Ini adalah cerpen pertama yang dimuat di Majalah Gadis sekitar tahun 2000-2001 saya lupa detailnya. Waktu itu nama pena saya Rendts. Ceritanya roman-roman gitu deh. Psst, tapi sedikit banyak ceritanya based on true story loh ;p
Ini adalah titik tonggak yang merubah saya menjadi lebih percaya diri dan yakin untuk berkarir menjadi penulis.
*****
Terkadang janji memang tak bisa dipegang, namun tetaplah percaya bahwa segalanya akan berhasil.
“Anya, kamu kenapa sedih?” tanya Christy perlahan, “Kita khan lagi reunian, tuh yang lain pada ketawa-ketawa. Udah nikmati aja suasana ini!” sambung Christy.
“Hah, aku enggak kenapa-kenapa kok Chris, aku cuma kecewa…udahlah aku mau nikmati pesta ini seperti kata kamu.” jawab Anya.
Malam itu merupakan pentas seni sekaligus reuni bagi alumnus SMP Bunga Bangsa. Anya telah menanti reuni sejak lama, dia ingin sekali bertemu Yana, cinta pertamanya. Tapi sampai acara ini hampir selesai pangeran yang ditunggunya itu belum juga muncul.
“Christy kita pulang aja yuk. Aku bosen!” seru Anya tertahan.
“Nya, katanya mau ketemu sama Yana?” sahut Christy sambil tak henti-hentinya memasukkan spaghetti ke mulutnya.
“Kayaknya dia nggak datang. Mungkin juga dia udah nggak inget sama aku. Mungkin juga dia punya acara yang lebih penting daripada pesta reuni ini! Kamu tahu khan dia orangnya kayak apa?” tandas Anya.
“Mm…tahu, dia itu tinggi, rambutnya hitam, kulitnya kecoklat-coklatan, jago main bola trus…”
“Udah ah, nggak nyambung! Yang pasti sih dia itu nyebelin!” seru Anya seraya menyambar tas hitamnya dan bergegas keluar.
“Anya…tungguin dong! Aduh…” seru Christy sambil masih mengunyah spaghetti.
Malam itu berakhir buruk, mungkin itu yang dirasa Anya. Seminggu penuh dia mempersiapkan dirinya, dia ingin terlihat cantik di depan Yana, tapi semuanya percuma.
“Aku memang gila. Aku masih mengharapkan cintanya. Hah.. padahal belum tentu dia masih sayang sama aku. Kalaupun masih pasti rasa itu sudah lama hilang. Ooh…” keluh Anya dalam hati.
“Nya, ada telpon dari Christy!” teriak mama membangunkan Anya dari lamunannya.
“Hallo Chris ada apa?” tanya Anya tak bergairah.
“Aduh Non, masih sedih aja? Khan udah aku bilang, lebih baik cari cowok yang lain aja. Cinta kalian tuh cuma cinta monyet, cinta anak kecil.”
“Chris, udah berapa kali aku bilang. Dia itu cinta pertamaku. Kamu inget juga khan kata-katanya!” ingatan Anya kembali ke masa lima tahun yang lalu saat mereka masih SMP.
“Anya, aku sayang sama kamu, tapi kita pacarannya nanti aja ya. Kalau kita udah besar, kalau kita udah kuliah.”
“Aduh Anya, omongannya aja masih kayak anak kecil gitu. Kamu percaya kata-katanya? Sekarang setelah kamu kuliah terbukti nggak? Lagipula dia khan bisa nelpon atau kirim surat. Dengan cara itu hubungan kalian masih tetap terjalin.” sahut Christy.
“Aku percaya kok kata-katanya, walaupun waktu itu kita sama-sama masih kecil. Dia juga nelpon aku kok, aku juga sering nulis surat ke dia.” bantah Anya.
“Dia telpon kamu? Bisa dihitung khan? Pernah juga nggak dia bales semua surat-surat kamu?” tanya Christy ketus.
“Ah, kamu nyalahin aku terus. Emang sih kita nggak pernah berkomunikasi lagi, tapi itu nggak menyurutkan rasa cintaku.”
“Hah, susah ngomong sama kamu. Kamu sudah terperangkap pada cinta semu yang nggak ada harapannya.” tegur Christy lalu menutup telponnya.
“Huh, dasar nggak tahu perasaan orang!” seru Anya dongkol.
Tapi kata-kata Christy ada benarnya juga, Anya mulai menyadari semuanya, semua ucapan Christy meresap ke dalam kalbunya dan membuatnya tiba-tiba membenci Yana.
