Yup, perasaan itu sering muncul bahkan sampai sekarang sekalipun. Novel Flavia de Angela memang merupakan debut pertamaku & seperti hal-hal yang lain. Sesuatu yang pertama itu memang rasanya sangat spesial. Menjadi penulis memang impianku sejak kecil. Bahkan waktu SD saja aku sering menulis 'sastrawati' sebagai pilihan cita-citaku kalau diminta mengisi Diary teman-temanku. Jangan ditanya deh berapa nilai pelajaran Bahasa Indonesiaku - selalu menjadi nilai terbaik di raport, di kelas bahkan waktu SMA nilai ujianku pernah jadi nilai terbaik se-SMA se-Jakarta Selatan. Hari-hariku selalu diisi dengan menulis.
Namun, memiliki nilai Bahasa Indonesia yang bagus tak semata-mata mempermudah perjalananku menjadi penulis. Cerpen pertamaku dimuat di Majalah Gadis saat aku semester awal kuliah, dengan perjuangan beberapa kali mengirim cerita. Aku tak pernah menang lomba novel, begitupun lomba cerpen. Kepercayaan diri bahwa aku jago menulis pupus sudah.
Satu persatu mimpiku mulai terwujud, ide ceritaku memenangkan Sayembara Penulisan Ide untuk FTV di Indosiar, judulnya Cinta Na Ringgo dan aku mendapatkan hadiah: namaku ditulis di credit title sinetron tersebut, selain tentunya hadiah-hadiah yang lain. Kemudian beberapa cerpenku akhirnya dimuat di berbagai majalah.
Beranjak dari situ kepercayaan diriku mulai tumbuh, aku mencoba mengirim novel ke penerbit. Tujuanku adalah Gramedia Pustaka Utama, sebagai penerbit utama di Indonesia. Rasanya memiliki buku yang diterbitkan GPU - penerbit buku2 yg kubaca dariku kecil - akan sangat membanggakan. Aku pernah menuliskan hal itu di blog Friendster - mimpi bahwa namaku tertulis pada novel perdanaku.
Novel pertama yang kukirim, dengan judul The Real Cewek Super - dikembalikan oleh GPU karena belum memenuhi persyaratan yang mereka inginkan. Tidak terlalu buruk sih, menurut mereka cuma ada beberapa hal yang harus diedit saja. Mereka minta novel itu direvisi dan dikirimkan lagi. Namun, aku sudah patah arang, selain itu aku menilai cerita novel tersebut mulai pasaran waktu itu. Dimana semua teenlit punya stereotype cerita yang hampir mirip. Aku pun memutuskan menulis cerita baru saja, tapi cerita apa ya?
Insight pun datang. Aku tidak tahu apa hubungannya, tapi insight itu muncul ketika aku dan teman-teman sedang melihat bazaar di Festival Jalan Wijaya sekitar tahun 2004 - 2005, & aku menerima kabar bahwa Ayah Temanku meninggal. Hal yang pertama muncul di benakku sih adalah pemikiran bahwa 'apakah cewek gaul itu pasti akan selalu bahagia dengan kesempurnaannya ya?' lalu sampai muncul malaikat dan detail cerita FdA yang lain aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Mungkin itulah yang dinamakan 'wangsit' :D
Penulisan novel Flavia de Angela tidak memakan waktu lama, mungkin sekitar 2-3 bulan, apalagi ketika itu aku masih kuliah sehingga waktu luang cukup banyak. Kelar ditulis, akupun menjilid novel itu dengan sangat indah. Berukuran layaknya novel dan bercover warna. Itu strategi yang kupelajari ketika aku menjadi Editor Freelance di Gagas Media. Novel yang dikirimkan orang-orang itu bisa beratus bahkan beribu banyaknya. Kalau bentuk novelmu saja sudah standar (hanya dijilid lakban) maka novelmu akan tak terlihat eye catching plus aku tahu seorang editor suka membawa kerjaannya pulang untuk dibaca2 di rumah. Akan lebih menyenangkan untuknya bisa membawa novel yang handy atau ringkas dibawa. Hal-hal itu mungkin bukan patokan utama, tapi selalu ada faktor 'X' yang menghalangi keberhasilan - hilangkanlah faktor itu.
