"Catatan ini ditemukan orang tua Sabrina setelah mengetahui bahwa putri mereka mencoba untuk bunuh diri - Flavia de Angela"
Dear Diary,
Untuk kesekian kalinya aku mau bilang, kalau aku sebenarnya tidak membenci dia. Gak mungkin aku membenci satu-satunya saudara yg kumiliki di dunia ini. Dia kakakku, kakak kandungku. Kami lahir dari rahim yg sama, sehingga sudah seharusnya kami saling menyayangi. Tatyana Alysse Darmawangsa. Dia cantik, jauh lebih cantik dari aku. Jauh lebih pintar & berbudi luhur dariku. Satu yg ia tak punya, kedua kaki jenjang seperti milikku, tapi hidupnya tak sontak berakhir. Ia punya harapan. Ia selalu bahagia. Sesuatu yang sangat kuinginkan, sangat kuimpikan!
Sudah berulang kali kubilang, aku tidak membencinya. Kepikiran pun tidak. Yah, walaupun dia selalu mendapatkan semua yg ia mau dan aku harus memohon untuk semuanya itu, tapi demi Tuhan aku tidak membencinya.Mungkin aku selalu ketus padanya. Tak mau menemaninya ngobrol atau sekedar menyapanya, seolah kita tinggal di dunia berbeda. Tapi sekali lagi, itu kulakukan bukan krn ku membencinya.Aku sayang padanya. Lebih dari apapun di dunia ini. Aku juga tahu kalau dia sangat menyayangiku. Aku bisa melihat dari matanya, dari senyumnya, yang kucuri-curi lihat ketika ia mengajakku bicara, tapi kenapa aku tak bisa membalasnya. Kurasa aku terlalu angkuh membalasnya.
Aku menyayanginya, tapi tak akan pernah kutunjukkan, takkan! Karena dengan itu aku bertahan. Kenapa dunia ini tidak adil Tuhan? Kenapa semua orang memiliki cinta, dicintai sementara aku tidak? Lihat saja Tatyana! Kerjanya hanya diam di kamar, tapi mama memilih menyapanya, menciumnya lebih dulu sepulang kerja di dini hari sekalipun, ketimbang aku yang jelas2 dilihatnya sedang mengerjakan tugas di ruang tamu sampai subuh. Hal yang sengaja kulakukan agar bisa sedikit terlihat di matanya. Aku memang tak layak dicintai. Bahkan seorang Flavia yang tak enak dipandang mata itu lebih layak dicintai Rino, cowok masa lalu yang kupikir akan jadi masa depanku.
Diary, apa yang harus kulakukan dengan hidupku? Tak ada sesuatu yang bisa kuperjuangkan untuk hidupku. Tak ada yang bisa kubuat bangga dengan keberhasilanku. Orang tuaku tak menghargaiku, memandangku pun tidak. Aku hanya anak pembawa sial. Pembunuh masa depan anak kesayangan mereka! Tapi apa salahku sih Pa, Ma? Tatyana sendiri yang sok tahu. Memangnya dia bisa sekeren Claire Danes si Juliet itu apa? Pakai beradegan sok romantis dgn lilin-lilin segala? Aku sudah bilang aku nggak mau ikut-ikutan, film romantis bukan kesukaanku. Aku cm bisa memandangnya, membantunya bahkan mengambilkannya minum yang seolah2 ia jadikan racun bohongan agar sesuai adegan Juliet.
Ma, Pa, sudah lelah aku menjelaskan kalau bukan aku yang menyebabkan kebakaran itu. Siapa suruh Tatyana bergaya-gaya seperti itu segala? Lalu apa itu salahku kalau api itu membakar tirai, seprai dan semua bahan yang mudah terbakar di kamar Tatyana? Saat aku masuk ke kamarnya, aku melihat ia berteriak-teriak terhalau kepungan api. Ia tak bisa keluar, aku tak bisa masuk. Tangan besar Pak Abdul, supir kita sudah menarikku menjauh. Setelah itu aku tak ingat apa2 lagi. Asap pekat menghablurkan semua memoriku. Satu yang kuingat, sejak saat itu Mama Papa sudah tak menganggapku putri mereka. Aku hilang dari silsilah keluarga Darmawangsa & mungkin takkan mendapatkan warisan sama sekali.
Sumpah, aku tak membencimu Tatyana. Aku menyayangimu, karena kamu kakakku satu-satunya. Aku hanya...iri padamu.
