Cerpen ini pernah dimuat di tabloid Gaul, tapi sebelnya mereka ganti judul cerpen dengan seenaknya :( Agak kecewa juga sih, tapi ya sudahlah ^^
Ceritanya sedikit terinspirasi dari kejadian waktu saya freelance jadi hot line psikologi untuk korban bom di gereja2 di Jakarta. Dari situ jadi mikir, siapapun bisa berperan jadi pendengar, no matter dia punya kekurangan fisik, yah seperti cerita inilah. Yuk dibaca.
*****
“Pandan, jangan pilih-pilih cowok kayak gitu donk. Mana ada cowok yang sekaligus pintar, cakep, tajir, dan punya kelakuan yang menurut kamu ‘normal’. Nggak ada orang sesempurna itu!” seru Zita kesal.
“Ya ada donk! Aku merasa diriku cantik, pintar, kaya dan ‘normal’. Nggak salah donk kalau aku cari cowok yang pantas buatku?”
Maia menelan ludah, maklum dengan sifat keras kepala sahabatnya itu. “Tapi jadinya pas pesta ulang tahun ketujuh belas nanti, kamu belum punya pacar donk?”
Pandan menepuk dahinya, “Iya ya! Ah sudahlah, sekarang lebih baik kita telpon ke kantor event organizer aja dulu buat ngomongin tema pestaku.”
“Ya udah, cepat telpon aja.” ujar Maia.
Pandan menekan sederet angka pada tuts hand phone-nya. Kedua temannya, Maia dan Zika yang duduk di sampingnya, mulai terlihat tidak sabar. Sementara Oleg, pudel coklat milik Pandan, sibuk menarik-narik rok abu-abu Zika karena merasa tidak diperhatikan.
“Klik...Halo selamat sore, dengan hotline psikologi 24 jam. Ada yang bisa saya bantu?” terdengar suara lelaki di ujung telepon.
“Hah?” Pandan tampak bingung.
Kening Zika berkerut, “Kenapa?”
“Kayaknya salah sambung.” ucap Pandan.
“Tidak kok, kamu tidak salah. Kamu ada di jalur yang benar. Memang sih pada awalnya agak sulit untuk menceritakan masalah kamu. Oh iya, perkenalkan, nama saya Erga.” sahutnya ramah.
“Eng...aku Pandan.”
“Oke Pandan, ada yang bisa saya bantu?”
“Mmh...aduh...” Pandan semakin bingung.
“Kalau salah sambung ya ditutup aja!” perintah Zika.
“Nggak bisa, aku...” teriak Pandan panik.
“Sepertinya kamu masih malu untuk cerita ya? Sekarang, coba kamu rileks aja. Kita ngobrol-ngobrol biasa aja dulu. Bagaimana?”
“Aduh, kok jadi ribet begini sih?” bisik Pandan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Kenapa? Mungkin pada awalnya kita bisa...” ujar Erga.
Pandan kehilangan kesabarannya, “Masalahnya ya Mas, saya tadi mau telpon kantor event organizer. Tapi yang terjadi malah nyambung ke nomor ini. Sebenarnya dari tadi saya cuma mau bilang kalau saya salah sambung! Dasar bego!” bentak Pandan keras, lalu segera membanting hand phone-nya ke sofa.
“Dasar gila! Tuh cowok cerewet banget sih! Aku sampai nggak dikasih kesempatan ngomong.” Pandan memberi penjelasan.
“Tapi kayaknya kamu nggak usah sampai ngeluarin kata-kata kasar kayak tadi deh.” pendapat Maia yang disambut anggukan setuju Zika.
*****
“Kenapa Kakak jadi marahin aku sih, ini ‘kan bukan salahku!” Pandan kesal luar biasa.
“Sekarang kamu harus telepon ke nomor itu lagi. Minta maaf sama cowok yang kamu hina tadi.” perintah Suji, kakak Pandan, yang tampaknya terlalu mengerikan untuk ditolak.
Pandan merengut, “Iya aku bakal telpon, tapi nggak sekarang! Malam ini aku mau belajar, besok ada ulangan kimia.” jelas Pandan kasar.