*****
“Eh, kamu Yana khan?”
“Kamu… Christy ya? Eh, apa kabar?” seru Yana mengulurkan tangannya.
“Nggak kebayang bisa ketemu kamu di Stadion ini. Lagi ngapain?” tanya Christy menerima uluran tangan Yana.
“Oh, aku memang rutin latihan bola di sini. Apalagi sekarang udah deket musim kompetisi.”
“Wah, masih main bola aja ya? Oh iya waktu itu kok nggak dateng ke reunian SMP. Anya nyariin loh!” seru Christy.
“Anya? Eng… kenapa dia nyariin aku?”
“Kamu pasti lupa deh, tapi… kamu masih suka nggak sih sama dia?” tanya Christy memastikan.
“Aduh…itu khan cerita lalu.”
“Berarti kamu nggak punya perasaan lagi sama dia?” Christy kembali memastikan.
“Nggak tahu ah, semua sudah lewat. Udah dulu ya, aku sudah telat nih.” sahut Yana pendek, lalu beranjak meninggalkan Christy sambil melambaikan tangannya.
“Anya, kamu nggak percaya kata-kata aku sih.” sahut Christy dalam hatinya.
*****
Sore itu langit bermuram durja. Awannya menggumpal siap menjatuhkan sari-sari kehidupannya ke bumi. Anya berjalan sendiri di sudut jalan. Hatinya benar-benar sudah hancur, kemarin Christy menceritakan pertemuannya dengan Yana di Stadion. Dan sekarang dia nekat menemui Yana untuk membuktikan ucapan Christy. Anya mempererat kepalan tangannya, sweaternya tak cukup tebal untuk menahan hembusan angin sore itu, apalagi rintik hujan mulai berjatuhan menimpanya. Anya berlari menuju balkon stadion dan duduk diam di sudutnya.
“Mmh…hujan. Pasti dia nggak akan latihan.” seru Anya dalam hati.
Namun perkiraan Anya ternyata salah sebab Yana dan kawan-kawannya tetap berlatih walau hujan mulai menderas.
“Aduh Yana, kamu masih seperti dulu. Kamu tidak berubah. Kira-kira dia masih kenal aku nggak ya? Rambut panjangku ini sepertinya merubah tampak wajahku.” Anya tertawa dalam hati.
Selama dua jam Yana dan kawan-kawannya masih tetap berlatih, sama seperti Anya yang masih setia duduk di singgasananya. Lagipula Anya sudah terbiasa setia menunggu, lima tahun menunggu saja dia mampu apalagi sekarang, hanya dua jam. Yah, walaupun penantiannya selama ini tidak ada gunanya.
Lapangan bola itu perlahan-lahan menyepi. Satu persatu teman-teman Yana beranjak pulang, tinggal Yana sendiri yang masih sibuk menendang-nendang bola itu ke gawang. Namun itu tak lama, karena tiba-tiba Yana jatuh tergeletak di bibir lapangan.
“Ya Tuhan, Yana!” seru Anya lalu berlari menuju lapangan. Dengan sekuat tenaga Anya mengangkat tubuh Yana kedalam ruang ganti yang tepat berada di depan mereka.
“Aduh Yana…sadar dong!” seru Anya sambil terengah-engah. Tangannya sibuk mengeringkan air di wajah Yana.
“Eng…” Yana mengerang perlahan. Matanya yang terkatup perlahan-lahan terbuka.
“Oh, syukurlah kamu akhirnya sadar.” Anya menghela lega.
“Anya?!” tanya Yana setengah tak percaya.
“Eng… iya aku Anya, kamu masih inget aku khan? Ta…tadi aku lihat kamu pingsan di lapangan, jadi aku bawa kamu ke ruang ganti ini aja.” jelas Anya.
Yana terduduk, diambilnya handuk yang ada di depannya. Lalu dia menatap Anya lembut membuat pipi Anya tiba-tiba panas.
“Anya, mungkin aku salah. Pertemuanku dengan Christy kemarin mengembalikan ingatanku ke masa kecil kita dulu. Dan dia juga bilang kamu masih mengharapkan janjiku. Tapi… semua itu sudah berlalu.”
“Enggak…enggak Yana, kamu pasti becanda, kamu…”
Yana menggenggam tangan Anya, “Itu semua sudah lewat, Nya!” seru Yana.
