Apakah kamu merokok? Apakah aku merokok? Menurutmu? Yups, tidak sama sekali. Terpikir mencoba baik secara sadar maupun tidak sadar pun tak pernah.
Semua pasti tahu keburukan rokok, bahkan gambar di sebelah kiri ini juga pasti ada yang pernah lihat, tapi kenapa orang tetap merokok ya?
Actually bukan efek buruk rokok yang akan kuceritakan di sini, tapi aku mau share semua pandanganku tentang orang-orang yang merokok dan bagaimana itu mempengaruhi hidupku.
Ada seseorang yang pernah dekat denganku selama masa kuliah. Yes, cowok, tapi gak perlu diceritakanlah sedekat apa kami. Dia bukan perokok & sangat membenci orang merokok dekat dia. I like it. Aku menemukan orang yang mengerti aku & sepaham denganku. Lain kisah, aku juga memiliki sahabat dekat, perempuan, yang juga anti smoker. Sebenarnya semua itu mungkin bukan prestasi bagi orang lain, memiliki sahabat & pria yang tidak merokok & anti rokok, tapi bagiku itu menyenangkan.
Waktu berlalu, sampai pada saat aku menemukan ada kotak rokok di tas sahabatku. Gempar. Aku sontak bilang, kok kamu merokok? Sahabatku menampik, dia bilang itu milik sepupunya. Aku percaya, tapi ketika suatu hari aku memergoki dia merokok, aku sadar bahwa itu memang rokoknya. Detik itu aku sudah tak mempercayainya & tak mau bicara lagi padanya. Kalau memang dia merokok, kenapa dia harus berbuat seolah-olah tidak? Apakah karena dia tidak mau aku tak mau berteman dengannya lagi? Aku tidak senaif itu tapi please jangan bohongi aku. Aku banyak curhat pada cowok itu, tentang perilaku sahabatku & dia berjanji untuk menasihatinya. Menurutnya, pria merokok saja tidak pantas apalagi perempuan.
Beberapa minggu kemudian hubunganku dengan sahabatku membaik. Aku tak pernah melihat dia merokok lagi, antara dia sudah berhenti atau dia sembunyi-sembunyi melakukan aktivitas itu. Peristiwa lain terjadi, aku memergoki cowok itu merokok! Astaga, apakah semudah itu manusia berubah ya? Bagaikan menonton film serangan alien, zombie atau percobaan kimia yang gagal, aku merasa bahwa siapapun pasti akan menjadi korban rokok. Tinggal menunggu gilirannya, dan aku mungkin adalah manusia terakhir yang tersisa, yang akan dikejar-kejar oleh manusia-manusia yang lain untuk dicekoki rokok. Mengerikan! Aku putus hubungan dengan cowok itu. Aku patah hati.
Beberapa semester berlalu, aku berkenalan dengan pria lain, seorang dokter. Orangnya menyenangkan, lucu dan pintar. Satu kekurangannya adalah dia perokok. Yeah, can you imagine? He is a doctor and he is smoking! Itu bisa diartikan biasa oleh orang lain, tapi tidak oleh aku. Aku tidak berharap hubungan kami menjadi lebih kalau dia tetap merokok. Sekali aku pernah berdebat sengit dengannya tentang rokok. Aku bilang padanya: Bagaimana mungkin aku akan percaya kamu bisa mencintai orang lain, kalau kamu sendiri tidak bisa mencintai dirimu sendiri? Dia mengatakan beragam teori tentang merokok yang menurutnya tidak berbahaya (Please remember that he's a doctor), semua teori yang menampik teoriku. Akhirnya dia berhenti berdebat denganku ketika aku mengatakan: Apapun yang kamu katakan, sampai ke ujung dunia pun tak ada yang akan setuju kalau rokok itu tidak berbahaya! Kami pun putus hubungan.
