu SMA dulu. Jadi maklum saja kalau tata bahasanya masih berantakan. Dulu belum sejago sekarang (yah sekarang juga belum jago-jago amat lah, masih banyak belajar ^^) Yuk langsung dibaca!
*****
Benci dan cinta hanyalah sebatas sisi sebuah kasih sayang.
Merah merona, api terpancar di mana-mana. Guruh, guntur bergelegar di ibukota di depan penjara Bastille yang megah. Ada seorang gadis menangis melihat seorang pria disiksa, tubuhnya terbaret, luka dan berdarah. Tapi apa yang bisa diperbuatnya, dia tidak bisa minta tolong orangtuanya lagi. Mereka telah meninggal, kepala mereka telah terpenggal. Dan dia adalah Marie Louisa von Rendt gadis muda putri seorang bangsawan yang kini ikut terjejal bersama rakyat-rakyat jelata, terusir pergi dari kaumnya.
Pagi ini begitu suram, dari jendela renyot tempatnya tinggal, dilihatnya para tentara berbaris. Memang dari tadi malam telah terdengar desas-desus operasi penumpasan kaum revolusioner oleh para tentara kerajaan. Marie tidak mengerti mengapa negaranya bergejolak, mengapa semua hal itu menyebabkan orang tuanya meninggal. Dia tidak tahu apa-apa, yang ada di pikirannya adalah balas dendam, bersama bibi Hilda yang selalu mendukungnya.
Keadaan kota semakin kacau. Hal itu membuat Marie sangat ketakutan, di sudut kamarnya yang gelap dia menangis, tangis yang penuh penderitaan.
"Bibi, aku takut, aku rindu ayah ibu. Karena orang-orang jahat itu, ayah dan ibu meninggal. Karena mereka aku jadi menderita begini. Aku harus balas dendam kepada mereka, Bi. Aku sekarang sudah besar, aku akan berbuat sesuatu agar ayah dan ibu tenang di surga." janji Marie.
*****
Setahun telah berlalu namun dendam dihati Marie belum berlalu. Terlebih keadaan negara semakin kacau dan kerusuhan terjadi dimana-mana. Kastil Carcassone, tempat tinggal pembunuh orang tuanya yang megah itu begitu ketat penjagaannya. Tapi hal itu tidak membuat Marie gentar. Rencananya sudah bulat, balas dendam! Yah, kastil itu merupakan satu-satunya petunjuk yang diketahuinya tentang Frederich von Vitae, pembunuh orang tuanya.
Dengan senjata yang dicurinya, Marie menyelinap perlahan-lahan ke setiap sudut benteng itu. Tujuannya hanya satu, yaitu membunuh Frederich von Vitae. Dong…dong… jam berdentang dua belas kali, udara dingin yang menerobos masuk ke dalam kastil tidak membuat Marie bergetar sedikit pun. Ia terus berjalan, di depan matanya tampak sebuah ruangan yang masih terang. Didekatinya kamar itu, dari luar terdengar percakapan dua orang dan dari apa yang didengarnya ia yakin bahwa inilah kamar si jahanam itu. Satu jam lamanya Marie bersembunyi di luar. Sekarang ruangan itu telah sepi. Salah satu dari mereka telah pergi dari tadi.
Marie mulai beraksi, lubang kunci pintu kamar itu dikutak-kutiknya. Kreek…pintu terbuka, Marie masuk ke dalam, di depannya terhampar karpet merah yang begitu hangat, tempat tidur yang begitu besar dan pastilah juga hangat. Ah, di atas tempat tidur itulah si jahanam itu tidur. Dengan penuh semangat Marie berjalan mendekat, digenggamnya senjata itu dengan erat. Dari dekat dilihatnya dia, pulas tertidur dengan tenangnya.
Perlahan ditariknya pelatuk senjata itu, ditodongkan ke kepala orang itu. Tapi tiba-tiba orang itu berkelit, dia menghindar dan menangkap tangan Marie. Namun Marie berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga. Tapi apa daya tenaganya tak sebanding dengan orang itu.
"Siapa kamu ? Mengapa kamu ingin membunuhku ?" tanya Frederich.
"Bangsat, jahanam ! Aku harus balas dendam, kamu telah membunuh orang tuaku !" teriak Marie.
"Siapa orang tuamu ? Mengapa kau bisa menuduhku membunuh mereka ?"