Aku menyerahkan sendiri novel itu, untuk menghindari hilangnya novel saat pengiriman dan juga memberikan suatu pendekatan psikologis dengan siapapun yang menerima novel itu. Bukan dalam arti merayu apalagi menyogok - it's a big no no - tapi lebih kepada sopan santun dan bagaimana memberikan suatu kesan baik. Paling tidak orang yang menerima novelku akan ingat, siapa sih tadi yang memberikan novelnya :D
Flavia de Angela diberikan ke penerbit sekitar tahun 2006'an, berbulan-bulan kemudian aku baru mendapatkan konfirmasi kalau novelku akan diterbitkan - yang senangnya udah kayak orang dapat undian 1 M. Sahabat, pacar dan orang tua hampir pekak telinganya karena aku kontan menelpon mereka dengan berteriak-teriak :D Heboh deh.
Penerbit memintaku mengirimkan soft file tak berapa lama kemudian.
Setahun, dua tahun, tiga tahun berlalu tanpa ada suatu kepastian yang jelas. Novelku bagai hilang ditelan bumi. Tak lelah aku menanyakan ke penerbit bagaimana nasib novelku tapi jawaban yang diberikan selalu 'saat ini masih menunggu antrian'. Gee, antrian beras aja gak segitu lamanya kali. Begitu pikirku. Sempat aku mau ambil kembali novelku dan berikan ke penerbit yang lain, atau self published saja, tapi aku selalu berpikir 'mungkin waktunya masih belum tepat. Tunggulah, semua akan indah pada waktuNya. Selalu ada berkah untuk orang yang sabar.' - makanya editorku pernah bilang kalau aku orang yang baik dan sabar #eaaa...
Aku pun sabar menanti, apalagi di masa-masa itu kesibukanku sedang tinggi-tingginya. Mulai dari mengerjakan Thesis, Sidang, Bekerja, Pernikahan sampai akhirnya Hamil dan Melahirkan. Komunikasi intens dengan editor baru terjalin pada Januari 2010. Beruntung saat itu aku sedang cuti melahirkan sehingga waktuku cukup luang untuk merevisi beberapa bagian novelku. Bulan Maret 2010, GPU mengirimkan kontrak novelku dan deadline novel akan diterbitkan adalah Maret 2011. Tetap menunggu...sampai akhirnya Februari 2011 novelku terbit :D
Horray novelku terbit. Semua impianku terwujud, tapi apakah semuanya akan berhenti di situ saja? Tidak. Perjuangan ternyata baru dimulai. Promosi, memenuhi target penjualan, impian untuk cetak ulang memenuhi benakku. Aku selalu berpikir bahwa 'menjual buku' bukan hanya urusan penerbit, tapi juga urusan penulis. Aku harus bisa mempromosikan novelku, kalau perlu sampai membuat suatu brand image. Strategi pertama, pada saat launching, aku minta seluruh temanku untuk foto bersama novelku dan upload di FB mereka pada hari yang sama. Okey, kalau di twitter, bisa dibilang foto dengan novel FdA bisa jadi trending topic pada saat itu :D Strategi itu cukup berhasil, ketika ada temannya temanku yang comment 'Aku lihat temanku yang lain foto pakai novel itu juga, memang ada apa sih?' Ehem (btw strategi ini boleh saja ditiru. Free to copy).
Strategi kedua, aku sering pergi ke toko buku Gramedia untuk hanya sekedar 'menyebarkan' novelku ke rak-rak yang lain - hati-hati ketahuan pramuniaganya - agar calon pembeli serasa 'menemukan' novelku dimana-mana. Diharapkan prinsip 'dari mata turun ke hati' terjadi saat itu.
Strategi ketiga, membuat hubungan yang intens dan dekat dengan pembacaku serta editorku. Aku selalu menganggap mereka sebagai sahabat, sampai pernah ada satu pembaca yang begitu bahagianya bisa ngobrol sama aku. Awalnya aku heran, kenapa sih begitu aja senang banget? Sampai akhirnya temanku bilang 'Ya teranglah dia senang, wong dia bisa ngobrol sama penulis favoritnya.' Eaa...di situlah aku baru sadar kalau aku mungkin bukan orang biasa lagi (ini bukan bermaksud menyombong), tapi kalau misalnya aku menjadi dia, mungkin aku akan merasakan sensasi yang sama. Jadi ingat temanku yang lain pernah heboh karena emailnya dibalas oleh penulis favoritnya.