“Ya udah, besok janji ya minta maaf sama dia. Kakak keluar dulu.”
“Kak Suji kenapa sih, cuma karena aku kasar sama telepon salah sambung aja marahnya sudah kayak apaan gitu. Ih, ini semua gara-gara cowok yang namanya Erga itu. Huh, sebel!” seru Pandan dalam hati, kemudian Ia melempar bantal ke pintu, tepat setelah Suji baru saja menutup pintu kamar tersebut.
*****
“Aduh...si Daun Pandan ini, pagi-pagi kok sudah manyun sih? Kenapa?”
Pandan menutup agendanya, “Eh Mai, ini nih gara-gara Erga.” keluhnya.
“Hah? Erga yang pekerja hotline psikologi itu?”
“Erga yang kemarin?” tiba-tiba suara Zika mengejutkan mereka berdua.
Maia memukul bahu Zika, “Eh dasar ember kaleng rombeng! Nyamber aja kayak bensin.”
Zika tersenyum nakal, “Biarin aja. Ngomong-ngomong ada apa nih dengan Erga?” tanya Zika sambil menarik-narik tangan Pandan.
“Enggak ada apa-apa sih, cuma karena kasus kemarin sore itu aku dimarahi abis-abisan sama Kak Suji.”
“Kok kakak kamu bisa tahu? Kamu cerita ya sama dia?” tanya Maia.
Pandan mendengus, “Rencananya sih cuma pengin bikin lucu-lucuan. Aku pikir kakak bakal ketawa, tauknya, malah marah-marah. Sebel!”
“Kenapa kakak kamu jadi marah-marah?” Zika ikut-ikutan kesal.
Pandan menghela napas, “Kamu tahu ‘kan kalau Kak Suji itu perfeksionis abis dan dia sama sekali nggak suka kalau ada orang yang kasar dan nggak menghargai orang lain.”
“Tapi aku rasa sikap Kak Suji ada benarnya juga kok. Dia cuma nggak pengin kamu jadi orang yang nggak tahu sopan santun.” ujar Maia disambut anggukan Zika yang entah kenapa menjadi satu ide dengan Maia.
“Dan parahnya, nanti sore aku harus nurunin harga diriku untuk nelpon tuh cowok buat minta maaf!” seru Pandan. “Kalau nggak, aku bakal diaduin Kakak ke Mama! Bete ‘kan?!”
Kedua gadis di depannya spontan mengangguk, bersamaan dengan dering bel pertanda pelajaran akan segera dimulai.
*****
Pandan kembali menghubungi Erga, dan beruntung kali ini Erga sendiri yang mengangkat telepon tersebut.
“Erga ya, ini Pandan. Aku yang kemarin sore salah sambung ke hotline psikologi ini. Masih ingat nggak?” tanya Pandan tak bersemangat.
“Pandan? Mmh...ada apa lagi?” suara Erga juga terdengar tak bersemangat.
“Aku mau minta maaf karena kata-kataku yang nggak sopan kemarin.”
“Oh?! Nggak apa-apa kok!” nada suara Erga menjadi lebih ramah.
“Benar nggak apa-apa? Kamu nggak marah sama aku?” Pandan merasa sangat lega, entah karena permintaan maafnya diterima atau karena Ia berhasil menyelesaikan misinya agar tidak dimarahi Mama.
“Mungkin kemarin iya, tapi sekarang nggak lagi kok. Aku juga bukan tipe pendendam. Oh ya, kemarin jadi telpon ke event organizer? Nggak salah sambung lagi ‘kan?” Erga tertawa.
“Enggak kok, nggak salah sambung lagi.” balas Pandan, juga dengan tawa.
“Ceritanya kamu mau bikin pesta ya?”
“Iya nih, pesta ulang tahunku yang ketujuh belas.” cerita Pandan, tanpa sadar kalau dirinya mulai merasa nyaman berbincang dengan Erga.
“Oh ya? Kapan?”
“Masih bulan depan kok! Mmh...Erga, kayaknya sampai sini dulu ya! Aku masih harus bikin PR.”
“Oh ya udah, selamat bikin PR dan semoga sukses ya pesta ulang tahunnya.” ucap Erga riang.