Serasa disambar petir Anya berdiri, dilepaskannya genggaman Yana. Hancur semua. Penantiannya selama ini hanyalah sia-sia belaka. “Aku memang bodoh, aku…” teriak Anya dalam hatinya. Kemudian dia berlari meninggalkan Yana, keluar dari tempat sialan itu. Dia terus berlari menembus hujan yang masih turun dengan derasnya.
“Anya! Anya!” Yana berteriak memanggil Anya. Bagaimana pun juga perbuatannya ini salah. Dia membiarkan Anya menembus derasnya hujan.
“Oh, tidak. Aku harus menyusulnya!” seru Yana namun kepalanya tiba-tiba mendenyut. Dan sambil memegang kepalanya Yana mengejar Anya. Terlambat! Sesampainya di jalan raya sebuah truk besar tiba-tiba menyambar tubuh Anya tepat di depan mata Yana.
“Anyaaaaa!” teriak Yana lalu menghampiri tubuh Anya yang tergeletak bersimbah darah, “Nya, bangun!” Yana menggoncang-goncangkan tubuh Anya. Namun dia juga sudah tidak kuat, sakit kepala tadi kembali menyerangnya. Dan tubuhnya pun lunglai di samping Anya.
*****
“Anya, akhirnya kita bertemu lagi. Eng…nampaknya kamu semakin cantik saja.”
“Ah, Yana kamu masih saja senang menggoda seperti dulu. Kamu juga semakin dewasa. Aku senang melihat kamu lagi.”
“Anya, kamu masih ingat janji kita khan?”
“Iya. Aku selalu ingat janji itu. Selalu…”
“Sekarang aku telah menepati janji itu. Kamu bahagia?”
“Sangat bahagia! Akhirnya tidak ada yang dapat memisahkan kita.”
*****
“Cepat suster, kita harus melakukan operasi! Bagaimana tekanan darahnya?”
“Tensi 140/90. Dok, pasien yang satu lagi.”
“Siapa?”
“Lelaki, pasangan wanita ini.”
“Kenapa?”
“Dokter yang lain tidak ada.”
“Ya, Tuhan kemana mereka? Oke, cari co-as yang kebetulan jaga!”
“Baik dokter!”
*****
“Yana, kita akan pergi kemana?”
“Kamu belum pernah melihat salju khan?”
“Memangnya kamu mau ajak aku ke mana?”
“Ke Pegunungan Alpen.”
“Tapi di sana khan dingin sekali.”
“Aku akan memelukmu erat bila nanti kau kedinginan.”
*****
“Bagaimana dengan putri kami dok?”
“Dia masih dalam keadaan coma. Kami akan terus berusaha Pak, Bu. Namun anda harus tabah karena benturan pada kecelakaan tersebut mengakibatkan gegar otak ringan.” jelas Dokter Dimas.
Christy berlari tergopoh-gopoh mendekati orang tua Anya, “Tante, bagaimana dengan Anya?”
“Masih coma…” seru ayah Anya sambil melingkarkan tangan ke bahu istrinya.
“Hmm…bagaimana dengan Yana?” tanya Christy lagi.
“Anak lelaki itu? Tadi kami melihat orang tuanya. Dokter bilang dia terkena vertigo*.”
“Tapi keadaannya…tidak gawat khan?”
“Lebih baik kamu bertanya pada Dokter Dimas.” sahut ayah Anya.
Christy berjalan meninggalkan mereka menuju kamar kerja Dokter Dimas.
“Dokter, saya Christy, temannya Yana Kusuma. Bagaimana keadaannya?”
“Saya rasa dia akan baik-baik saja dan mungkin sekarang dia sudah sadar. Kamu bisa menjenguknya di..ehm sebentar. Kamar 107.”
“Oke dok, terima kasih.”
*****
Christy memasuki kamar 107 dan menemukan Yana masih belum sadar. Lalu dia duduk di samping tempat tidur Yana.
“Yana, kamu cepat sadar donk. Anya butuh kamu.”
Sekonyong-konyong mendengar perkataan Christy, perlahan mata Yana terbuka. “Eng…Anya. Anya dimana?” tanya Yana lemah.
“Jangan bangun dulu, dia masih di ICU.” ucap Christy sambil membetulkan letak bantal Yana.
“Ah, nggak… mungkin. Baru… saja aku melihat dia di… sampingku. Kami, heh…semua putih, dingin.” cerita Yana.
“Kamu mungkin sedang mimpi, Anya sekarang masih terbaring di ICU dia masih koma.”
Yana kali ini benar-benar tersadar, ingatannya kembali pada peristiwa malam tadi. “Chris, aku harus melihat Anya. Gara-gara aku dia ditabrak truk.” desak Yana.
