Mulai dari tahun 2011, setiap tahunnya saya menargetkan diri dan keluarga untuk traveling. Padahal juga awalnya saya paling malas kalau disuruh traveling. Terutama proses "di jalannya". Kalau bisa kejadian, saya lebih suka kedipin mata tahu-tahu udah sampai di tempat tujuan. Apalagi kalau via jalan darat. Males macet dan duduk lama-lama di mobil. Nah, mulai 2011 itu, berbekal tiket pesawat murah dari suatu maskapai yang memang eksis banget nawarin tiket dengan harga mulai 0 rupiah, akhirnya saya jadi hobi jalan-jalan.
Nah di tahun 2013 ini, giliran kami sekeluarga (saya, suami, Christo anak kami plus adik perempuan dan 3 teman kampusnya) traveling ke Singapura. Saya pribadi sudah 2 kali pergi ke negeri Singa itu. Sekali waktu masih SMP dan kuliah, tapi tetap saja yang namanya pergi ke suatu tempat asing, apalagi sekarang mengajak suami dan anak yang belum pernah ke sana (plus tanpa orang tua), jadi tantangan tersendiri buat saya.
Berhubung saya orangnya mudah panik kalau ada sesuatu yang tidak sesuai rencana, maka dari Jakarta saya sudah well prepared semua hal, mulai dari bayangan transportasi, jalur perjalanan selama di Singapura dan perkiraan mau makan apa saja di sana. Sayangnya ada satu hal penting yang tidak saya buat perencanaan matangnya, yaitu Christo. Saya mengajak Christo, balita saya yang usianya baru 3,5 tahun. Saya hanya berpikir, sungguh beruntung Christo sudah lepas diapers (kecuali saat tidur, karena saya tidak mau berisiko kasur hostel kami basah dan tidak ada gantinya), tidak lagi minum susu botol dan fleksibel makan apa saja. Hal-hal itu membuat saya berpikir Christo akan menyenangkan diajak jalan-jalan.
Singapura terkenal sebagai negara yang sangat disiplin. Tidak boleh buang sampah sembarangan, termasuk makan di sembarang tempat. Saat naik MRT dari bandara ke hostel kami Bunc Radius Hostel (Clarke Quay), saya mulai berpikir untuk meralat pendapat "menyenangkan diajak jalan-jalan". Christo tiba-tiba emosi. Dia teriak-teriak "Minta roti, minta roti!" dan susah sekali dibujuk. Stress pun dimulai.
Stress selanjutnya adalah ketika kamar hostel kami, yang walaupun tersendiri dan tidak bercampur dengan tamu lain, ternyata memiliki posisi yang berhadapan dengan kamar lain. Christo yang sedang hobi bicara, teriak-teriak dan nyanyi super duper perlu selalu diingatkan untuk menurunkan volume suaranya. Super stress. Hostelnya sih cukup menyenangkan. Yah lumayanlah, tapi rasanya tidak untuk anak super aktif seperti anakku. Next time kalau ke Singapura, mungkin saya akan pilih tinggal di hotel yang lebih privat.
Seolah belum selesai membuat kami stress (yah buat Christo pasti tidak ada maksud untuk bikin orangtuanya stress), Christo selalu rewel pengin pulang ke hostel dan tidur. Dia tidak interest dengan tempat-tempat baru yang kami datangi. Bahkan ketika pergi ke Jurong Bird Park, yang harusnya dia suka, mengingat kegemarannya dengan burung-burung, Christo hanya pasang wajah bete dan tidak mau difoto sama sekali. Alhasil foto-foto kami selalu diisi dengan wajah orang tua yang exciting, sementara Christo bete di strollernya hehehe...
Hari berikutnya pergi ke Universal Studio Singapore, Christo kembali masih manyun dan tidak tertarik main apapun. Kalaupun akhirnya kita 'memaksa' dia masuk ke arena permainan, wajahnya tetap saja bete dan ogah difoto :) Moodnya baru meningkat lebih baik ketika kami ajak dia menonton Song of the Sea. Air mancur, laser dan kembang api ternyata membuat wajah Christo lebih ceria, dan mulai heboh lagi :)
Tapi sayangnya begitu moodnya meningkat, kami harus kembali pulang ke tanah air. Setelah aku menganalisa, ternyata kesalahan terjadi di kami orangtuanya. Sebelumnya Christo pernah diajak pergi ke Eropa, dan ia menyebutnya traveling ke Ave-Ave (sebutannya untuk kota Lourdes,Perancis yang identik dengan penampakan Bunda Maria). Nah, untuk memudahkan Christo membayangkan kita akan kemana, kami selalu bilang, kita mau pergi ke Ave-ave (sama-sama luar negeri). Tapi ternyata Christo sadar kalau negara yang kami kunjungi ini bukan Eropa (gaya bener memang nih bocah :p) makanya dia merasa seperti dibohongi dan kurang exciting.
Selain itu, kurasa perjalanan kami yang naik turun MRT bikin dia capek, yang kemudian ditunjang dengan kamar hostel yang kurang nyaman buat dia istirahat. Sedih sih, rasanya kami sudah bikin liburan yang tidak membahagiakannya.