Apakah aku freak? Apakah aku tampak berlebihan? Kalau menurutku pribadi tidak. Itu semua prinsipku & mendapatkan bergaul dengan seseorang yang bisa mengerti prinsipku rasanya wajar saja. Kita pasti ingin berada di dalam suatu lingkungan yang mendukung kita, bukan mencelakakan kita.
Peraturan anti merokok yang dicanangkan Pemda DKI sedikit membantuku. Sekarang tak banyak orang yang merokok sembarangan. Di kampusku pun ada smoking room, sehingga asap tak berkeliaran dimana-mana. Sangat tidak lucu kalau kau sedang duduk di salah satu kursi taman di kampusku. Melihat air mancur dan tanaman asri tiba-tiba orang di sebelahmu menyebarkan racun. Ingin dilempar bakiak rasanya.
Lalu di tengah aturan anti rokok aku menemukan suatu tempat yang mendeskreditkan seorang non smoker. Tempat itu adalah restoran, namanya Platinum (bukan nama sebenarnya) di mall bernama Plaza Semanggi (bukan nama mall sebenarnya ;p). Suatu hari aku dan teman-teman Maniez Manja (genk kuliahku) datang makan di sana. Lagi enak2nya makan, tiba2 serombongan cewek yang duduk di sebelah kami mulai mengebul. Asapnya memenuhi ruangan seperti ada kebakaran (-_-). Kami terus terang terganggu dan berusaha mengupayakan beragam cara. Mulai dari batuk-batuk sampai rejan, kibas-kibas tangan sampai menyindir mereka. Tak ada yang peduli, sampai akhirnya aku pergi menemui pelayan untuk tanya. Apakah kami yang sebenarnya salah duduk (di ruang smoking) atau mereka yang tidak tahu aturan. Aku sempat menegaskan tentang aturan merokok di mall.
Si Pelayan bilang kami yang salah duduk. Oke, ruangan bersofa yang jadi ruang utama Platinum ini ternyata ruang khusus perokok, lalu dimana ruangan non smoking? Pelayan mengantarkan kami pindah ke ruangan lain yang sebenarnya menyambung tapi terletak di pojok bawah. Terpencil, sempit, berada di bawah pipa pembuangan asap masakan & hanya terdiri dari 3 - 4 meja saja!! Murka!
Aku complain dan minta bertemu manager restoran ini. Semua ini tidak adil. Kalau begini caranya, perokok akan dapat tempat yang nyaman sementara kami tidak. Padahal aturan yang ada adalah anti merokok bukan mendukung perokok!! Manager tak mau ketemu kami, alasannya tidak ada di tempat & kami diminta menulis saran-kritik saja. Mereka memberikan kertas biasa, bukan kertas resmi & tampaknya akan jadi bungkus sayur begitu kami pulang. Aku tulis keluhanku di situ. Membayar dan segera pulang. Tak mau makan di situ lagi!
Prinsipku tentang rokok sangat kuat sehingga tidak bisa tergoyahkan oleh apapun. Salah satu temanku pernah bilang 'Coba aja rokok. Sekali aja, gak akan ketagihan kok. Gak bahaya.' Persis bujukan bandar narkoba kan? Aku bilang saja: 'Sesuatu yang sudah kelihatan efek buruknya kenapa juga harus dilakukan? Aku tidak perlu menusuk tanganku dengan pisau kalau hanya ingin tahu apakah pisau itu tajam atau tidak."
Tapi Tuhan ternyata baik sekali padaku, seorang pria yang mantan perokok, yang berhenti merokok bukan karena orang lain tapi karena dirinya sendiri ingin sehat. Seseorang yang memantapkan untuk tidak merokok sama sekali sebagai bentuk upaya membebaskan diri dari rokok, ketimbang harus mengurangi rokok sedikit demi sedikit.