“Kamu nggak boleh bangun dulu Yan! Kamu belum sembuh.” perintah Christy.
“Enggak, aku harus ketemu dia!” Yana mencopot infusnya dan segera keluar dari kamarnya.
“Yana! Tunggu aku!” teriak Christy.
Dengan tertatih-tatih Yana menyusuri dinding-dinding rumah sakit mencari kamar Anya. Christy menggapai tangan Yana agar dia tak terjatuh. Mereka akhirnya sampai ke ruang ICU tempat Anya terbaring.
“Maaf dik, kamu nggak boleh masuk ke dalam.” perintah seorang suster.
“Tapi suster saya harus melihat dia!” seru Yana sambil memaksa masuk.
Yana memaksa masuk dan perlahan mendekati Anya yang masih tergeletak dengan berbagai selang infus di tubuhnya. “Anya… maafkan…semua ini gara-gara aku. Anya, kamu harus sembuh…kamu…aah!” tiba-tiba Yana melengking keras.
“Yana…” Christy berteriak dari depan pintu kamar. Seorang suster masuk dan mengangkat Yana yang terkulai di pinggir ranjang.
“Kamu masih harus istirahat. Kamu sendiri juga belum sembuh.” ujar suster itu.
“Jangan…suster…saya mau tetap didekat Anya saat dia sadar!” pinta Yana lemah.
Akhirnya suster itu membiarkan Yana tetap di tepi ranjang sambil siap menolong bila serangan vertigo menyerang Yana lagi.
“Anya…ini Yana.” Yana menggenggam erat tangan Anya, “Aku sadar bahwa selama ini aku salah. Aku telah salah mengartikan kamu dalam hidupku. Aku sengaja lupa akan… janji kita, tapi… sekarang aku sadar, sebenarnya dirimu…” Yana menarik napas panjang, “Tidak pernah lepas dari hatiku.” Yana mengecup tangan Anya lembut, lalu merebahkan kepalanya pada jemari Anya.
Suasana hening, yang terdengar hanya isak penyesalan Yana. Namun sekonyong-konyong jari jemari Anya bergerak.
“Hm…Anya! Oh Tuhan akhirnya Anya sadar.” pekik Yana gembira. Christy yang sedari tadi terpaku di depan pintu berlari keluar memanggil orang tua Anya.
Perlahan Anya membuka matanya, “Ya..na? Kenapa kau tinggalkan…aku sendirian? Dingin, salju ini begitu…di..ngin.” ucap Anya terbata-bata.
“Kamu sekarang sudah bersamaku Anya.” bisik Yana.
Dokter Dimas dan para suster langsung memeriksa keadaan Anya. Kemudian dokter Dimas tersenyum, “Kamu memang gadis yang kuat Anya! Kamu tetap berjuang walaupun tadinya kami tidak yakin kamu akan menang. Namun sekarang ada pasien lain yang masih harus berusaha…” Dokter Dimas memandang ke arah Yana, “Sekarang kamu yang harus ikut kami. Kamu belum sembuh benar.” pinta Dokter Dimas.
“Baiklah dok, sekarang saya siap disuntik lagi.” ujar Yana menciptakan derai tawa di kamar itu.
*****
“Yana, benar ya kamu nggak akan lupain janji itu!” tanya Anya sambil duduk di kursi roda pada suatu sore di taman rumah sakit.
“Hmm… sekarang semua sudah tergenapi. Semua janji-janji yang kuucapkan dulu sekarang sudah kupenuhi.” sahut Yana lembut.
“Kamu tahu Yana, selama aku tidak sadar aku bermimpi kita berjalan-jalan bersama di suatu daerah penuh salju.”
“Pegunungan Alpen? Dingin yang menyengat? Aku juga merasakannya!” seru Yana.
“Oh iya? Kamu bohong!”
“Aku? Kamu tahu aku sudah bosan berbohong padamu!” seru Yana.
“Ha…ha….ha…” tawa Anya membahana membuat Yana pun ikut tertawa. Perlahan mentari senja tenggelam namun masih menyisakan sinar yang lembut untuk mereka.
Jakarta, 24-26 April 1999
THE END
* Vertigo : kepeningan/ rasa pusing yang berlebihan karena diterimanya ransangan yang berlebihan pada ketiga saluran tubular yaitu alat-alat keseimbangan yang terdapat di dalam telinga.
Percayalah… hanya diriku paling mengerti,
Kegelisahan jiwamu Kasih,
Dan arti kata kecewamu.