“Terima kasih! Oh iya...” teriak Pandan sebelum Erga menutup teleponnya, “Lain kali aku boleh telepon kamu lagi nggak?” tanya Pandan ragu-ragu, dan kemudian Ia pun terkejut dengan kata-katanya sendiri. “Eng maksudku...”
“Boleh kok, asal jangan marah-marah lagi aja!” goda Erga.
Pandan menutup telepon itu dengan senyuman, “Kayaknya ini cowok bisa digebetin nih!” Pikiran-pikiran nakal mulai merasuki benak Pandan.
*****
Tiga minggu berlalu sejak perkenalan tak disengaja antara Pandan dan Erga tempo hari. Pandan yang awalnya tidak menyukai sikap sok tahu Erga, lama kelamaan mulai berubah, digantikan rasa kagum dan mungkin...cinta? Who knows? Nyatanya Erga memang partner curhat yang sempurna. Pandan pun akhirnya mulai berkhayal tentang seorang pangeran misterius yang selama ini menghiasi mimpi-mimpinya. Erga-kah pangeran sempurna yang selama ini dicarinya? Pandan tidak akan tahu sebelum Ia benar-benar bertatap muka dengan Erga.
Dan suatu hari, akhirnya keinginan Pandan untuk bertemu Erga terwujud. Erga yang ternyata adalah seorang pianis terkenal itu mengundang Pandan, Maia dan Zika untuk menyaksikan konser tunggalnya di gedung kesenian Jakarta.
“Kira-kira Erga itu cakep nggak ya?”
“Zika, udah tiga puluh dua kali kamu nanya itu melulu. Sebel tauk dengernya! Kalaupun Erga cakep, dia juga nggak bakal jadi cowok kamu kok.” sahut Maia kesal.
“Yang aku bayangin selama kita saling telpon-telponan sih, dia cakep, baik, smart, dewasa, anak kuliahan boo! Dan kayaknya dia juga tajir. Wong, dia kerja di hotline service cuma iseng aja, nggak buat nyari duit. Apalagi sekarang juga mau konser piano tunggal. Ih, dia seperti pangeran di dongeng-dongeng aja deh.”
“Kayaknya kamu udah kena sindrom Cinderella complex deh.” ujar Zika. “Udah nggak usah banyak komentar lagi! Sekarang kita udah di dalam gedung pertunjukkan, jaim dikit kenapa?!” saran Pandan yang sudah pusing dengan kecerewetan kedua sahabatnya itu.
“Terus Erga-nya mana?” tanya Zika.
Maia mencibir, “Kan udah diceritain kalau Erga bakal konser piano jam 8, dan itu lima menit lagi!”
Lima menit kemudian Erga sudah beraksi memainkan beberapa simponi klasik di atas panggung. Gerak tangannya yang lincah seperti pianis Levi Gunardi tidak diperhatikan oleh Pandan, sebab gadis itu hanya memperhatikan wajah Erga yang ternyata naujubile cakep banget.
“Aku pikir kamu sudah berhasil menemukan cowok yang benar-benar sesuai dengan kriteriamu, Dan.” bisik Zika, disambut anggukkan tegas Pandan.
Setelah sebuah lagu selesai dimainkan, Erga segera berdiri. Pembawa acara sekali lagi meminta para hadirin untuk bertepuk tangan, “Berikan sambutan meriah kepada pianis berbakat Erga Wibowo yang dengan segala kekurangannya sebagai penderita tuna netra ternyata mampu berkarya layaknya orang normal.”
Pandan dan kedua sahabatnya terkejut dengan pernyataan pembawa acara tersebut, dan tanpa basa-basi Pandan segera meninggalkan kursinya.
“Pandan!” panggil Zika dan Maia yang setengah berlari mengejar gadis itu.
*****
“Mungkin Erga itu punya segalanya Mai! Tapi dia buta! Buta!” pekik Pandan sambil menangis, di pelataran parkir gedung pertunjukkan itu.
Tanpa sadar Maia menampar pipi Pandan, “Dengar ya Dan, manusia itu nggak ada yang sempurna, termasuk kamu! Kamu mungkin merasa dirimu itu cantik, pintar, kaya! Kamu mungkin juga merasa punya segalanya, tapi ingat, manusia itu nggak hanya hidup dari daging dan tulang. Manusia juga hidup dari hati dan dari perasaan!”