Ya, seseorang itu diberikan Tuhan padaku. Padanya aku percaya, karena dia telah mencintai dirinya sendiri sebelum bisa mencintai orang lain. Dia, suamiku ^_^
*picture from Faza Meonk
Semua pasti tahu keburukan rokok, bahkan gambar di sebelah kiri ini juga pasti ada yang pernah lihat, tapi kenapa orang tetap merokok ya?
Actually bukan efek buruk rokok yang akan kuceritakan di sini, tapi aku mau share semua pandanganku tentang orang-orang yang merokok dan bagaimana itu mempengaruhi hidupku.
Ada seseorang yang pernah dekat denganku selama masa kuliah. Yes, cowok, tapi gak perlu diceritakanlah sedekat apa kami. Dia bukan perokok & sangat membenci orang merokok dekat dia. I like it. Aku menemukan orang yang mengerti aku & sepaham denganku. Lain kisah, aku juga memiliki sahabat dekat, perempuan, yang juga anti smoker. Sebenarnya semua itu mungkin bukan prestasi bagi orang lain, memiliki sahabat & pria yang tidak merokok & anti rokok, tapi bagiku itu menyenangkan.
Waktu berlalu, sampai pada saat aku menemukan ada kotak rokok di tas sahabatku. Gempar. Aku sontak bilang, kok kamu merokok? Sahabatku menampik, dia bilang itu milik sepupunya. Aku percaya, tapi ketika suatu hari aku memergoki dia merokok, aku sadar bahwa itu memang rokoknya. Detik itu aku sudah tak mempercayainya & tak mau bicara lagi padanya. Kalau memang dia merokok, kenapa dia harus berbuat seolah-olah tidak? Apakah karena dia tidak mau aku tak mau berteman dengannya lagi? Aku tidak senaif itu tapi please jangan bohongi aku. Aku banyak curhat pada cowok itu, tentang perilaku sahabatku & dia berjanji untuk menasihatinya. Menurutnya, pria merokok saja tidak pantas apalagi perempuan.
Beberapa minggu kemudian hubunganku dengan sahabatku membaik. Aku tak pernah melihat dia merokok lagi, antara dia sudah berhenti atau dia sembunyi-sembunyi melakukan aktivitas itu. Peristiwa lain terjadi, aku memergoki cowok itu merokok! Astaga, apakah semudah itu manusia berubah ya? Bagaikan menonton film serangan alien, zombie atau percobaan kimia yang gagal, aku merasa bahwa siapapun pasti akan menjadi korban rokok. Tinggal menunggu gilirannya, dan aku mungkin adalah manusia terakhir yang tersisa, yang akan dikejar-kejar oleh manusia-manusia yang lain untuk dicekoki rokok. Mengerikan! Aku putus hubungan dengan cowok itu. Aku patah hati.
Beberapa semester berlalu, aku berkenalan dengan pria lain, seorang dokter. Orangnya menyenangkan, lucu dan pintar. Satu kekurangannya adalah dia perokok. Yeah, can you imagine? He is a doctor and he is smoking! Itu bisa diartikan biasa oleh orang lain, tapi tidak oleh aku. Aku tidak berharap hubungan kami menjadi lebih kalau dia tetap merokok. Sekali aku pernah berdebat sengit dengannya tentang rokok. Aku bilang padanya: Bagaimana mungkin aku akan percaya kamu bisa mencintai orang lain, kalau kamu sendiri tidak bisa mencintai dirimu sendiri? Dia mengatakan beragam teori tentang merokok yang menurutnya tidak berbahaya (Please remember that he's a doctor), semua teori yang menampik teoriku. Akhirnya dia berhenti berdebat denganku ketika aku mengatakan: Apapun yang kamu katakan, sampai ke ujung dunia pun tak ada yang akan setuju kalau rokok itu tidak berbahaya! Kami pun putus hubungan.
