Cerpen ini ceritanya agak sedih tapi sekaligus aneh. Ditulis pada th 2001. udah lama ya. Berbarengan di tahun2 pertama masuk kuliah Psikologi, makanya ceritanya agak-agak berkaitan dengan masalah kejiwaan. Selamat membaca.
*****
Saat keliaran merasuk sukma: Jakarta, 13 April 2001
Aku terhenyak lemah tak berdaya. Kaki-kakiku tertekuk beralaskan batu-batu cadas yang tajam. Mataku nanar menatap rumahku yang kini telah menjadi puing-puing. Semuanya runtuh, hitam dan asap masih melayang di sela puing-puing itu. Istanaku telah terbakar, telah luluh lantak dimakan api. Tapi itu belum apa-apa. Di dalam sana Oma yang sangat kusayangi ikut menjadi korban keganasan sang bara.
Kumelihat sekelilingku, sirine ambulans menguing-nguing nyaring. Petugas pemadam kebakaran berlutut di dalam puing, berusaha mencari jenasah omaku.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, harus tertawa atau menangis. Aku tidak mampu lagi menangis, air mataku sudah tak sanggup mengalir lagi. Kuusapkan tangan ke wajahku, siapa tahu air mata itu keluar tanpa kusadari. Tapi tidak! Mataku benar-benar kering.
Sebuah lengan memelukku lalu membisikkan serangkai kalimat yang membuatku ingin tertawa. “Tasya, jangan sedih ya?! Kamu harus tabah. Aku akan selalu disampingmu!” seru suara itu. Ah, ini suara Raka.
“Tenang saja,” ujarku pada pasangan hatiku itu. “Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya sedih!” Aku menyunggingkan senyum di bibir membuat kening Raka mengernyit heran.
Yah, rasa sedih itu sudah tidak ada lagi dalam diriku. Bahkan dalam diri siapa pun yang memiliki kisah hidup sepertiku. Enam bulan yang lalu adik kecilku…Ochi, dia baru lima tahun. Dia masih lucu-lucunya, pipinya yang tembam tidak pernah lepas dari cubitan orang-orang yang melihatnya. Tapi, sebuah truk besar menghantamnya. Menghempaskannya di atas aspal dan membuatnya tak berdaya. Dia mati! Tidak! Itu bukan salahku! Bukan salahku kalau dia melepaskan gandengan tanganku. Bukan aku yang harus disalahkan!
Heh… itu baru satu, tepat tiga bulan kemudian orangtuaku berpisah. Bunda lari dengan lelaki lain sementara Ayah… terpuruk dalam kesedihan mendalam. Menghabiskan waktunya demi minuman keras hingga akhirnya... mati.
Aku tertawa perlahan, membuat Raka kembali memelukku. Dan sayup suaranya merambah sisi-sisi kalbuku. “Tenang ya Tas, aku akan selalu mendampingimu.”
Kabut kelam itu perlahan musnah ketika Oma memintaku tinggal bersamanya. Omaku yang cantik, yang selalu punya beragam cara untuk menghiburku dan yang selalu punya beraneka makanan yang enak untukku. Aku tersenyum mengenangnya. Bersama Oma aku kembali mendapatkan surgaku yang hilang. Tapi itu tak lama, yah sekarang semua telah terjadi dan aku, kembali seperti semula. Sendiri lagi! Ah tidak, aku salah, aku masih memiliki Raka. Seorang lelaki yang paling baik sedunia, kurasa? Dan Jenny, dia sahabatku tersayang. He…he… aku tertawa riang hingga bahuku berguncang-guncang. Namun senyumku mendadak menghilang, semua tiba-tiba menjadi gelap dan… tidak!!
*****
“Bunda! Ochi sayang! Ah, Ayah! Oma!” mereka semua memelukku erat.
“Jangan menangis dong!” Ayah menghiburku. Sementara Oma memberikan sebuah nampan penuh dengan kue-kue kesukaanku.