Kasih, yakinlah… hanya aku yang paling memahami,
Besar arti kejujuran diri,
Indah sanubarimu Kasih
Percayalah…
(Titi Dj-Bahasa Kalbu)
Ini adalah titik tonggak yang merubah saya menjadi lebih percaya diri dan yakin untuk berkarir menjadi penulis.
*****
Terkadang janji memang tak bisa dipegang, namun tetaplah percaya bahwa segalanya akan berhasil.
“Anya, kamu kenapa sedih?” tanya Christy perlahan, “Kita khan lagi reunian, tuh yang lain pada ketawa-ketawa. Udah nikmati aja suasana ini!” sambung Christy.
“Hah, aku enggak kenapa-kenapa kok Chris, aku cuma kecewa…udahlah aku mau nikmati pesta ini seperti kata kamu.” jawab Anya.
Malam itu merupakan pentas seni sekaligus reuni bagi alumnus SMP Bunga Bangsa. Anya telah menanti reuni sejak lama, dia ingin sekali bertemu Yana, cinta pertamanya. Tapi sampai acara ini hampir selesai pangeran yang ditunggunya itu belum juga muncul.
“Christy kita pulang aja yuk. Aku bosen!” seru Anya tertahan.
“Nya, katanya mau ketemu sama Yana?” sahut Christy sambil tak henti-hentinya memasukkan spaghetti ke mulutnya.
“Kayaknya dia nggak datang. Mungkin juga dia udah nggak inget sama aku. Mungkin juga dia punya acara yang lebih penting daripada pesta reuni ini! Kamu tahu khan dia orangnya kayak apa?” tandas Anya.
“Mm…tahu, dia itu tinggi, rambutnya hitam, kulitnya kecoklat-coklatan, jago main bola trus…”
“Udah ah, nggak nyambung! Yang pasti sih dia itu nyebelin!” seru Anya seraya menyambar tas hitamnya dan bergegas keluar.
“Anya…tungguin dong! Aduh…” seru Christy sambil masih mengunyah spaghetti.
Malam itu berakhir buruk, mungkin itu yang dirasa Anya. Seminggu penuh dia mempersiapkan dirinya, dia ingin terlihat cantik di depan Yana, tapi semuanya percuma.
“Aku memang gila. Aku masih mengharapkan cintanya. Hah.. padahal belum tentu dia masih sayang sama aku. Kalaupun masih pasti rasa itu sudah lama hilang. Ooh…” keluh Anya dalam hati.
“Nya, ada telpon dari Christy!” teriak mama membangunkan Anya dari lamunannya.
“Hallo Chris ada apa?” tanya Anya tak bergairah.
“Aduh Non, masih sedih aja? Khan udah aku bilang, lebih baik cari cowok yang lain aja. Cinta kalian tuh cuma cinta monyet, cinta anak kecil.”
“Chris, udah berapa kali aku bilang. Dia itu cinta pertamaku. Kamu inget juga khan kata-katanya!” ingatan Anya kembali ke masa lima tahun yang lalu saat mereka masih SMP.
“Anya, aku sayang sama kamu, tapi kita pacarannya nanti aja ya. Kalau kita udah besar, kalau kita udah kuliah.”
“Aduh Anya, omongannya aja masih kayak anak kecil gitu. Kamu percaya kata-katanya? Sekarang setelah kamu kuliah terbukti nggak? Lagipula dia khan bisa nelpon atau kirim surat. Dengan cara itu hubungan kalian masih tetap terjalin.” sahut Christy.
“Aku percaya kok kata-katanya, walaupun waktu itu kita sama-sama masih kecil. Dia juga nelpon aku kok, aku juga sering nulis surat ke dia.” bantah Anya.
“Dia telpon kamu? Bisa dihitung khan? Pernah juga nggak dia bales semua surat-surat kamu?” tanya Christy ketus.
“Ah, kamu nyalahin aku terus. Emang sih kita nggak pernah berkomunikasi lagi, tapi itu nggak menyurutkan rasa cintaku.”
“Hah, susah ngomong sama kamu. Kamu sudah terperangkap pada cinta semu yang nggak ada harapannya.” tegur Christy lalu menutup telponnya.
“Huh, dasar nggak tahu perasaan orang!” seru Anya dongkol.
Tapi kata-kata Christy ada benarnya juga, Anya mulai menyadari semuanya, semua ucapan Christy meresap ke dalam kalbunya dan membuatnya tiba-tiba membenci Yana.
*****
“Eh, kamu Yana khan?”
“Kamu… Christy ya? Eh, apa kabar?” seru Yana mengulurkan tangannya.