“Aku kecewa sama kamu Dan! Bagaimana orang bisa menghargai kamu kalau kamu sendiri nggak mau menghargai orang lain. Pandan, kita semua sama!” Zika tersenyum pahit.
Pandan berteriak, “Terserah kalian mau ngomong apa! Terserah! Aku nggak peduli! Kalian bukan sahabat yang baik!” Pandan pun berlari meninggalkan kedua sahabatnya, memanggil taksi yang lewat di depannya.
*****
Bulan sudah merangkak naik menggantikan sang surya yang mulai masuk peraduannya, namun entah mengapa jiwa dan raga Pandan tak jua mampu beristirahat. Gadis itu hanya tergolek lemah di atas ranjang, dengan air mata yang masih terus menggenangi pelupuk matanya.
Pikiran Pandan melayang pada kejadian di gedung pertunjukkan tadi sore. Wajah Erga, Maia dan Zika berseliweran di dalam benak Pandan. Membuat gadis itu merasakan sensasi aneh, antara benci, takut, marah, dan mungkin sedikit rasa sesal. Pandan sebenarnya sadar kalau Ia memang bersalah pada Erga, Maia dan Zika, tapi harga dirinya tampak terlalu tinggi untuk belajar menunduk, belajar meminta maaf. Dalam kelelahan dan sakit hati, Pandan terpelanting ke dunia mimpi, sebuah mimpi yang amat sangat tidak menyenangkan.
“Bagaimanakah rasanya duniamu sayang, bila kau yang awalnya memiliki segalanya kini menjadi tiada berarti? Apakah kau akan tetap tertawa bila setiap orang satu persatu meninggalkanmu? Akankah kau membayar mereka untuk menghargaimu?” Pandan pun terbangun dari mimpinya... menangis.
*****
Setelah mimpi itu, pada suatu sore di saat gerimis belum berpelangi, Pandan memutuskan untuk merubah pendiriannya. Pandan melenggang penuh keraguan, memasuki sebuah ruangan besar tempat Erga melatih kepekaan jarinya di atas grand piano.
“Erga...” panggil Pandan, membuat Erga menghentikan permainannya.
“Pandan?” Erga memutar tubuhnya, mencari arah darimana suara itu datang. Kemudian Ia menghela napas berat, “Kamu pasti sudah tahu keadaanku sebenarnya.”
“Aku...” Pandan berlutut di depan Erga.
“Nggak apa-apa kok, aku sudah biasa dikecewain kayak begini. Mungkin harusnya dari awal, aku sudah cerita kalau aku ini buta ya? Jadinya nggak akan kayak begini suasananya. Aku mungkin nggak pantas bergaul sama kamu...seorang perempuan yang sempurna.”
“Nggak Erga, ini bukan salah kamu.” pekik Pandan sambil terisak. “Ini semua salahku. Aku yang terlalu angkuh dan sombong.”
“Jadi kita masih bisa berteman?” bisik Erga, setelah hening sesaat.
Pandan tersenyum dan menggenggam kedua tangan Erga, “Kita akan jadi teman yang baik untuk selamanya.”
“Tapi, aku nggak bisa memberikan kamu apa-apa.”
“Nggak, tanpa sadar kamu sudah memberikan pelajaran penting bagiku.”
“Aku sudah memberikan pelajaran penting? Maksudmu?”
Pandan memberikan senyumannya yang paling manis, “Kamu tahu Ga, kamu sudah memberikan pelajaran tentang cinta, penghargaan dan kasih sayang yang sebelumnya nggak pernah aku sadari perlunya. Aku jadi paham apa yang pernah dibilang sama Zika, temanku, dan adamu membuat aku sadar kalau kita semua itu sama.”
“Terima kasih.”
“Oh ya, sabtu besok pesta ulang tahunku. Kamu mau datang ‘kan?”
Erga hanya tersenyum, dan senyuman itu menghadiahkan langit sore yang basah oleh hujan, sehelai untaian pelangi yang amat indah. Pelangi yang khusus diberikannya untuk kedewasaan Pandan.