“Tasya! Lihat, Oma memasak kue-kue kesukaanmu! Kamu mau?”
“Ochi juga mau Oma!” si kecil Ochi merajuk. Aku memeluk adik kecilku erat lalu memasukkan sebutir kismis ke dalam mulutnya. Aku tertawa bahagia bersama mereka. Aku melompat kegirangan sambil menggandeng erat tangan mungil Ochi. Ah, tawaku berhenti… mereka menghilang! Tidak! Jangan tinggalkan aku, aku mau ikut kalian!!
“Tasya!”
Pekikan itu membuatku sadar, aku membuka mataku dan mendapati semuanya putih, “Dimana aku?” tanyaku pelan.
“Syukurlah, kamu akhirnya sadar. Aku sudah takut kalau kamu kenapa-kenapa!”
“Raka?” tanyaku
“Iya ini aku. Setelah peristiwa itu,” Raka memelankan suaranya. “Kamu pingsan, dokter bilang kamu terkena Afekt Astenis*.”
Aku melihat sekelilingku, mmh… pantas semuanya putih, aku berada di rumah sakit. Mendadak pintu kamar terbuka, seorang gadis manis melangkah masuk, di tangannya ada sekeranjang buah-buahan.
“Tasya, kamu sudah sadar? Jenny senang deh!” gadis itu mendekati ranjangku. “Kamu bikin kami panik aja, kamu udah nggak sadar selama tiga hari! Untung, mas-mu ini setia mendampingimu!” Jenny mengerlingkan matanya kepada Raka.
Aku tersenyum kepada mereka, “Oma dimana?” tanyaku spontan.
Mereka saling berpandangan, Raka angkat bicara, “Maafkan aku tapi… Oma kamu sudah meninggal,” cerita Raka penuh dengan nada keprihatinan.
Aku menatap mereka dan kemudian merasakan sensasi aneh di dadaku, “Apakah Oma sudah dikuburkan?” tanyaku tanpa ekspresi.
Raka ragu-ragu menjawab, “Jasad Oma hanya tinggal abu, dan kini abunya telah ditebarkan di laut.”
“Sudahlah,” Jenny memotong pembicaraan. “Sekarang kamu harus makan buah-buahan yang aku bawa ini. Pasti kamu lapar ‘kan?” Jenny mengulurkan sebutir anggur ke mulutku.
“Tidak! Aku tidak mau!” seruku.
“Tapi, kamu harus…” bujuk Jenny.
“Enggak!!!” aku memekik.
“Sudahlah Jen, jangan dipaksa,” Raka menepuk bahu Jenny, “Oh iya, kemarin tante kamu datang kesini.”
“Tante? Tante siapa?” tanyaku tak yakin karena setahuku ayah dan bunda sama-sama anak tunggal.
“Dia adik papamu. Katanya datang dari Belanda. Kamu nggak kenal?” tanya Jenny.
Aku mengernyitkan kening, “Lelucon apa lagi ini?”
Raka menggigit bibirnya, “Ini bukan lelucon. Nanti kalau kamu sudah sembuh, kamu akan tinggal bersamanya. Dia yang akan merawatmu. Kamu senang ‘kan?”
Aku tetap tak berekspresi, lalu tak sadar kugoyangkan kepalaku. Dan entah kenapa rasanya aku ingin tertawa keras. Rasanya aku bahagia sekali.
“Tas, Tasya… kamu nggak apa-apa ‘kan?” suara Jenny penuh kepanikan, “Raka! Cepat panggil dokter! Cepat!” Jenny berteriak.
Melihat keadaan itu aku semakin bahagia dan tertawa keras sekali.
*****
Raka menggandeng tanganku, membawaku ke dalam ruang praktek seorang dokter. Dokter itu sedang duduk di sebuah kursi besar, usianya sekitar tiga puluhan dan langsung tersenyum ketika melihatku masuk. Senyum yang aneh menurutku.