Sebenarnya sangat sulit meyakinkan diri kalau aku itu penulis dan banyak orang mungkin tahu aku, serta mungkin memperbincangkan tulisanku. Ketidakpercayaandiri selalu menggelayut. Aku kerap berpikir kalau aku baru penulis amatir. Belum sekelas penulis-penulis lain yang sudah menelurkan beberapa novel. Aku tidak punya penggemar - aku tidak mau GR. Bukuku saja mungkin tidak masuk ke daftar buku laris, atau aku saja yang tidak tahu - aku jarang pergi ke toko buku lagi akhir-akhir ini. Intinya sih aku belum ada apa-apanya!
Makin ke sini temanku makin bertambah, jumlah likes di fan page'ku juga makin bertambah. Suatu blog meresensi novelku & memuji ceritanya. Novelku cetak ulang dan banyak orang menunggu kelanjutan novelku. So, apakah aku masih tidak percaya diri? Kurasa harusnya tidak :D
Dan kejadian malam ini meruntuhkan benteng ketidakpercayaan diriku:
Aku bertemu dengan teman SMAku di suatu pernikahan. Aku kenal wajahnya, tapi lupa namanya. Begitu pun dia. Angel, begitu dia menyebut namaku. Langsung kurevisi, namaku Citra dan kubilang 'Anyway, aku juga lupa namamu.' Dia mengatakan namanya 'Vita' Oke, puzzle telah terkumpul dan kita pun berbincang. Satu kalimat terakhir darinya, 'Btw kamu nulis novel kan? Aku lihat di FB.' Aku sedikit terguncang, 'Teman lamaku ini lebih tahu aku sebagai penulis novel ketimbang tahu namaku.' Aku berhasil membuat suatu brand image! :D Aku berhasil membuat orang mengenalku sebagai penulis.
'Ahiyak!' suara Goofy menyeruak. Aku harus percaya diri sekarang, dan apakah itu akhirnya membuatku tinggi hati? Kuharap tidak. In my head, I always think that I'm still an ordinary people but with extraordinary bless & profession :)
*anyway, strategi novelnya tiga aja yah. Kalau banyak2, semua rahasia saya ketahuan semua..hehe, salam kompak markompak!
Namun, memiliki nilai Bahasa Indonesia yang bagus tak semata-mata mempermudah perjalananku menjadi penulis. Cerpen pertamaku dimuat di Majalah Gadis saat aku semester awal kuliah, dengan perjuangan beberapa kali mengirim cerita. Aku tak pernah menang lomba novel, begitupun lomba cerpen. Kepercayaan diri bahwa aku jago menulis pupus sudah.
Satu persatu mimpiku mulai terwujud, ide ceritaku memenangkan Sayembara Penulisan Ide untuk FTV di Indosiar, judulnya Cinta Na Ringgo dan aku mendapatkan hadiah: namaku ditulis di credit title sinetron tersebut, selain tentunya hadiah-hadiah yang lain. Kemudian beberapa cerpenku akhirnya dimuat di berbagai majalah.
Beranjak dari situ kepercayaan diriku mulai tumbuh, aku mencoba mengirim novel ke penerbit. Tujuanku adalah Gramedia Pustaka Utama, sebagai penerbit utama di Indonesia. Rasanya memiliki buku yang diterbitkan GPU - penerbit buku2 yg kubaca dariku kecil - akan sangat membanggakan. Aku pernah menuliskan hal itu di blog Friendster - mimpi bahwa namaku tertulis pada novel perdanaku.
Novel pertama yang kukirim, dengan judul The Real Cewek Super - dikembalikan oleh GPU karena belum memenuhi persyaratan yang mereka inginkan. Tidak terlalu buruk sih, menurut mereka cuma ada beberapa hal yang harus diedit saja. Mereka minta novel itu direvisi dan dikirimkan lagi. Namun, aku sudah patah arang, selain itu aku menilai cerita novel tersebut mulai pasaran waktu itu. Dimana semua teenlit punya stereotype cerita yang hampir mirip. Aku pun memutuskan menulis cerita baru saja, tapi cerita apa ya?