"Jangan pura-pura bodoh ! Sir Andreas von Rendt, masih ingatkah kau nama itu ?" jerit Marie penuh emosi, namun Marie tak tahan, kepalanya berputar, ruangan menjadi gelap dan… dia jatuh…pingsan.
*****
Esok paginya Marie tersadar, saat terbangun dia telah berada di atas tempat tidur dengan berselimutkan selimut bulu yang begitu hangat. Sinar matahari perlahan-lahan masuk menerobos celah-celah jendela. Lalu pintu tiba-tiba terkuak, Frederich masuk sambil membawa nampan berisi makanan dan segelas susu hangat.
"Selamat pagi Nona, anda sudah bangun. Ini saya bawakan…"
"Jangan banyak omong !" teriak Marie sambil beranjak berdiri namun karena kondisi kesehatannya tidak mendukung tubuhnya kembali terjatuh ke tempat tidur. Frederich meletakkan nampannya lalu mendekat ke Marie untuk menolongnya.
Tapi…dengan secepat kilat Marie menyambar pisau buah yang ada di sampingnya. Ditodongkannya pisau itu ke leher Frederich. Lalu keduanya terdiam, dan hanya deru napas mereka yang terdengar.
"Kamu boleh saja membunuhku Nona, tapi ini tidak akan menyelesaikan masalah. Lagipula bukan aku yang membunuh orang tuamu. Aku hanya…"
"Tutup mulutmu !" teriak Marie dengan makin mendekatkan pisau itu ke leher Frederich. Tapi kemudian Frederich berhasil menepis pisau itu dan membuangnya ke lantai.
"Aku harus menyelesaikan masalah ini Nona. Duduklah…dan tenangkan hatimu. Kesalahpahamaman ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Akan kuceritakan kejadian tiga tahun lalu, dengarkanlah baik-baik !" seru Frederich. "Waktu kejadian itu aku baru berumur 23 tahun, ayahku adalah salah satu dari panglima kerajaan dan aku selalu membantunya. Sedangkan ayahmu adalah penasihat kerajaan. Suatu hari ayahmu menasihati raja untuk tidak lagi menghamburkan uang dan menarik pajak yang tinggi atas rakyat. Tapi raja tidak mendengarkan nasihatnya malahan berusaha untuk membunuhnya. Memang pertama kali raja meminta aku untuk membunuh ayahmu dengan imbalan istana Chateaunef-du-Pape dan ladang anggurnya. Tapi aku
tidak mau, sungguh bukan aku yang melakukannya. Dan kemudian raja memberi tuduhan yang sangat tidak masuk akal kepada ayahmu sehingga dia dihukum mati. Lalu dengan seenaknya raja memberitakan kepada semua orang bahwa akulah pembunuhnya, hanya karena aku secara tidak sengaja telah menandatangani Letre de chacet. Sebenarnya aku tahu hari ini pasti akan datang padaku, pasti seseorang akan datang untuk balas dendam atas hal yang tidak aku lakukan. Yah…aku telah ceritakan semuanya padamu Nona, sekarang terserah padamu untuk menilaiku." ujar Frederich.
Marie terdiam, matanya nanar dan berkaca-kaca. "Apakah yang kau katakan semuanya itu benar ?" tanya Marie lirih.
"Memang susah bagimu untuk percaya, tapi percayalah bukan aku yang melakukannya. Jika semua itu perbuatanku aku takkan segan-segan membunuh diriku di depanmu !"
"Jika bukan kamu yang melakukan, berarti musuhku sebenarnya adalah sang raja. Dan aku takkan sanggup untuk membalas dendam orang tuaku padanya. Ah…ayah, ibu lebih baik aku mati menyusul kalian daripada aku…"
"Bodoh, jangan menyerah begitu saja ! Si jahanam Louis itu bisa kita kalahkan !" teriak Frederich.
"Kita ?" tanya Marie.
"Ya, kita. Karena raja keadaan negara semakin kacau, dan kekuasaannya harus digulingkan !" jelas Frederich.
Tiba-tiba pintu diketuk. "Selamat pagi tuan. Uups… maaf saya tidak tahu kalau ada tamu." sapa pelayan wanita itu.
"Ehm tuan Lafayette sudah datang dan menunggu tuan di ruang tamu." sambung pelayan itu.
"Baiklah kamu boleh pergi, tapi ingat besok lagi kalau mau masuk kamarku biar aku yang buka. Mengerti !"
"Baik tuan, saya mohon maaf." ujarnya sambil beranjak keluar.