“Selamat datang, saya dokter Adinda. Kamu pasti Tasya?” tanya dokter itu ramah.
“Iya dokter,” Raka mendahului menjawab.
“Oke. Sekarang kamu boleh tinggalin Tasya di sini,” kata dokter itu pada Raka.
Lalu Raka melangkah keluar dari ruang praktek, “Jangan!” ujarku lemah.
“Nggak apa-apa Tasya, kamu aman kok bersama saya!” dokter Adinda setengah becanda, tapi aku tidak percaya.
Aku melangkahkan kaki dan duduk di sebuah sofa empuk berwarna hijau.
“Nah, kamu duduk di sini ya? Enak ‘kan?” tanya dokter itu.
Aku memaksakan senyum di bibirku.
“Sekarang enaknya kita ngobrolin apaan ya? Oh ya, kamu sudah nonton film Asterix? Lucu ya?!” seru dokter itu, aku hanya diam memandangnya. Entah apa yang merasuk dalam jiwaku.
“Wah, mungkin kamu belum pernah nonton. Kapan-kapan kita nonton bareng ya!” ajak dokter itu.
Aku tetap diam tak bergeming. Dan tiba-tiba semua bayangan itu datang dihadapanku. Ada Oma yang sedang menari berputar-putar bersama Ochi. Dan di belakangnya ada ayah dan bunda yang sedang duduk di kursi malas mereka. Mereka semua memandang ramah ke arahku. Lalu mendadak muncul sebuah truk besar menyambar mereka dan sesudah itu timbul api yang menyala besar membakar semuanya.
“Tidak!!” aku berteriak histeris. Tanganku menggapai segala yang ada disekelilingku dan melemparkannya ke sembarang arah.
“Tasya. Tenang sayang!” dokter itu menghujamkan suntikan ke lenganku, membuatku lemas dan tak ingat apa-apa lagi sampai keesokkan harinya aku tersadar di sebuah ruangan yang aneh. Di salah satu sel rumah sakit jiwa.
*****
Aku berjalan menuju jendela sel dan melihat Raka dan Jenny di luar, ada dokter Adinda juga di sana, berdiri dekat jendela. Aku mendengar suara mereka yang akan selalu mengiang-ngiang di telingaku.
“Rencana kalian berhasil! Akhirnya kita dapat membuat gadis itu gila. Suntikan LSD* akan membuat imajinasinya tak terkontrol dan lama-lama dapat menjadikannya schizopren*,” seru dokter Adinda.
“Iya Mama! Terima kasih sepupuku sayang!” Jenny melirikkan matanya ke arah jendela kamarku. “Dan kini aku dan Raka bisa bersama lagi!” Jenny tersenyum dan disambut pandangan penuh arti dari Raka.
“Lebih dari itu, sebagai satu-satunya keluarga yang masih ada, pengadilan pasti akan memberikan harta warisan ayah Tasya kepada kita!” pekik girang dokter Adinda.
Aku tertawa juga bersama mereka. Hey…Jenny sahabatku, eng…sepupuku? Dokter yang disebut Mama oleh Jenny berarti tanteku? Dokter… he… tante? Bingung ah…dan mereka membuatku gila! He… he… he. Lucu sekali. Tapi wajar ‘kan orang bisa gila, pikirku! Aku pun terbahak-bahak, rasanya belum pernah aku segembira sekarang.
Kemudian sayup-sayup kudengar bisikan di telingaku, “Tasya, aku akan membuatmu sembuh, akan kukembalikan semua harta itu kepadamu! Tenang saja sayang,” sahut suara itu penuh nada dendam. Dan ketika kutengokkan kepala kesamping kumelihat bunda tersenyum kepadaku. Ah, imajinasiku lagi, kurasa?
-END-
*Afekt Astenis: kesedihan atau kegembiraan atau kelemahan fisik yang berlebihan dapat mengakibatkan seseorang pingsan.