-END-
Dear Diary,
Untuk kesekian kalinya aku mau bilang, kalau aku sebenarnya tidak membenci dia. Gak mungkin aku membenci satu-satunya saudara yg kumiliki di dunia ini. Dia kakakku, kakak kandungku. Kami lahir dari rahim yg sama, sehingga sudah seharusnya kami saling menyayangi. Tatyana Alysse Darmawangsa. Dia cantik, jauh lebih cantik dari aku. Jauh lebih pintar & berbudi luhur dariku. Satu yg ia tak punya, kedua kaki jenjang seperti milikku, tapi hidupnya tak sontak berakhir. Ia punya harapan. Ia selalu bahagia. Sesuatu yang sangat kuinginkan, sangat kuimpikan!
Sudah berulang kali kubilang, aku tidak membencinya. Kepikiran pun tidak. Yah, walaupun dia selalu mendapatkan semua yg ia mau dan aku harus memohon untuk semuanya itu, tapi demi Tuhan aku tidak membencinya.Mungkin aku selalu ketus padanya. Tak mau menemaninya ngobrol atau sekedar menyapanya, seolah kita tinggal di dunia berbeda. Tapi sekali lagi, itu kulakukan bukan krn ku membencinya.Aku sayang padanya. Lebih dari apapun di dunia ini. Aku juga tahu kalau dia sangat menyayangiku. Aku bisa melihat dari matanya, dari senyumnya, yang kucuri-curi lihat ketika ia mengajakku bicara, tapi kenapa aku tak bisa membalasnya. Kurasa aku terlalu angkuh membalasnya.
Aku menyayanginya, tapi tak akan pernah kutunjukkan, takkan! Karena dengan itu aku bertahan. Kenapa dunia ini tidak adil Tuhan? Kenapa semua orang memiliki cinta, dicintai sementara aku tidak? Lihat saja Tatyana! Kerjanya hanya diam di kamar, tapi mama memilih menyapanya, menciumnya lebih dulu sepulang kerja di dini hari sekalipun, ketimbang aku yang jelas2 dilihatnya sedang mengerjakan tugas di ruang tamu sampai subuh. Hal yang sengaja kulakukan agar bisa sedikit terlihat di matanya. Aku memang tak layak dicintai. Bahkan seorang Flavia yang tak enak dipandang mata itu lebih layak dicintai Rino, cowok masa lalu yang kupikir akan jadi masa depanku.
Diary, apa yang harus kulakukan dengan hidupku? Tak ada sesuatu yang bisa kuperjuangkan untuk hidupku. Tak ada yang bisa kubuat bangga dengan keberhasilanku. Orang tuaku tak menghargaiku, memandangku pun tidak. Aku hanya anak pembawa sial. Pembunuh masa depan anak kesayangan mereka! Tapi apa salahku sih Pa, Ma? Tatyana sendiri yang sok tahu. Memangnya dia bisa sekeren Claire Danes si Juliet itu apa? Pakai beradegan sok romantis dgn lilin-lilin segala? Aku sudah bilang aku nggak mau ikut-ikutan, film romantis bukan kesukaanku. Aku cm bisa memandangnya, membantunya bahkan mengambilkannya minum yang seolah2 ia jadikan racun bohongan agar sesuai adegan Juliet.
Ma, Pa, sudah lelah aku menjelaskan kalau bukan aku yang menyebabkan kebakaran itu. Siapa suruh Tatyana bergaya-gaya seperti itu segala? Lalu apa itu salahku kalau api itu membakar tirai, seprai dan semua bahan yang mudah terbakar di kamar Tatyana? Saat aku masuk ke kamarnya, aku melihat ia berteriak-teriak terhalau kepungan api. Ia tak bisa keluar, aku tak bisa masuk. Tangan besar Pak Abdul, supir kita sudah menarikku menjauh. Setelah itu aku tak ingat apa2 lagi. Asap pekat menghablurkan semua memoriku. Satu yang kuingat, sejak saat itu Mama Papa sudah tak menganggapku putri mereka. Aku hilang dari silsilah keluarga Darmawangsa & mungkin takkan mendapatkan warisan sama sekali.
Sumpah, aku tak membencimu Tatyana. Aku menyayangimu, karena kamu kakakku satu-satunya. Aku hanya...iri padamu.
-END-