-END-
Ceritanya sedikit terinspirasi dari kejadian waktu saya freelance jadi hot line psikologi untuk korban bom di gereja2 di Jakarta. Dari situ jadi mikir, siapapun bisa berperan jadi pendengar, no matter dia punya kekurangan fisik, yah seperti cerita inilah. Yuk dibaca.
*****
“Pandan, jangan pilih-pilih cowok kayak gitu donk. Mana ada cowok yang sekaligus pintar, cakep, tajir, dan punya kelakuan yang menurut kamu ‘normal’. Nggak ada orang sesempurna itu!” seru Zita kesal.
“Ya ada donk! Aku merasa diriku cantik, pintar, kaya dan ‘normal’. Nggak salah donk kalau aku cari cowok yang pantas buatku?”
Maia menelan ludah, maklum dengan sifat keras kepala sahabatnya itu. “Tapi jadinya pas pesta ulang tahun ketujuh belas nanti, kamu belum punya pacar donk?”
Pandan menepuk dahinya, “Iya ya! Ah sudahlah, sekarang lebih baik kita telpon ke kantor event organizer aja dulu buat ngomongin tema pestaku.”
“Ya udah, cepat telpon aja.” ujar Maia.
Pandan menekan sederet angka pada tuts hand phone-nya. Kedua temannya, Maia dan Zika yang duduk di sampingnya, mulai terlihat tidak sabar. Sementara Oleg, pudel coklat milik Pandan, sibuk menarik-narik rok abu-abu Zika karena merasa tidak diperhatikan.
“Klik...Halo selamat sore, dengan hotline psikologi 24 jam. Ada yang bisa saya bantu?” terdengar suara lelaki di ujung telepon.
“Hah?” Pandan tampak bingung.
Kening Zika berkerut, “Kenapa?”
“Kayaknya salah sambung.” ucap Pandan.
“Tidak kok, kamu tidak salah. Kamu ada di jalur yang benar. Memang sih pada awalnya agak sulit untuk menceritakan masalah kamu. Oh iya, perkenalkan, nama saya Erga.” sahutnya ramah.
“Eng...aku Pandan.”
“Oke Pandan, ada yang bisa saya bantu?”
“Mmh...aduh...” Pandan semakin bingung.
“Kalau salah sambung ya ditutup aja!” perintah Zika.
“Nggak bisa, aku...” teriak Pandan panik.
“Sepertinya kamu masih malu untuk cerita ya? Sekarang, coba kamu rileks aja. Kita ngobrol-ngobrol biasa aja dulu. Bagaimana?”
“Aduh, kok jadi ribet begini sih?” bisik Pandan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Kenapa? Mungkin pada awalnya kita bisa...” ujar Erga.
Pandan kehilangan kesabarannya, “Masalahnya ya Mas, saya tadi mau telpon kantor event organizer. Tapi yang terjadi malah nyambung ke nomor ini. Sebenarnya dari tadi saya cuma mau bilang kalau saya salah sambung! Dasar bego!” bentak Pandan keras, lalu segera membanting hand phone-nya ke sofa.
“Dasar gila! Tuh cowok cerewet banget sih! Aku sampai nggak dikasih kesempatan ngomong.” Pandan memberi penjelasan.
“Tapi kayaknya kamu nggak usah sampai ngeluarin kata-kata kasar kayak tadi deh.” pendapat Maia yang disambut anggukan setuju Zika.
*****
“Kenapa Kakak jadi marahin aku sih, ini ‘kan bukan salahku!” Pandan kesal luar biasa.
“Sekarang kamu harus telepon ke nomor itu lagi. Minta maaf sama cowok yang kamu hina tadi.” perintah Suji, kakak Pandan, yang tampaknya terlalu mengerikan untuk ditolak.
Pandan merengut, “Iya aku bakal telpon, tapi nggak sekarang! Malam ini aku mau belajar, besok ada ulangan kimia.” jelas Pandan kasar.
“Ya udah, besok janji ya minta maaf sama dia. Kakak keluar dulu.”