*LSD: Lysergic Acid Diethylamide, zat yang menyebabkan perasaan & emosi tak terkontrol sehingga mengakibatkan halusinasi.
*Schizopren: gangguan kejiwaan.
*****
Saat keliaran merasuk sukma: Jakarta, 13 April 2001
Aku terhenyak lemah tak berdaya. Kaki-kakiku tertekuk beralaskan batu-batu cadas yang tajam. Mataku nanar menatap rumahku yang kini telah menjadi puing-puing. Semuanya runtuh, hitam dan asap masih melayang di sela puing-puing itu. Istanaku telah terbakar, telah luluh lantak dimakan api. Tapi itu belum apa-apa. Di dalam sana Oma yang sangat kusayangi ikut menjadi korban keganasan sang bara.
Kumelihat sekelilingku, sirine ambulans menguing-nguing nyaring. Petugas pemadam kebakaran berlutut di dalam puing, berusaha mencari jenasah omaku.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, harus tertawa atau menangis. Aku tidak mampu lagi menangis, air mataku sudah tak sanggup mengalir lagi. Kuusapkan tangan ke wajahku, siapa tahu air mata itu keluar tanpa kusadari. Tapi tidak! Mataku benar-benar kering.
Sebuah lengan memelukku lalu membisikkan serangkai kalimat yang membuatku ingin tertawa. “Tasya, jangan sedih ya?! Kamu harus tabah. Aku akan selalu disampingmu!” seru suara itu. Ah, ini suara Raka.
“Tenang saja,” ujarku pada pasangan hatiku itu. “Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya sedih!” Aku menyunggingkan senyum di bibir membuat kening Raka mengernyit heran.
Yah, rasa sedih itu sudah tidak ada lagi dalam diriku. Bahkan dalam diri siapa pun yang memiliki kisah hidup sepertiku. Enam bulan yang lalu adik kecilku…Ochi, dia baru lima tahun. Dia masih lucu-lucunya, pipinya yang tembam tidak pernah lepas dari cubitan orang-orang yang melihatnya. Tapi, sebuah truk besar menghantamnya. Menghempaskannya di atas aspal dan membuatnya tak berdaya. Dia mati! Tidak! Itu bukan salahku! Bukan salahku kalau dia melepaskan gandengan tanganku. Bukan aku yang harus disalahkan!
Heh… itu baru satu, tepat tiga bulan kemudian orangtuaku berpisah. Bunda lari dengan lelaki lain sementara Ayah… terpuruk dalam kesedihan mendalam. Menghabiskan waktunya demi minuman keras hingga akhirnya... mati.
Aku tertawa perlahan, membuat Raka kembali memelukku. Dan sayup suaranya merambah sisi-sisi kalbuku. “Tenang ya Tas, aku akan selalu mendampingimu.”
Kabut kelam itu perlahan musnah ketika Oma memintaku tinggal bersamanya. Omaku yang cantik, yang selalu punya beragam cara untuk menghiburku dan yang selalu punya beraneka makanan yang enak untukku. Aku tersenyum mengenangnya. Bersama Oma aku kembali mendapatkan surgaku yang hilang. Tapi itu tak lama, yah sekarang semua telah terjadi dan aku, kembali seperti semula. Sendiri lagi! Ah tidak, aku salah, aku masih memiliki Raka. Seorang lelaki yang paling baik sedunia, kurasa? Dan Jenny, dia sahabatku tersayang. He…he… aku tertawa riang hingga bahuku berguncang-guncang. Namun senyumku mendadak menghilang, semua tiba-tiba menjadi gelap dan… tidak!!
*****
“Bunda! Ochi sayang! Ah, Ayah! Oma!” mereka semua memelukku erat.
“Jangan menangis dong!” Ayah menghiburku. Sementara Oma memberikan sebuah nampan penuh dengan kue-kue kesukaanku.
“Tasya! Lihat, Oma memasak kue-kue kesukaanmu! Kamu mau?”