“Nggak kebayang bisa ketemu kamu di Stadion ini. Lagi ngapain?” tanya Christy menerima uluran tangan Yana.
“Oh, aku memang rutin latihan bola di sini. Apalagi sekarang udah deket musim kompetisi.”
“Wah, masih main bola aja ya? Oh iya waktu itu kok nggak dateng ke reunian SMP. Anya nyariin loh!” seru Christy.
“Anya? Eng… kenapa dia nyariin aku?”
“Kamu pasti lupa deh, tapi… kamu masih suka nggak sih sama dia?” tanya Christy memastikan.
“Aduh…itu khan cerita lalu.”
“Berarti kamu nggak punya perasaan lagi sama dia?” Christy kembali memastikan.
“Nggak tahu ah, semua sudah lewat. Udah dulu ya, aku sudah telat nih.” sahut Yana pendek, lalu beranjak meninggalkan Christy sambil melambaikan tangannya.
“Anya, kamu nggak percaya kata-kata aku sih.” sahut Christy dalam hatinya.
*****
Sore itu langit bermuram durja. Awannya menggumpal siap menjatuhkan sari-sari kehidupannya ke bumi. Anya berjalan sendiri di sudut jalan. Hatinya benar-benar sudah hancur, kemarin Christy menceritakan pertemuannya dengan Yana di Stadion. Dan sekarang dia nekat menemui Yana untuk membuktikan ucapan Christy. Anya mempererat kepalan tangannya, sweaternya tak cukup tebal untuk menahan hembusan angin sore itu, apalagi rintik hujan mulai berjatuhan menimpanya. Anya berlari menuju balkon stadion dan duduk diam di sudutnya.
“Mmh…hujan. Pasti dia nggak akan latihan.” seru Anya dalam hati.
Namun perkiraan Anya ternyata salah sebab Yana dan kawan-kawannya tetap berlatih walau hujan mulai menderas.
“Aduh Yana, kamu masih seperti dulu. Kamu tidak berubah. Kira-kira dia masih kenal aku nggak ya? Rambut panjangku ini sepertinya merubah tampak wajahku.” Anya tertawa dalam hati.
Selama dua jam Yana dan kawan-kawannya masih tetap berlatih, sama seperti Anya yang masih setia duduk di singgasananya. Lagipula Anya sudah terbiasa setia menunggu, lima tahun menunggu saja dia mampu apalagi sekarang, hanya dua jam. Yah, walaupun penantiannya selama ini tidak ada gunanya.
Lapangan bola itu perlahan-lahan menyepi. Satu persatu teman-teman Yana beranjak pulang, tinggal Yana sendiri yang masih sibuk menendang-nendang bola itu ke gawang. Namun itu tak lama, karena tiba-tiba Yana jatuh tergeletak di bibir lapangan.
“Ya Tuhan, Yana!” seru Anya lalu berlari menuju lapangan. Dengan sekuat tenaga Anya mengangkat tubuh Yana kedalam ruang ganti yang tepat berada di depan mereka.
“Aduh Yana…sadar dong!” seru Anya sambil terengah-engah. Tangannya sibuk mengeringkan air di wajah Yana.
“Eng…” Yana mengerang perlahan. Matanya yang terkatup perlahan-lahan terbuka.
“Oh, syukurlah kamu akhirnya sadar.” Anya menghela lega.
“Anya?!” tanya Yana setengah tak percaya.
“Eng… iya aku Anya, kamu masih inget aku khan? Ta…tadi aku lihat kamu pingsan di lapangan, jadi aku bawa kamu ke ruang ganti ini aja.” jelas Anya.
Yana terduduk, diambilnya handuk yang ada di depannya. Lalu dia menatap Anya lembut membuat pipi Anya tiba-tiba panas.
“Anya, mungkin aku salah. Pertemuanku dengan Christy kemarin mengembalikan ingatanku ke masa kecil kita dulu. Dan dia juga bilang kamu masih mengharapkan janjiku. Tapi… semua itu sudah berlalu.”
“Enggak…enggak Yana, kamu pasti becanda, kamu…”
Yana menggenggam tangan Anya, “Itu semua sudah lewat, Nya!” seru Yana.
Serasa disambar petir Anya berdiri, dilepaskannya genggaman Yana. Hancur semua. Penantiannya selama ini hanyalah sia-sia belaka. “Aku memang bodoh, aku…” teriak Anya dalam hatinya. Kemudian dia berlari meninggalkan Yana, keluar dari tempat sialan itu. Dia terus berlari menembus hujan yang masih turun dengan derasnya.