“Kak Suji kenapa sih, cuma karena aku kasar sama telepon salah sambung aja marahnya sudah kayak apaan gitu. Ih, ini semua gara-gara cowok yang namanya Erga itu. Huh, sebel!” seru Pandan dalam hati, kemudian Ia melempar bantal ke pintu, tepat setelah Suji baru saja menutup pintu kamar tersebut.
*****
“Aduh...si Daun Pandan ini, pagi-pagi kok sudah manyun sih? Kenapa?”
Pandan menutup agendanya, “Eh Mai, ini nih gara-gara Erga.” keluhnya.
“Hah? Erga yang pekerja hotline psikologi itu?”
“Erga yang kemarin?” tiba-tiba suara Zika mengejutkan mereka berdua.
Maia memukul bahu Zika, “Eh dasar ember kaleng rombeng! Nyamber aja kayak bensin.”
Zika tersenyum nakal, “Biarin aja. Ngomong-ngomong ada apa nih dengan Erga?” tanya Zika sambil menarik-narik tangan Pandan.
“Enggak ada apa-apa sih, cuma karena kasus kemarin sore itu aku dimarahi abis-abisan sama Kak Suji.”
“Kok kakak kamu bisa tahu? Kamu cerita ya sama dia?” tanya Maia.
Pandan mendengus, “Rencananya sih cuma pengin bikin lucu-lucuan. Aku pikir kakak bakal ketawa, tauknya, malah marah-marah. Sebel!”
“Kenapa kakak kamu jadi marah-marah?” Zika ikut-ikutan kesal.
Pandan menghela napas, “Kamu tahu ‘kan kalau Kak Suji itu perfeksionis abis dan dia sama sekali nggak suka kalau ada orang yang kasar dan nggak menghargai orang lain.”
“Tapi aku rasa sikap Kak Suji ada benarnya juga kok. Dia cuma nggak pengin kamu jadi orang yang nggak tahu sopan santun.” ujar Maia disambut anggukan Zika yang entah kenapa menjadi satu ide dengan Maia.
“Dan parahnya, nanti sore aku harus nurunin harga diriku untuk nelpon tuh cowok buat minta maaf!” seru Pandan. “Kalau nggak, aku bakal diaduin Kakak ke Mama! Bete ‘kan?!”
Kedua gadis di depannya spontan mengangguk, bersamaan dengan dering bel pertanda pelajaran akan segera dimulai.
*****
Pandan kembali menghubungi Erga, dan beruntung kali ini Erga sendiri yang mengangkat telepon tersebut.
“Erga ya, ini Pandan. Aku yang kemarin sore salah sambung ke hotline psikologi ini. Masih ingat nggak?” tanya Pandan tak bersemangat.
“Pandan? Mmh...ada apa lagi?” suara Erga juga terdengar tak bersemangat.
“Aku mau minta maaf karena kata-kataku yang nggak sopan kemarin.”
“Oh?! Nggak apa-apa kok!” nada suara Erga menjadi lebih ramah.
“Benar nggak apa-apa? Kamu nggak marah sama aku?” Pandan merasa sangat lega, entah karena permintaan maafnya diterima atau karena Ia berhasil menyelesaikan misinya agar tidak dimarahi Mama.
“Mungkin kemarin iya, tapi sekarang nggak lagi kok. Aku juga bukan tipe pendendam. Oh ya, kemarin jadi telpon ke event organizer? Nggak salah sambung lagi ‘kan?” Erga tertawa.
“Enggak kok, nggak salah sambung lagi.” balas Pandan, juga dengan tawa.
“Ceritanya kamu mau bikin pesta ya?”
“Iya nih, pesta ulang tahunku yang ketujuh belas.” cerita Pandan, tanpa sadar kalau dirinya mulai merasa nyaman berbincang dengan Erga.
“Oh ya? Kapan?”
“Masih bulan depan kok! Mmh...Erga, kayaknya sampai sini dulu ya! Aku masih harus bikin PR.”
“Oh ya udah, selamat bikin PR dan semoga sukses ya pesta ulang tahunnya.” ucap Erga riang.