“Ochi juga mau Oma!” si kecil Ochi merajuk. Aku memeluk adik kecilku erat lalu memasukkan sebutir kismis ke dalam mulutnya. Aku tertawa bahagia bersama mereka. Aku melompat kegirangan sambil menggandeng erat tangan mungil Ochi. Ah, tawaku berhenti… mereka menghilang! Tidak! Jangan tinggalkan aku, aku mau ikut kalian!!
“Tasya!”
Pekikan itu membuatku sadar, aku membuka mataku dan mendapati semuanya putih, “Dimana aku?” tanyaku pelan.
“Syukurlah, kamu akhirnya sadar. Aku sudah takut kalau kamu kenapa-kenapa!”
“Raka?” tanyaku
“Iya ini aku. Setelah peristiwa itu,” Raka memelankan suaranya. “Kamu pingsan, dokter bilang kamu terkena Afekt Astenis*.”
Aku melihat sekelilingku, mmh… pantas semuanya putih, aku berada di rumah sakit. Mendadak pintu kamar terbuka, seorang gadis manis melangkah masuk, di tangannya ada sekeranjang buah-buahan.
“Tasya, kamu sudah sadar? Jenny senang deh!” gadis itu mendekati ranjangku. “Kamu bikin kami panik aja, kamu udah nggak sadar selama tiga hari! Untung, mas-mu ini setia mendampingimu!” Jenny mengerlingkan matanya kepada Raka.
Aku tersenyum kepada mereka, “Oma dimana?” tanyaku spontan.
Mereka saling berpandangan, Raka angkat bicara, “Maafkan aku tapi… Oma kamu sudah meninggal,” cerita Raka penuh dengan nada keprihatinan.
Aku menatap mereka dan kemudian merasakan sensasi aneh di dadaku, “Apakah Oma sudah dikuburkan?” tanyaku tanpa ekspresi.
Raka ragu-ragu menjawab, “Jasad Oma hanya tinggal abu, dan kini abunya telah ditebarkan di laut.”
“Sudahlah,” Jenny memotong pembicaraan. “Sekarang kamu harus makan buah-buahan yang aku bawa ini. Pasti kamu lapar ‘kan?” Jenny mengulurkan sebutir anggur ke mulutku.
“Tidak! Aku tidak mau!” seruku.
“Tapi, kamu harus…” bujuk Jenny.
“Enggak!!!” aku memekik.
“Sudahlah Jen, jangan dipaksa,” Raka menepuk bahu Jenny, “Oh iya, kemarin tante kamu datang kesini.”
“Tante? Tante siapa?” tanyaku tak yakin karena setahuku ayah dan bunda sama-sama anak tunggal.
“Dia adik papamu. Katanya datang dari Belanda. Kamu nggak kenal?” tanya Jenny.
Aku mengernyitkan kening, “Lelucon apa lagi ini?”
Raka menggigit bibirnya, “Ini bukan lelucon. Nanti kalau kamu sudah sembuh, kamu akan tinggal bersamanya. Dia yang akan merawatmu. Kamu senang ‘kan?”
Aku tetap tak berekspresi, lalu tak sadar kugoyangkan kepalaku. Dan entah kenapa rasanya aku ingin tertawa keras. Rasanya aku bahagia sekali.
“Tas, Tasya… kamu nggak apa-apa ‘kan?” suara Jenny penuh kepanikan, “Raka! Cepat panggil dokter! Cepat!” Jenny berteriak.
Melihat keadaan itu aku semakin bahagia dan tertawa keras sekali.
*****
Raka menggandeng tanganku, membawaku ke dalam ruang praktek seorang dokter. Dokter itu sedang duduk di sebuah kursi besar, usianya sekitar tiga puluhan dan langsung tersenyum ketika melihatku masuk. Senyum yang aneh menurutku.
“Selamat datang, saya dokter Adinda. Kamu pasti Tasya?” tanya dokter itu ramah.
“Iya dokter,” Raka mendahului menjawab.