"Oke, ehm…namamu ?" tanya Frederich.
"Marie, Marie Louisa." ujarnya perlahan.
"Baiklah, aku harus menemui temanku. Kami sedang menyusun rencana untuk menggulingkan pemerintahan. Seperti yang kau mau kan ?" tanya Frederich.
"Iya. Tuan, maafkan atas kesalahpahaman ini. Sekarang saya harus pulang. Tapi maukah tuan mengajak saya untuk turut serta dalam rencana tuan." tanya Marie.
"Tentu, tapi bagaimanakah saya bisa bertemu lagi dengan Nona ?"
"Saya akan mengunjungi tuan setiap hari. Sekarang saya permisi dulu."
"Baiklah, oh iya, jangan panggil aku tuan, kau bukan pelayanku. Namaku Frederich." ujarnya sambil melangkah mengantar Marie keluar.
*****
Semakin lama keadaan negara semakin kacau. Kerusuhan terjadi dimana-mana. Rakyat kian menderita rawan pangan karena harga bahan pangan kian membumbung tinggi.
Frederich dan Marie kini berteman akrab, mereka saling bekerja sama dalam menolong rakyat dan melaksanakan rencana terbesaar mereka yaitu PEMBERONTAKAN.
Segala ambisi mereka membuat mereka tak sadar bahwa mereka kini semakin dekat dan saling membutuhkan. Rasanya tak pernah sehari pun mereka terpisah, di mana ada Frederich pasti ada Marie dan begitu pula sebaliknya.
*****
Tanggal 14 Juli 1789, pemberontakan terbesar terjadi di Perancis, kami
menyebutnya revolusi. Rakyat bersatu, bagaikan lautan manusia mereka menyerbu penjara Bastille, lambang keabsolutan Perancis. Dan akhirnya meruntuhkan kekuasaan kerajaan.
"Terima kasih Tuhan akhirnya negara kami merdeka !" seru Frederich bahagia. Usahanya menyusun kekuatan bersama Lafayette tidak sia-sia.Tapi tidak begitu dengan Marie, wajahnya murung dan tampak tak bergairah.
"Kalian bahagia karena tujuan kalian tercapai. Tapi bagaimana dengan aku, dendamku belum terbalaskan."
"Tenanglah Marieku sayang, semua dendammu sebentar lagi akan terbalaskan." sahut Frederich sambil mengusap lembut rambut Marie.
*****
Keadaan negara semakin lama makin membaik, rakyat mulai menampakkan kekuasaannya. Masa legislatif berkembang, dibentuklah juga Undang Undang Dasar baru, dan Louis XVI berjanji untuk menaatinya. Namun janji tinggallah janji karena Louis XVI berkhianat dan hendak melarikan diri ke luar negri. Rakyat yang murka akhirnya menuntut agar Louis XVI dan keluarganya diguolutine. Tanggal 21 Januari 1793 Louis XVI dipenggal kepalanya okeh pisau guolutine.
*****
"Tidakkah kau senang cita-citamu telah tercapai, Marie ?" tanya Frederich.
"Iya, untunglah. Ia mati karena perbuatannya sendiri. Dan dendamku terbalaskan tanpa sedikit pun aku turun tangan." ujar Marie bahagia.
"Dan aku juga punya satu cita-cita, tapi sayangnya belum terwujud." kata Frederich.
"Apa itu ?" tanya Marie manja.
"Eng…menikahimu!" sahut Frederich yang membuat Marie tersipu-sipu.
*****
Hari ini mereka menikah di gereja Noterdame di tepi Sungai Seine. Hujan rintik-rintik menyiram dengan halus ke bumi, ketika mereka berdua berjalan menyusur di pinggiran Sungai Seine.
"Marie, kau tahu ruangan yang paling indah di istana Versailles ?" tanya Frederich, ketika mereka sama-sama duduk di pinggir Place de la Concorde, air mancur yang indah di tengah kota Paris.
"Aku tidak tahu, aku belum pernah masuk ke sana." jawab Marie.
"Tempat itu adalah Galerie des Glaces (Balai Cermin) di situ kamu bisa bercermin sepuas-puasnya. Dan kau tahu bila nanti kau benar-benar bercermin di sana, pelangi itu akan terus memayungi istana Versailles, akan selalu di sana untuk mengagumi kecantikanmu." tutur Frederich lalu mencium kening Marie dengan penuh kasih sayang.
Selesai