“Terima kasih! Oh iya...” teriak Pandan sebelum Erga menutup teleponnya, “Lain kali aku boleh telepon kamu lagi nggak?” tanya Pandan ragu-ragu, dan kemudian Ia pun terkejut dengan kata-katanya sendiri. “Eng maksudku...”
“Boleh kok, asal jangan marah-marah lagi aja!” goda Erga.
Pandan menutup telepon itu dengan senyuman, “Kayaknya ini cowok bisa digebetin nih!” Pikiran-pikiran nakal mulai merasuki benak Pandan.
*****
Tiga minggu berlalu sejak perkenalan tak disengaja antara Pandan dan Erga tempo hari. Pandan yang awalnya tidak menyukai sikap sok tahu Erga, lama kelamaan mulai berubah, digantikan rasa kagum dan mungkin...cinta? Who knows? Nyatanya Erga memang partner curhat yang sempurna. Pandan pun akhirnya mulai berkhayal tentang seorang pangeran misterius yang selama ini menghiasi mimpi-mimpinya. Erga-kah pangeran sempurna yang selama ini dicarinya? Pandan tidak akan tahu sebelum Ia benar-benar bertatap muka dengan Erga.
Dan suatu hari, akhirnya keinginan Pandan untuk bertemu Erga terwujud. Erga yang ternyata adalah seorang pianis terkenal itu mengundang Pandan, Maia dan Zika untuk menyaksikan konser tunggalnya di gedung kesenian Jakarta.
“Kira-kira Erga itu cakep nggak ya?”
“Zika, udah tiga puluh dua kali kamu nanya itu melulu. Sebel tauk dengernya! Kalaupun Erga cakep, dia juga nggak bakal jadi cowok kamu kok.” sahut Maia kesal.
“Yang aku bayangin selama kita saling telpon-telponan sih, dia cakep, baik, smart, dewasa, anak kuliahan boo! Dan kayaknya dia juga tajir. Wong, dia kerja di hotline service cuma iseng aja, nggak buat nyari duit. Apalagi sekarang juga mau konser piano tunggal. Ih, dia seperti pangeran di dongeng-dongeng aja deh.”
“Kayaknya kamu udah kena sindrom Cinderella complex deh.” ujar Zika. “Udah nggak usah banyak komentar lagi! Sekarang kita udah di dalam gedung pertunjukkan, jaim dikit kenapa?!” saran Pandan yang sudah pusing dengan kecerewetan kedua sahabatnya itu.
“Terus Erga-nya mana?” tanya Zika.
Maia mencibir, “Kan udah diceritain kalau Erga bakal konser piano jam 8, dan itu lima menit lagi!”
Lima menit kemudian Erga sudah beraksi memainkan beberapa simponi klasik di atas panggung. Gerak tangannya yang lincah seperti pianis Levi Gunardi tidak diperhatikan oleh Pandan, sebab gadis itu hanya memperhatikan wajah Erga yang ternyata naujubile cakep banget.
“Aku pikir kamu sudah berhasil menemukan cowok yang benar-benar sesuai dengan kriteriamu, Dan.” bisik Zika, disambut anggukkan tegas Pandan.
Setelah sebuah lagu selesai dimainkan, Erga segera berdiri. Pembawa acara sekali lagi meminta para hadirin untuk bertepuk tangan, “Berikan sambutan meriah kepada pianis berbakat Erga Wibowo yang dengan segala kekurangannya sebagai penderita tuna netra ternyata mampu berkarya layaknya orang normal.”
Pandan dan kedua sahabatnya terkejut dengan pernyataan pembawa acara tersebut, dan tanpa basa-basi Pandan segera meninggalkan kursinya.
“Pandan!” panggil Zika dan Maia yang setengah berlari mengejar gadis itu.
*****
“Mungkin Erga itu punya segalanya Mai! Tapi dia buta! Buta!” pekik Pandan sambil menangis, di pelataran parkir gedung pertunjukkan itu.
Tanpa sadar Maia menampar pipi Pandan, “Dengar ya Dan, manusia itu nggak ada yang sempurna, termasuk kamu! Kamu mungkin merasa dirimu itu cantik, pintar, kaya! Kamu mungkin juga merasa punya segalanya, tapi ingat, manusia itu nggak hanya hidup dari daging dan tulang. Manusia juga hidup dari hati dan dari perasaan!”