“Oke. Sekarang kamu boleh tinggalin Tasya di sini,” kata dokter itu pada Raka.
Lalu Raka melangkah keluar dari ruang praktek, “Jangan!” ujarku lemah.
“Nggak apa-apa Tasya, kamu aman kok bersama saya!” dokter Adinda setengah becanda, tapi aku tidak percaya.
Aku melangkahkan kaki dan duduk di sebuah sofa empuk berwarna hijau.
“Nah, kamu duduk di sini ya? Enak ‘kan?” tanya dokter itu.
Aku memaksakan senyum di bibirku.
“Sekarang enaknya kita ngobrolin apaan ya? Oh ya, kamu sudah nonton film Asterix? Lucu ya?!” seru dokter itu, aku hanya diam memandangnya. Entah apa yang merasuk dalam jiwaku.
“Wah, mungkin kamu belum pernah nonton. Kapan-kapan kita nonton bareng ya!” ajak dokter itu.
Aku tetap diam tak bergeming. Dan tiba-tiba semua bayangan itu datang dihadapanku. Ada Oma yang sedang menari berputar-putar bersama Ochi. Dan di belakangnya ada ayah dan bunda yang sedang duduk di kursi malas mereka. Mereka semua memandang ramah ke arahku. Lalu mendadak muncul sebuah truk besar menyambar mereka dan sesudah itu timbul api yang menyala besar membakar semuanya.
“Tidak!!” aku berteriak histeris. Tanganku menggapai segala yang ada disekelilingku dan melemparkannya ke sembarang arah.
“Tasya. Tenang sayang!” dokter itu menghujamkan suntikan ke lenganku, membuatku lemas dan tak ingat apa-apa lagi sampai keesokkan harinya aku tersadar di sebuah ruangan yang aneh. Di salah satu sel rumah sakit jiwa.
*****
Aku berjalan menuju jendela sel dan melihat Raka dan Jenny di luar, ada dokter Adinda juga di sana, berdiri dekat jendela. Aku mendengar suara mereka yang akan selalu mengiang-ngiang di telingaku.
“Rencana kalian berhasil! Akhirnya kita dapat membuat gadis itu gila. Suntikan LSD* akan membuat imajinasinya tak terkontrol dan lama-lama dapat menjadikannya schizopren*,” seru dokter Adinda.
“Iya Mama! Terima kasih sepupuku sayang!” Jenny melirikkan matanya ke arah jendela kamarku. “Dan kini aku dan Raka bisa bersama lagi!” Jenny tersenyum dan disambut pandangan penuh arti dari Raka.
“Lebih dari itu, sebagai satu-satunya keluarga yang masih ada, pengadilan pasti akan memberikan harta warisan ayah Tasya kepada kita!” pekik girang dokter Adinda.
Aku tertawa juga bersama mereka. Hey…Jenny sahabatku, eng…sepupuku? Dokter yang disebut Mama oleh Jenny berarti tanteku? Dokter… he… tante? Bingung ah…dan mereka membuatku gila! He… he… he. Lucu sekali. Tapi wajar ‘kan orang bisa gila, pikirku! Aku pun terbahak-bahak, rasanya belum pernah aku segembira sekarang.
Kemudian sayup-sayup kudengar bisikan di telingaku, “Tasya, aku akan membuatmu sembuh, akan kukembalikan semua harta itu kepadamu! Tenang saja sayang,” sahut suara itu penuh nada dendam. Dan ketika kutengokkan kepala kesamping kumelihat bunda tersenyum kepadaku. Ah, imajinasiku lagi, kurasa?
-END-
*Afekt Astenis: kesedihan atau kegembiraan atau kelemahan fisik yang berlebihan dapat mengakibatkan seseorang pingsan.
*LSD: Lysergic Acid Diethylamide, zat yang menyebabkan perasaan & emosi tak terkontrol sehingga mengakibatkan halusinasi.
*Schizopren: gangguan kejiwaan.