“Anya! Anya!” Yana berteriak memanggil Anya. Bagaimana pun juga perbuatannya ini salah. Dia membiarkan Anya menembus derasnya hujan.
“Oh, tidak. Aku harus menyusulnya!” seru Yana namun kepalanya tiba-tiba mendenyut. Dan sambil memegang kepalanya Yana mengejar Anya. Terlambat! Sesampainya di jalan raya sebuah truk besar tiba-tiba menyambar tubuh Anya tepat di depan mata Yana.
“Anyaaaaa!” teriak Yana lalu menghampiri tubuh Anya yang tergeletak bersimbah darah, “Nya, bangun!” Yana menggoncang-goncangkan tubuh Anya. Namun dia juga sudah tidak kuat, sakit kepala tadi kembali menyerangnya. Dan tubuhnya pun lunglai di samping Anya.
*****
“Anya, akhirnya kita bertemu lagi. Eng…nampaknya kamu semakin cantik saja.”
“Ah, Yana kamu masih saja senang menggoda seperti dulu. Kamu juga semakin dewasa. Aku senang melihat kamu lagi.”
“Anya, kamu masih ingat janji kita khan?”
“Iya. Aku selalu ingat janji itu. Selalu…”
“Sekarang aku telah menepati janji itu. Kamu bahagia?”
“Sangat bahagia! Akhirnya tidak ada yang dapat memisahkan kita.”
*****
“Cepat suster, kita harus melakukan operasi! Bagaimana tekanan darahnya?”
“Tensi 140/90. Dok, pasien yang satu lagi.”
“Siapa?”
“Lelaki, pasangan wanita ini.”
“Kenapa?”
“Dokter yang lain tidak ada.”
“Ya, Tuhan kemana mereka? Oke, cari co-as yang kebetulan jaga!”
“Baik dokter!”
*****
“Yana, kita akan pergi kemana?”
“Kamu belum pernah melihat salju khan?”
“Memangnya kamu mau ajak aku ke mana?”
“Ke Pegunungan Alpen.”
“Tapi di sana khan dingin sekali.”
“Aku akan memelukmu erat bila nanti kau kedinginan.”
*****
“Bagaimana dengan putri kami dok?”
“Dia masih dalam keadaan coma. Kami akan terus berusaha Pak, Bu. Namun anda harus tabah karena benturan pada kecelakaan tersebut mengakibatkan gegar otak ringan.” jelas Dokter Dimas.
Christy berlari tergopoh-gopoh mendekati orang tua Anya, “Tante, bagaimana dengan Anya?”
“Masih coma…” seru ayah Anya sambil melingkarkan tangan ke bahu istrinya.
“Hmm…bagaimana dengan Yana?” tanya Christy lagi.
“Anak lelaki itu? Tadi kami melihat orang tuanya. Dokter bilang dia terkena vertigo*.”
“Tapi keadaannya…tidak gawat khan?”
“Lebih baik kamu bertanya pada Dokter Dimas.” sahut ayah Anya.
Christy berjalan meninggalkan mereka menuju kamar kerja Dokter Dimas.
“Dokter, saya Christy, temannya Yana Kusuma. Bagaimana keadaannya?”
“Saya rasa dia akan baik-baik saja dan mungkin sekarang dia sudah sadar. Kamu bisa menjenguknya di..ehm sebentar. Kamar 107.”
“Oke dok, terima kasih.”
*****
Christy memasuki kamar 107 dan menemukan Yana masih belum sadar. Lalu dia duduk di samping tempat tidur Yana.
“Yana, kamu cepat sadar donk. Anya butuh kamu.”
Sekonyong-konyong mendengar perkataan Christy, perlahan mata Yana terbuka. “Eng…Anya. Anya dimana?” tanya Yana lemah.
“Jangan bangun dulu, dia masih di ICU.” ucap Christy sambil membetulkan letak bantal Yana.
“Ah, nggak… mungkin. Baru… saja aku melihat dia di… sampingku. Kami, heh…semua putih, dingin.” cerita Yana.
“Kamu mungkin sedang mimpi, Anya sekarang masih terbaring di ICU dia masih koma.”
Yana kali ini benar-benar tersadar, ingatannya kembali pada peristiwa malam tadi. “Chris, aku harus melihat Anya. Gara-gara aku dia ditabrak truk.” desak Yana.
“Kamu nggak boleh bangun dulu Yan! Kamu belum sembuh.” perintah Christy.