“Aku kecewa sama kamu Dan! Bagaimana orang bisa menghargai kamu kalau kamu sendiri nggak mau menghargai orang lain. Pandan, kita semua sama!” Zika tersenyum pahit.
Pandan berteriak, “Terserah kalian mau ngomong apa! Terserah! Aku nggak peduli! Kalian bukan sahabat yang baik!” Pandan pun berlari meninggalkan kedua sahabatnya, memanggil taksi yang lewat di depannya.
*****
Bulan sudah merangkak naik menggantikan sang surya yang mulai masuk peraduannya, namun entah mengapa jiwa dan raga Pandan tak jua mampu beristirahat. Gadis itu hanya tergolek lemah di atas ranjang, dengan air mata yang masih terus menggenangi pelupuk matanya.
Pikiran Pandan melayang pada kejadian di gedung pertunjukkan tadi sore. Wajah Erga, Maia dan Zika berseliweran di dalam benak Pandan. Membuat gadis itu merasakan sensasi aneh, antara benci, takut, marah, dan mungkin sedikit rasa sesal. Pandan sebenarnya sadar kalau Ia memang bersalah pada Erga, Maia dan Zika, tapi harga dirinya tampak terlalu tinggi untuk belajar menunduk, belajar meminta maaf. Dalam kelelahan dan sakit hati, Pandan terpelanting ke dunia mimpi, sebuah mimpi yang amat sangat tidak menyenangkan.
“Bagaimanakah rasanya duniamu sayang, bila kau yang awalnya memiliki segalanya kini menjadi tiada berarti? Apakah kau akan tetap tertawa bila setiap orang satu persatu meninggalkanmu? Akankah kau membayar mereka untuk menghargaimu?” Pandan pun terbangun dari mimpinya... menangis.
*****
Setelah mimpi itu, pada suatu sore di saat gerimis belum berpelangi, Pandan memutuskan untuk merubah pendiriannya. Pandan melenggang penuh keraguan, memasuki sebuah ruangan besar tempat Erga melatih kepekaan jarinya di atas grand piano.
“Erga...” panggil Pandan, membuat Erga menghentikan permainannya.
“Pandan?” Erga memutar tubuhnya, mencari arah darimana suara itu datang. Kemudian Ia menghela napas berat, “Kamu pasti sudah tahu keadaanku sebenarnya.”
“Aku...” Pandan berlutut di depan Erga.
“Nggak apa-apa kok, aku sudah biasa dikecewain kayak begini. Mungkin harusnya dari awal, aku sudah cerita kalau aku ini buta ya? Jadinya nggak akan kayak begini suasananya. Aku mungkin nggak pantas bergaul sama kamu...seorang perempuan yang sempurna.”
“Nggak Erga, ini bukan salah kamu.” pekik Pandan sambil terisak. “Ini semua salahku. Aku yang terlalu angkuh dan sombong.”
“Jadi kita masih bisa berteman?” bisik Erga, setelah hening sesaat.
Pandan tersenyum dan menggenggam kedua tangan Erga, “Kita akan jadi teman yang baik untuk selamanya.”
“Tapi, aku nggak bisa memberikan kamu apa-apa.”
“Nggak, tanpa sadar kamu sudah memberikan pelajaran penting bagiku.”
“Aku sudah memberikan pelajaran penting? Maksudmu?”
Pandan memberikan senyumannya yang paling manis, “Kamu tahu Ga, kamu sudah memberikan pelajaran tentang cinta, penghargaan dan kasih sayang yang sebelumnya nggak pernah aku sadari perlunya. Aku jadi paham apa yang pernah dibilang sama Zika, temanku, dan adamu membuat aku sadar kalau kita semua itu sama.”
“Terima kasih.”
“Oh ya, sabtu besok pesta ulang tahunku. Kamu mau datang ‘kan?”
Erga hanya tersenyum, dan senyuman itu menghadiahkan langit sore yang basah oleh hujan, sehelai untaian pelangi yang amat indah. Pelangi yang khusus diberikannya untuk kedewasaan Pandan.
-END-