Insight pun datang. Aku tidak tahu apa hubungannya, tapi insight itu muncul ketika aku dan teman-teman sedang melihat bazaar di Festival Jalan Wijaya sekitar tahun 2004 - 2005, & aku menerima kabar bahwa Ayah Temanku meninggal. Hal yang pertama muncul di benakku sih adalah pemikiran bahwa 'apakah cewek gaul itu pasti akan selalu bahagia dengan kesempurnaannya ya?' lalu sampai muncul malaikat dan detail cerita FdA yang lain aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Mungkin itulah yang dinamakan 'wangsit' :D
Penulisan novel Flavia de Angela tidak memakan waktu lama, mungkin sekitar 2-3 bulan, apalagi ketika itu aku masih kuliah sehingga waktu luang cukup banyak. Kelar ditulis, akupun menjilid novel itu dengan sangat indah. Berukuran layaknya novel dan bercover warna. Itu strategi yang kupelajari ketika aku menjadi Editor Freelance di Gagas Media. Novel yang dikirimkan orang-orang itu bisa beratus bahkan beribu banyaknya. Kalau bentuk novelmu saja sudah standar (hanya dijilid lakban) maka novelmu akan tak terlihat eye catching plus aku tahu seorang editor suka membawa kerjaannya pulang untuk dibaca2 di rumah. Akan lebih menyenangkan untuknya bisa membawa novel yang handy atau ringkas dibawa. Hal-hal itu mungkin bukan patokan utama, tapi selalu ada faktor 'X' yang menghalangi keberhasilan - hilangkanlah faktor itu.
Aku menyerahkan sendiri novel itu, untuk menghindari hilangnya novel saat pengiriman dan juga memberikan suatu pendekatan psikologis dengan siapapun yang menerima novel itu. Bukan dalam arti merayu apalagi menyogok - it's a big no no - tapi lebih kepada sopan santun dan bagaimana memberikan suatu kesan baik. Paling tidak orang yang menerima novelku akan ingat, siapa sih tadi yang memberikan novelnya :D
Flavia de Angela diberikan ke penerbit sekitar tahun 2006'an, berbulan-bulan kemudian aku baru mendapatkan konfirmasi kalau novelku akan diterbitkan - yang senangnya udah kayak orang dapat undian 1 M. Sahabat, pacar dan orang tua hampir pekak telinganya karena aku kontan menelpon mereka dengan berteriak-teriak :D Heboh deh.
Penerbit memintaku mengirimkan soft file tak berapa lama kemudian.
Setahun, dua tahun, tiga tahun berlalu tanpa ada suatu kepastian yang jelas. Novelku bagai hilang ditelan bumi. Tak lelah aku menanyakan ke penerbit bagaimana nasib novelku tapi jawaban yang diberikan selalu 'saat ini masih menunggu antrian'. Gee, antrian beras aja gak segitu lamanya kali. Begitu pikirku. Sempat aku mau ambil kembali novelku dan berikan ke penerbit yang lain, atau self published saja, tapi aku selalu berpikir 'mungkin waktunya masih belum tepat. Tunggulah, semua akan indah pada waktuNya. Selalu ada berkah untuk orang yang sabar.' - makanya editorku pernah bilang kalau aku orang yang baik dan sabar #eaaa...