Apakah aku freak? Apakah aku tampak berlebihan? Kalau menurutku pribadi tidak. Itu semua prinsipku & mendapatkan bergaul dengan seseorang yang bisa mengerti prinsipku rasanya wajar saja. Kita pasti ingin berada di dalam suatu lingkungan yang mendukung kita, bukan mencelakakan kita.
Peraturan anti merokok yang dicanangkan Pemda DKI sedikit membantuku. Sekarang tak banyak orang yang merokok sembarangan. Di kampusku pun ada smoking room, sehingga asap tak berkeliaran dimana-mana. Sangat tidak lucu kalau kau sedang duduk di salah satu kursi taman di kampusku. Melihat air mancur dan tanaman asri tiba-tiba orang di sebelahmu menyebarkan racun. Ingin dilempar bakiak rasanya.
Lalu di tengah aturan anti rokok aku menemukan suatu tempat yang mendeskreditkan seorang non smoker. Tempat itu adalah restoran, namanya Platinum (bukan nama sebenarnya) di mall bernama Plaza Semanggi (bukan nama mall sebenarnya ;p). Suatu hari aku dan teman-teman Maniez Manja (genk kuliahku) datang makan di sana. Lagi enak2nya makan, tiba2 serombongan cewek yang duduk di sebelah kami mulai mengebul. Asapnya memenuhi ruangan seperti ada kebakaran (-_-). Kami terus terang terganggu dan berusaha mengupayakan beragam cara. Mulai dari batuk-batuk sampai rejan, kibas-kibas tangan sampai menyindir mereka. Tak ada yang peduli, sampai akhirnya aku pergi menemui pelayan untuk tanya. Apakah kami yang sebenarnya salah duduk (di ruang smoking) atau mereka yang tidak tahu aturan. Aku sempat menegaskan tentang aturan merokok di mall.
Si Pelayan bilang kami yang salah duduk. Oke, ruangan bersofa yang jadi ruang utama Platinum ini ternyata ruang khusus perokok, lalu dimana ruangan non smoking? Pelayan mengantarkan kami pindah ke ruangan lain yang sebenarnya menyambung tapi terletak di pojok bawah. Terpencil, sempit, berada di bawah pipa pembuangan asap masakan & hanya terdiri dari 3 - 4 meja saja!! Murka!
Aku complain dan minta bertemu manager restoran ini. Semua ini tidak adil. Kalau begini caranya, perokok akan dapat tempat yang nyaman sementara kami tidak. Padahal aturan yang ada adalah anti merokok bukan mendukung perokok!! Manager tak mau ketemu kami, alasannya tidak ada di tempat & kami diminta menulis saran-kritik saja. Mereka memberikan kertas biasa, bukan kertas resmi & tampaknya akan jadi bungkus sayur begitu kami pulang. Aku tulis keluhanku di situ. Membayar dan segera pulang. Tak mau makan di situ lagi!
Prinsipku tentang rokok sangat kuat sehingga tidak bisa tergoyahkan oleh apapun. Salah satu temanku pernah bilang 'Coba aja rokok. Sekali aja, gak akan ketagihan kok. Gak bahaya.' Persis bujukan bandar narkoba kan? Aku bilang saja: 'Sesuatu yang sudah kelihatan efek buruknya kenapa juga harus dilakukan? Aku tidak perlu menusuk tanganku dengan pisau kalau hanya ingin tahu apakah pisau itu tajam atau tidak."
Tapi Tuhan ternyata baik sekali padaku, seorang pria yang mantan perokok, yang berhenti merokok bukan karena orang lain tapi karena dirinya sendiri ingin sehat. Seseorang yang memantapkan untuk tidak merokok sama sekali sebagai bentuk upaya membebaskan diri dari rokok, ketimbang harus mengurangi rokok sedikit demi sedikit.
Ya, seseorang itu diberikan Tuhan padaku. Padanya aku percaya, karena dia telah mencintai dirinya sendiri sebelum bisa mencintai orang lain. Dia, suamiku ^_^
*picture from Faza Meonk