Sesampainya di Jakarta aku tanya Christo, "Bagaimana jalan-jalannya, senang tidak? Mau ke Singapura lagi?" Dia hanya menjawab, "Aku mau pergi ke Ave-ave. Nggak mau ke Singapura." Okay, case closed. Mami Papi minta maaf ya Nak. Tahun depan kalau ada rejeki, kita pergi ke tempat lain dan Mami akan lebih mempersiapkan segala hal yang lebih menyenangkan untuk kamu :)
Nah di tahun 2013 ini, giliran kami sekeluarga (saya, suami, Christo anak kami plus adik perempuan dan 3 teman kampusnya) traveling ke Singapura. Saya pribadi sudah 2 kali pergi ke negeri Singa itu. Sekali waktu masih SMP dan kuliah, tapi tetap saja yang namanya pergi ke suatu tempat asing, apalagi sekarang mengajak suami dan anak yang belum pernah ke sana (plus tanpa orang tua), jadi tantangan tersendiri buat saya.
Berhubung saya orangnya mudah panik kalau ada sesuatu yang tidak sesuai rencana, maka dari Jakarta saya sudah well prepared semua hal, mulai dari bayangan transportasi, jalur perjalanan selama di Singapura dan perkiraan mau makan apa saja di sana. Sayangnya ada satu hal penting yang tidak saya buat perencanaan matangnya, yaitu Christo. Saya mengajak Christo, balita saya yang usianya baru 3,5 tahun. Saya hanya berpikir, sungguh beruntung Christo sudah lepas diapers (kecuali saat tidur, karena saya tidak mau berisiko kasur hostel kami basah dan tidak ada gantinya), tidak lagi minum susu botol dan fleksibel makan apa saja. Hal-hal itu membuat saya berpikir Christo akan menyenangkan diajak jalan-jalan.
Singapura terkenal sebagai negara yang sangat disiplin. Tidak boleh buang sampah sembarangan, termasuk makan di sembarang tempat. Saat naik MRT dari bandara ke hostel kami Bunc Radius Hostel (Clarke Quay), saya mulai berpikir untuk meralat pendapat "menyenangkan diajak jalan-jalan". Christo tiba-tiba emosi. Dia teriak-teriak "Minta roti, minta roti!" dan susah sekali dibujuk. Stress pun dimulai.
Stress selanjutnya adalah ketika kamar hostel kami, yang walaupun tersendiri dan tidak bercampur dengan tamu lain, ternyata memiliki posisi yang berhadapan dengan kamar lain. Christo yang sedang hobi bicara, teriak-teriak dan nyanyi super duper perlu selalu diingatkan untuk menurunkan volume suaranya. Super stress. Hostelnya sih cukup menyenangkan. Yah lumayanlah, tapi rasanya tidak untuk anak super aktif seperti anakku. Next time kalau ke Singapura, mungkin saya akan pilih tinggal di hotel yang lebih privat.
Seolah belum selesai membuat kami stress (yah buat Christo pasti tidak ada maksud untuk bikin orangtuanya stress), Christo selalu rewel pengin pulang ke hostel dan tidur. Dia tidak interest dengan tempat-tempat baru yang kami datangi. Bahkan ketika pergi ke Jurong Bird Park, yang harusnya dia suka, mengingat kegemarannya dengan burung-burung, Christo hanya pasang wajah bete dan tidak mau difoto sama sekali. Alhasil foto-foto kami selalu diisi dengan wajah orang tua yang exciting, sementara Christo bete di strollernya hehehe...
Hari berikutnya pergi ke Universal Studio Singapore, Christo kembali masih manyun dan tidak tertarik main apapun. Kalaupun akhirnya kita 'memaksa' dia masuk ke arena permainan, wajahnya tetap saja bete dan ogah difoto :) Moodnya baru meningkat lebih baik ketika kami ajak dia menonton Song of the Sea. Air mancur, laser dan kembang api ternyata membuat wajah Christo lebih ceria, dan mulai heboh lagi :)
Tapi sayangnya begitu moodnya meningkat, kami harus kembali pulang ke tanah air. Setelah aku menganalisa, ternyata kesalahan terjadi di kami orangtuanya. Sebelumnya Christo pernah diajak pergi ke Eropa, dan ia menyebutnya traveling ke Ave-Ave (sebutannya untuk kota Lourdes,Perancis yang identik dengan penampakan Bunda Maria). Nah, untuk memudahkan Christo membayangkan kita akan kemana, kami selalu bilang, kita mau pergi ke Ave-ave (sama-sama luar negeri). Tapi ternyata Christo sadar kalau negara yang kami kunjungi ini bukan Eropa (gaya bener memang nih bocah :p) makanya dia merasa seperti dibohongi dan kurang exciting.
Selain itu, kurasa perjalanan kami yang naik turun MRT bikin dia capek, yang kemudian ditunjang dengan kamar hostel yang kurang nyaman buat dia istirahat. Sedih sih, rasanya kami sudah bikin liburan yang tidak membahagiakannya.
Sesampainya di Jakarta aku tanya Christo, "Bagaimana jalan-jalannya, senang tidak? Mau ke Singapura lagi?" Dia hanya menjawab, "Aku mau pergi ke Ave-ave. Nggak mau ke Singapura." Okay, case closed. Mami Papi minta maaf ya Nak. Tahun depan kalau ada rejeki, kita pergi ke tempat lain dan Mami akan lebih mempersiapkan segala hal yang lebih menyenangkan untuk kamu :)