Aku pun sabar menanti, apalagi di masa-masa itu kesibukanku sedang tinggi-tingginya. Mulai dari mengerjakan Thesis, Sidang, Bekerja, Pernikahan sampai akhirnya Hamil dan Melahirkan. Komunikasi intens dengan editor baru terjalin pada Januari 2010. Beruntung saat itu aku sedang cuti melahirkan sehingga waktuku cukup luang untuk merevisi beberapa bagian novelku. Bulan Maret 2010, GPU mengirimkan kontrak novelku dan deadline novel akan diterbitkan adalah Maret 2011. Tetap menunggu...sampai akhirnya Februari 2011 novelku terbit :D
Horray novelku terbit. Semua impianku terwujud, tapi apakah semuanya akan berhenti di situ saja? Tidak. Perjuangan ternyata baru dimulai. Promosi, memenuhi target penjualan, impian untuk cetak ulang memenuhi benakku. Aku selalu berpikir bahwa 'menjual buku' bukan hanya urusan penerbit, tapi juga urusan penulis. Aku harus bisa mempromosikan novelku, kalau perlu sampai membuat suatu brand image. Strategi pertama, pada saat launching, aku minta seluruh temanku untuk foto bersama novelku dan upload di FB mereka pada hari yang sama. Okey, kalau di twitter, bisa dibilang foto dengan novel FdA bisa jadi trending topic pada saat itu :D Strategi itu cukup berhasil, ketika ada temannya temanku yang comment 'Aku lihat temanku yang lain foto pakai novel itu juga, memang ada apa sih?' Ehem (btw strategi ini boleh saja ditiru. Free to copy).
Strategi kedua, aku sering pergi ke toko buku Gramedia untuk hanya sekedar 'menyebarkan' novelku ke rak-rak yang lain - hati-hati ketahuan pramuniaganya - agar calon pembeli serasa 'menemukan' novelku dimana-mana. Diharapkan prinsip 'dari mata turun ke hati' terjadi saat itu.
Strategi ketiga, membuat hubungan yang intens dan dekat dengan pembacaku serta editorku. Aku selalu menganggap mereka sebagai sahabat, sampai pernah ada satu pembaca yang begitu bahagianya bisa ngobrol sama aku. Awalnya aku heran, kenapa sih begitu aja senang banget? Sampai akhirnya temanku bilang 'Ya teranglah dia senang, wong dia bisa ngobrol sama penulis favoritnya.' Eaa...di situlah aku baru sadar kalau aku mungkin bukan orang biasa lagi (ini bukan bermaksud menyombong), tapi kalau misalnya aku menjadi dia, mungkin aku akan merasakan sensasi yang sama. Jadi ingat temanku yang lain pernah heboh karena emailnya dibalas oleh penulis favoritnya.
Sebenarnya sangat sulit meyakinkan diri kalau aku itu penulis dan banyak orang mungkin tahu aku, serta mungkin memperbincangkan tulisanku. Ketidakpercayaandiri selalu menggelayut. Aku kerap berpikir kalau aku baru penulis amatir. Belum sekelas penulis-penulis lain yang sudah menelurkan beberapa novel. Aku tidak punya penggemar - aku tidak mau GR. Bukuku saja mungkin tidak masuk ke daftar buku laris, atau aku saja yang tidak tahu - aku jarang pergi ke toko buku lagi akhir-akhir ini. Intinya sih aku belum ada apa-apanya!
Makin ke sini temanku makin bertambah, jumlah likes di fan page'ku juga makin bertambah. Suatu blog meresensi novelku & memuji ceritanya. Novelku cetak ulang dan banyak orang menunggu kelanjutan novelku. So, apakah aku masih tidak percaya diri? Kurasa harusnya tidak :D
Dan kejadian malam ini meruntuhkan benteng ketidakpercayaan diriku:
Aku bertemu dengan teman SMAku di suatu pernikahan. Aku kenal wajahnya, tapi lupa namanya. Begitu pun dia. Angel, begitu dia menyebut namaku. Langsung kurevisi, namaku Citra dan kubilang 'Anyway, aku juga lupa namamu.' Dia mengatakan namanya 'Vita' Oke, puzzle telah terkumpul dan kita pun berbincang. Satu kalimat terakhir darinya, 'Btw kamu nulis novel kan? Aku lihat di FB.' Aku sedikit terguncang, 'Teman lamaku ini lebih tahu aku sebagai penulis novel ketimbang tahu namaku.' Aku berhasil membuat suatu brand image! :D Aku berhasil membuat orang mengenalku sebagai penulis.
'Ahiyak!' suara Goofy menyeruak. Aku harus percaya diri sekarang, dan apakah itu akhirnya membuatku tinggi hati? Kuharap tidak. In my head, I always think that I'm still an ordinary people but with extraordinary bless & profession :)
*anyway, strategi novelnya tiga aja yah. Kalau banyak2, semua rahasia saya ketahuan semua..hehe, salam kompak markompak!