“Enggak, aku harus ketemu dia!” Yana mencopot infusnya dan segera keluar dari kamarnya.
“Yana! Tunggu aku!” teriak Christy.
Dengan tertatih-tatih Yana menyusuri dinding-dinding rumah sakit mencari kamar Anya. Christy menggapai tangan Yana agar dia tak terjatuh. Mereka akhirnya sampai ke ruang ICU tempat Anya terbaring.
“Maaf dik, kamu nggak boleh masuk ke dalam.” perintah seorang suster.
“Tapi suster saya harus melihat dia!” seru Yana sambil memaksa masuk.
Yana memaksa masuk dan perlahan mendekati Anya yang masih tergeletak dengan berbagai selang infus di tubuhnya. “Anya… maafkan…semua ini gara-gara aku. Anya, kamu harus sembuh…kamu…aah!” tiba-tiba Yana melengking keras.
“Yana…” Christy berteriak dari depan pintu kamar. Seorang suster masuk dan mengangkat Yana yang terkulai di pinggir ranjang.
“Kamu masih harus istirahat. Kamu sendiri juga belum sembuh.” ujar suster itu.
“Jangan…suster…saya mau tetap didekat Anya saat dia sadar!” pinta Yana lemah.
Akhirnya suster itu membiarkan Yana tetap di tepi ranjang sambil siap menolong bila serangan vertigo menyerang Yana lagi.
“Anya…ini Yana.” Yana menggenggam erat tangan Anya, “Aku sadar bahwa selama ini aku salah. Aku telah salah mengartikan kamu dalam hidupku. Aku sengaja lupa akan… janji kita, tapi… sekarang aku sadar, sebenarnya dirimu…” Yana menarik napas panjang, “Tidak pernah lepas dari hatiku.” Yana mengecup tangan Anya lembut, lalu merebahkan kepalanya pada jemari Anya.
Suasana hening, yang terdengar hanya isak penyesalan Yana. Namun sekonyong-konyong jari jemari Anya bergerak.
“Hm…Anya! Oh Tuhan akhirnya Anya sadar.” pekik Yana gembira. Christy yang sedari tadi terpaku di depan pintu berlari keluar memanggil orang tua Anya.
Perlahan Anya membuka matanya, “Ya..na? Kenapa kau tinggalkan…aku sendirian? Dingin, salju ini begitu…di..ngin.” ucap Anya terbata-bata.
“Kamu sekarang sudah bersamaku Anya.” bisik Yana.
Dokter Dimas dan para suster langsung memeriksa keadaan Anya. Kemudian dokter Dimas tersenyum, “Kamu memang gadis yang kuat Anya! Kamu tetap berjuang walaupun tadinya kami tidak yakin kamu akan menang. Namun sekarang ada pasien lain yang masih harus berusaha…” Dokter Dimas memandang ke arah Yana, “Sekarang kamu yang harus ikut kami. Kamu belum sembuh benar.” pinta Dokter Dimas.
“Baiklah dok, sekarang saya siap disuntik lagi.” ujar Yana menciptakan derai tawa di kamar itu.
*****
“Yana, benar ya kamu nggak akan lupain janji itu!” tanya Anya sambil duduk di kursi roda pada suatu sore di taman rumah sakit.
“Hmm… sekarang semua sudah tergenapi. Semua janji-janji yang kuucapkan dulu sekarang sudah kupenuhi.” sahut Yana lembut.
“Kamu tahu Yana, selama aku tidak sadar aku bermimpi kita berjalan-jalan bersama di suatu daerah penuh salju.”
“Pegunungan Alpen? Dingin yang menyengat? Aku juga merasakannya!” seru Yana.
“Oh iya? Kamu bohong!”
“Aku? Kamu tahu aku sudah bosan berbohong padamu!” seru Yana.
“Ha…ha….ha…” tawa Anya membahana membuat Yana pun ikut tertawa. Perlahan mentari senja tenggelam namun masih menyisakan sinar yang lembut untuk mereka.
Jakarta, 24-26 April 1999
THE END
* Vertigo : kepeningan/ rasa pusing yang berlebihan karena diterimanya ransangan yang berlebihan pada ketiga saluran tubular yaitu alat-alat keseimbangan yang terdapat di dalam telinga.
Percayalah… hanya diriku paling mengerti,
Kegelisahan jiwamu Kasih,
Dan arti kata kecewamu.
Kasih, yakinlah… hanya aku yang paling memahami,
Besar arti kejujuran diri,
Indah sanubarimu Kasih
Percayalah…
(Titi Dj-Bahasa Kalbu)